Desa, atau yang disebut dengan nama lain, adalah salah satu bentuk
daerah yang khas di Indonesia. Desa memiliki latar belakang historis dan
filosofis yang jelas dan kuat.
Desa hadir sebelum tata pemerintahan tumbuh dan berkembang seperti
sekarang. Prasati Himad-Walandit (1350) menyebutkan, desa telah ada sejak
zaman kerajaan berkuasa di Nusantara. Pemerintah Hindia Belanda pun
mengakui legalitas desa dalam Staatsblad Tahun 1906 Nomor 83 dan Staatsblad
Tahun 1938 Nomor 490.
Desa memiliki hak otonomi asli berdasarkan hukum adat, dapat
menentukan susunan pemerintahan, mengatur dan mengurus rumah tangga, serta
memiliki kekayaan dan aset. oleh karena itu, eksistensi desa perlu
ditegaskan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa.
Namun, deregulasi dan penataan desa—pasca-beberapa kali amandemen
terhadap konstitusi negara serta peraturan perundangannya—menimbulkan
perspektif baru tentang pengaturan desa di Indonesia. Pengaturan desa yang
ketat dan penyeragamannya di seluruh Indonesia menjadi salah satu sumber
hilangnya potensi kemandirian desa, khususnya di luar Jawa.
Sejarah juga mencatat bahwa regulasi desa selama ini cenderung
mengedepankan pengaturan pemerintahan desa untuk mempercepat kemandirian,
pembangunan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Akibatnya,
terjadi pertambahan desa yang pesat. Tahun 2001 jumlah desa di Indonesia
61.562 desa. Tahun 2012 menjadi 72.944 desa dengan tingkat pertumbuhan
rata-rata 2,4 persen per tahun.
Pertumbuhan jumlah desa juga disertai sejumlah implikasi. Sebaran
desa tidak merata antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa yang
luasnya 127.569 kilometer persegi (6 persen dari total luas Indonesia)
memiliki 22.453 desa, sementara Pulau Kalimantan dengan luas 574.194
kilometer persegi (25,43 persen dari total luas Indonesia) hanya memiliki
6.295 desa. Kondisi ini memengaruhi percepatan pelayanan masyarakat di
tingkat desa.
Permasalahan lain tidak kalah berat membebani desa adalah impitan
kemiskinan. Data per September 2012 mencatat ada 63,25 persen penduduk
miskin di Indonesia tinggal di pedesaan. Kondisi ini semakin menambah beban
desa yang sudah demikian berat sehingga semakin sulit untuk mandiri.
Dibutuhkan ikhtiar komprehensif untuk menegakkan kembali eksistensi desa
sebagai daerah otonom istimewa.
Tiga Aspek
Solusi terhadap kompleksnya permasalahan desa dimaksud mencakup tiga
aspek permasalahan, yaitu aspek kewilayahan, kemasyarakatan, dan
pemerintahan. Masalah kewilayahan yang perlu diatasi misalnya hasrat
pemekaran desa yang terus berkembang, batas desa yang tidak terselesaikan
dan berujung konflik antarwilayah, serta ketimpangan sumber daya antardesa.
Permasalahan pada aspek kemasyarakatan juga menjadi beban berat bagi
desa, seperti kemiskinan yang turun secara kuantitas, tetapi meningkat
intensitasnya karena tingginya tingkat pengangguran friksional ataupun
struktural di pedesaan.
Perubahan nilai-nilai lokal akibat akulturasi dan dampak globalisasi
yang deras terus menggerus nilai-nilai yang luhur, berganti dengan
nilai-nilai global yang lebih materialistik.
Demikian pula halnya dengan pemerintahan. Tidak jelasnya penyerahan
urusan dari pemerintah tingkat atas kepada desa, regulasi pengelolaan
sumber pendapatan desa, struktur kelembagaan yang tidak representatif,
euforia politik yang menuntut jabatan kepala desa menjadi delapan tahun,
tuntutan perangkat desa dijadikan PNS, serta kecenderungan rivalitas Badan
Permusyawaratan Desa dengan kepala desa merupakan beberapa contoh
kompleksitas pemerintahan desa.
Menyadari beban berat desa, diperlukan pengaturan desa yang bersifat
multiperspektif. Agar desa mandiri dan masyarakatnya sejahtera, yang
diperlukan tidak hanya penataan aspek pemerintahan, tetapi juga yang
berkaitan dengan aspek kewilayahan, tata kehidupan dan adat istiadat, serta
pengembangan potensi daerah.
Inilah yang mendorong pemerintah segera menyelesaikan Rancangan
Undang-Undang (RUU) Desa bersama DPR agar eksistensi desa sebagai daerah
istimewa yang dulu diakui dalam UUD 1945 kembali. Melalui revisi UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa, maka desain RUU Desa berlandaskan
pada pengembangan keanekaan desa. Istilah desa disesuaikan dengan
asal-usul, adat istiadat, dan nilai-nilai budaya masyarakat di setiap
daerah otonom di Indonesia. Setelah UUD 1945 diamandemen, istilah desa
tidak lagi disebut secara eksplisit.
Semangat Demokratisasi
RUU Desa mencoba mengangkat semangat demokratisasi di tingkat desa,
yaitu penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa
mengakomodasi aspirasi dan kepentingan masyarakat luas.
Demikian juga dengan hak-hak tradisional yang perlu dilestarikan
sehingga pemerintah desa mendapat kewenangan mengurus dan mengatur
kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat dan
nilai-nilai budaya yang ada.
Partisipasi masyarakat, diarahkan untuk sebesar-besarnya mengakomodasi
peran aktif masyarakat
dalam pembangunan setiap desa. Begitu pula dengan
pemberdayaan masyarakat, ditujukan untuk mengembangkan kemandirian serta
meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Melalui RUU Desa, pemerintah mencoba mengembangkan kedudukan desa
sebagai self local community.
Artinya, semua pelaksanaan tugas pelayanan harus berbasis masyarakat.
Melalui konsep ini, desa akan dikembangkan dan dijaga hak asal-usul dan
sosial budayanya, seperti tanah kas desa, pasar desa, irigasi desa (subak),
dan budaya lokal lainnya. Semua ini diharapkan mampu membangkitkan kembali
urusan-urusan lokal, seperti jagabaya, ulu-ulu, modin, amir, serta banyak
lagi urusan lokal yang menjadi karakteristik desa selama ini.
Untuk mendukung dan memperkuat eksistensi desa, RUU Desa akan
mendorong urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan pemerintah nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota, dilimpahkan kepada desa. Dengan demikian,
dapat dikembangkan kemandirian pemerintahan dan masyarakat desa melalui
penguatan kewenangan, keuangan, kelembagaan dan personel di tatanan
pemerintahan desa.
Dengan penguatan tersebut, pemerintah desa dan masyarakat mempunyai
hak mengatur dan mengurus kesatuan masyarakat hukumnya sesuai adat istiadat
yang berkembang, mampu menggali sumber pendapatan sekaligus mengelolanya,
serta terwujudnya harmonisasi, sinergi antarlembaga desa yang ada, seperti
pemerintah desa, badan permusyawaratan desa, lembaga adat, serta lembaga
kemasyarakatan seperti RT, RW, PKK, dan karang taruna. Hal ini diperkuat
dengan pembiayaan yang bersumber dari dana yang mungkin menurut RUU,
seperti bantuan dana untuk desa mengiringi program/kegiatan di desa.
Memperhatikan kondisi dan dinamika yang berkembang saat ini, beberapa
konsep yang telah disusun di dalam RUU Desa tersebut menjadi sangat relevan
untuk mendorong penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa yang
baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar