Presiden
ke-5 RI Megawati Soekarnoputri menggugat pengelolaan migas nasional yang
saat ini didominasi asing. Megawati menyampaikan hal itu dalam keynote speech pada seminar "Migas untuk Kemandirian Energi"
di Kompleks Parlemen Senayang, Rabu (27/2). Mega menyatakan, pengelolaan
migas tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, sekaligus mempertanyakan
komitmen negara untuk memakmurkan rakyat, karena semakin berkibarnya
bendera asing di blok-blok migas Indonesia. "Kalau saya diberi oleh staf saya melihat blok-blok yang ada
di seluruh Indonesia, di mana Merah Putih kita? Bendera negara (lain) semua
itu," ujarnya.
Setelah
menggugat pemerintah, Mega berharap RUU Migas yang sedang dibahas
menjadi
landasan hukum peman faatan kekayaan alam bagi kebutuhan bangsa. Megawati
juga berharap, UU Migas yang baru bisa mengutamakan kepentingan nasional
sehingga disebut UU Migas Merah Putih. Mega menganggap UU dan peraturan
migas yang ada tidak berjalan maksimal sesuai konstitusi. Apakah pernyataan
tersebut diucapkan secara sadar dan disadari juga penyebabnya? Lalu
bagaimana perilaku pemerintah yang digugat?
Pengelolaan
migas nasional memang harus merujuk pada amanat Pasal 33 UUD 1945. Dari
sini perlu dibuat UU dan berbagai peraturan terkait yang konsisten. Sejak
kita merdeka, hanya setelah tahun 1960-lah kita berhasil memiliki UU Migas
yang diinginkan melalui ditetapkannya UU Prp. No 44 Tahun 1960. Lalu secara
lebih spesifik, UU ini diperkuat lagi dengan UU No 8 Tahun 1971 yang
menugaskan Pertamina untuk menguasai dan mengelola seluruh cadangan migas
di wilayah Indonesia.
Pada
praktiknya, meskipun telah memiliki landasan hukum yang kuat, baru pada
awal 1970-an kita bisa "menasionalisasi" lapangan-lapangan migas
yang dikuasai asing sejak sebelum merdeka. Artinya, hanya sesudah 25
tahun merdeka kita bisa menegakkan kedaulatan migas nasional sesuai konstitusi.
Kedaulatan inipun tak utuh. Karena pada saat itu masih ada blok migas di Riau
yang tidak sanggup dinasionalisasi mengingat pengelolanya adalah Caltex
(sekarang Chevron) dari Amerika.
Namun,
setelah kriris 1997/1998, terutama sejak lahirnya UU Migas No 22/2001 ,
kedaulatan migas tetap sebagian besar dikuasai asing. UU Migas No 22/2001
telah merampas kedaulatan migas yang kita miliki sejak pemberlakuan UU No
44 Prp/1960 dan UU No 8/1971. Mega tidak salah menampilkan gambar pancangan
bendera-bendera asing itu. Tapi, Mega mungkin tidak sadar atau lupa bahwa
kondisi tersebut terjadi justru akibat sikap pemerintahannya yang mendukung
lahirnya UU No 22/2001. Bahkan, beberapa minggu sebelum lengser, Mega masih
sempat menandatangani PP No 35 Tahun 2004, pada Oktober 2004. Jadi,
bukannya menggugat, Mega harusnya introspeksi dan meminta maaf kepada
rakyat, karena bertanggung jawab terhadap lahirnya UU No 22/2001.
Di
samping dominasi asing, UU Migas No 22/2001 pun telah membuat cadangan
migas terus menurun. Pada saat negara lain mendukung BUMN mendominasi migas
di negara masing-masing, Pertamina justru diperlakukan sama seperti
perusahaan asing. Akibatnya, mereka hanya menguasai sekitar 17 persen cadangan
nasional. Pertamina pun "dipinggirkan" seperti saat ingin menguasai
Blok Cepu atau Blok Semai V.
Perlu
disadari bahwa UU Migas No 22/2001 memang melanggar konstitusi dan
merugikan Merah Putih. Mahkamah Konstitusi (MK) dua kali menolaknya.
Pada Desember 2004, MK antara lain menyatakan UU Migas inkonstitusional
karena tidak menyerahkan pengelolaan migas kepada BUMN. Hal yang sama juga
diputuskan MK pada November 2012, bahwa penyerahan sebagian besar blok-blok
migas kepada asing melalui BP Migas, telah menghilangkan kedaulatan migas
yang seharusnya dijalankan oleh BUMN.
Kesamaan Sikap
Setelah
disadarinya dominannya pihak asing, ternyata pemerintahan SBY bersikap
serupa dengan pemerintahan Megawati. Selama hampir dua periode memerintah,
SBY tidak kunjung melakukan perbaikan. Pasal-pasal krusial dalam UU
Migas No 22/2001 yang menyangkut kedaulatan migas, tidak segera direvisi.
Begitu pula dengan peraturan tentang larangan penjualan BBM sesuai harga
pasar yang jelas melanggar konstitusi.
Sambil
menunggu ditetapkannya UU Migas baru yang konstitusional, dominasi Merah
Putih diharapkan bisa meningkat jika Pertamina diserahi pengelolaan
blok-blok yang habis masa kontraknya. Salah satu yang bernilai
strategis dan besar adalah Blok Mahakam. Pada saat kontraknya berakhir pada
2017, Blok Mahakam masih menyisakan cadangan bernilai sekitar Rp 1.000
triliun.
Ternyata
pemerintahan SBY bergeming. Pertamina
dinyatakan dan dipaksa untuk menyatakan tidak mau dan tidak mampu, baik
secara teknis maupun secara keuangan. Jero
Wacik dan Profesor Rudi Rubiandini cenderung memperpanjang kontrak pada
Total dengan mengungkap berbagai alasan, termasuk merendahkan kemampuan SDM
dan BUMN bangsa sendiri.
Sikap
kedua pemerintahan tampaknya sama saja karena lebih banyak retorika. Mereka
abai mengutamakan konstitutsi dan kepentingan rakyat, serta tidak mampu
independen atas pengaruh dan tekanan asing. Seluruh elemen bangsa
harus mendukung agar Merah Putih dominan di sektor migas. Hal ini perlu
dibuktikan dengan sikap apakah blok-blok migas habis masa kontrak, terutama
Blok Mahakam, diserahkan kepada BUMN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar