YANG bangkit ialah yang
disalibkan. Identitas itu merupakan inti iman orang-orang Kristen. Yang
dirayakan pada hari saat Paskah tidak dapat dilepaskan dari permenungan
tentang kematian pada Jumat Agung. Hanya selama identitas itu terjamin,
kepercayaan akan kebangkitan Kristus memiliki makna. Sebenarnya,
identitas tersebut mematahkan mata rantai kekerasan.
Namun, tidak selalu demikian dalam sejarah kekristenan.
Teori Keseimbangan yang Fatal
Tradisi pemikiran kristiani
mengenal teori satisfikasi, teori pemuasan demi keseimbangan. Gagasan itu
dilansir Anselmus (1033-1109), Uskup Canterbury, dalam bukunya Cur Deus Homo? (Mengapa Allah Menjadi Manusia?).
Menurut Anselmus, dunia merupakan satu tatanan hukum yang diciptakan
Tuhan, tetapi tatanan itu dirusak pelanggaran manusia. Allah pun dibuat
tersinggung berat karena karya-Nya sebagai pencipta tanpa batas
dihancurkan manusia yang serbaterbatas. Akibat paling radikal dari dosa
ialah kematian.
Anselmus melihat kematian dari sang
Allah-manusia sebagai langkah paling logis untuk pemulihan. Kematian
baginya bukanlah akibat dosa karena dia memang tidak berdosa. Namun, itu
bukan kematian alamiah karena pemulihan hanya mempunyai makna kalau
kematian itu merupakan korban diri secara bebas. Hanya dengan tindakan
pemberian diri dari seorang manusia yang serentak Allah, manusia tanpa
salah, kehancuran ciptaan dapat diatasi.
Dengan itu, Anselmus menjawab pertanyaan
kenapa Allah menjadi manusia dan mati secara kejam di salib. Allah yang
tersinggung dipuaskan korban anak-Nya sendiri. Teori satisfikasi yang
digagas Anselmus itu membingkai pemikiran sakrifisial dalam sejarah
kekristenan. Allah memerlukan korban berdarah dari Allah untuk memberikan
kehidupan baru kepada manusia. Dengan itu, kekerasan sakral dilegitimasi.
Praktik menjatuhkan korban untuk memuaskan Allah dan menyeimbangkan rasa
tersinggung dibenarkan.
Demitologisasi
Salib
Tafsir kematian Kristus dalam bingkai
teori satisfikasi Anselmus perlu didemitologisasi. Salib harus dibebaskan
dari lingkaran kekerasan dalam diri Allah sendiri dan ditempatkan kembali
sebagai bagian dari sejarah perlakuan dan kelakuan manusia. Dalam
pandangan kristiani, kehancuran manusia sebenarnya bertolak dari
kecurigaan terhadap Allah, seolah Allah ialah Tuhan yang haus darah, yang
menghendaki kehancuran manusia dan menanti setiap saat agar amarah-Nya
diredakan.
Kehilangan kepercayaan pada Allah membuat
manusia pun saling mencurigai. Karena saling mencurigai, orang saling
mengeksklusi dan malah membunuh. Orang yang hidup dalam kecurigaan mudah
membayang-bayangkan musuh. Tidak butuh banyak alasan untuk mengubah musuh
bayangan menjadi lawan yang harus dihancurkan.
Kepercayaan Kristus yang total kepada
Allah menjadikannya tempat Allah hadir sepenuhnya dan mewahyukan diri
secara istimewa. Transparansi yang penuh menjadikannya tempat Allah
menjadi transparan bagi dunia. Pergaulan dan khotbahnya dialami sebagai
kehadiran Tuhan yang merangkul dan mengayomi semua, juga mereka yang
terlampau gampang dinyatakan tidak lolos seleksi keagamaan yang
berkriteriakan kepatuhan. Sebab itu, kematiannya di salib diimani sebagai
pernyataan diri Allah yang mencari manusia sampai rela mengorbankan
dirinya. Allah memberikan segalanya untuk meyakinkan manusia akan
hati-Nya yang luas untuk mengampuni. Dia bukan Allah yang tersinggung dan
perlu dirayu manusia dengan korban berdarah.
Dengan itu, salib bukanlah tanda Allah
yang haus darah dan menuntut korban.
Sebaliknya, salib ialah akibat perilaku manusia yang ditandai kecurigaan,
yang tega menggunakan kekerasan untuk menghancurkan semua orang
dicurigai, semua yang berbeda dengannya. Pada salib, menjadi nyata
penolakan penuh kekerasan terhadap model kehidupan baru dalam suasana
saling percaya bahwa Yesus menempuh jalan kepada salib sebagai
satu-satunya kemungkinan untuk Menyingkapkan Cinta Tanpa Kekerasan.
Melawan
Kekerasan
Tentang
itu, René Girard menulis, ‘Memasukkan kembali kekerasan ke dalam
ke-Tuhan-an tidak terjadi tanpa konsekuensi atas seluruh sistem, sebab
dengan demikian orang membebaskan manusia dari sebagian dari tanggung
jawab yang seharusnya satu dan sama untuk semua'. Tentu saja, proses
seperti itu dapat pula dijumpai dalam agama-agama lain, juga di tengah bangsa
kita. Ketika Allah dianggap tersinggung karena perilaku manusia,
orang-orang beragama mendapat legitimasi untuk melakukan kekerasan
terhadap orang-orang yang berpandangan dan berperilaku lain. Rumah ibadat
mereka dihancurkan dan para pengikutnya diintimidasi.
Perayaan Paskah menggarisbawahi keyakinan
bahwa Allah tidak menghendaki kekerasan. Kekerasan pun bukan kata
terakhir dan tidak boleh menjadi bahasa yang diterima begitu saja oleh
manusia. Kebangkitan Tuhan menunjukkan manusia tidak menyelesaikan apa
pun dengan kekerasan. Sejarah korban tidak selesai ketika orang
membunuhnya melalui penembakan atau membuangnya entah ke mana. Paskah
sebagai perayaan kebangkitan korban menggarisbawahi keyakinan dasar
manusiawi bahwa suara korban akan terus berteriak, juga puluhan tahun
setelah hilang dentuman senjata yang membunuhnya.
Jika sejarah korban belum selesai, pelaku
pun tidak mempunyai alasan untuk merasa tenang. Paskah membawa kembali
gambaran dia yang disalib, dan dengan demikian pertanyaan tentang mereka
yang menyalibkan dan alasan penyaliban dibuka lagi. Merayakan Paskah
berarti mendengar dan memperdengarkan gugatan bagi para pelaku kekerasan
dan dorongan untuk membongkar motif kekerasan itu. Kelicikan menggunakan
topeng dan kelihaian membongkar perangkat CCTV serta pernyataan
perlindungan dari siapa pun bukan jaminan bagi para pelaku kekerasan
untuk boleh merasa aman.
Pelaku kekerasan mesti dicari, bukan untuk
kemudian menghukumnya secara keji secara keji sebagaimana sudah dilakukannya
sendiri. Salib Kristus bukanlah undangan untuk menggandakan salib bagi
yang lain. Sebaliknya, dia bertujuan mengakhiri logika kekerasan. Maka,
mencari dan menemukan kekerasan dalam semangat Paskah berarti memberinya
peluang untuk menyadari dan mengakui kesalahannya. Lebih lanjut,
pembongkaran itu membantunya supaya keluar dari penjara kecurigaan yang
sudah membuatnya gagal menerima kehadiran orang lain yang berbeda
darinya.
Di
tengah bangsa yang semakin ditandai ketidakamanan karena tindak
kekerasan, Paskah ialah undangan bagi semua untuk menjadi umat dan warga
yang pantang kekerasan. Apabila ada kekerasan, apalagi ketika itu
dilakukan terhadap orang-orang tidak berdaya seperti para tahanan, proses
mesti dilancarkan dan usaha perlu digalang untuk mengetahui wajah siapa
di balik topeng dan suara siapa yang terekam dalam peralatan keamanan
yang dibongkar. Paskah pun menjadi ajakan untuk melepaskan diri dari
penjara kecurigaan kolektif, yang sering membuat orang mengangguk
mengerti dan setuju ketika sejumlah orang dari kelompok tertentu menjadi
korban kekerasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar