|
Berbagai
kasus korupsi belakangan ini menunjukkan kita krisis cinta pemimpin. Rakyat
di negara manapun ingin pemimpin mereka menjaga kepercayaan dan mengabdi
pada kepentingan rakyat. Orang Arab punya pepatah, "Pemimpin suatu
kaum itu adalah orang yang melayani mereka." Orang Inggris bilang, pegawai
negeri itu pelayan masyarakat (civil
servant). Sebenarnya menjadi pemimpin yang melayani rakyat itu mudah.
Ia tak harus terlalu pandai dengan sederet gelar dan tak perlu jago
berorasi apalagi bersilat lidah. Kuncinya, memimpin secara adil dengan hati
yang penuh cinta. Secara filosofis, cinta itu sari agama.
Baik
diingat bahwa Islam mendefinisikan diri sebagai ad-dien, yang intinya adalah mengenal Tuhan atau ma'rifat-ullah. Maka, jika ingin
mengenal Tuhan, jalannya adalah melalui budi pekerti alias akhlak, yang
kemudian dibuktikan lewat silah ar-rahim. Biasa
kita kenal dengan `silaturahim',
sesungguhnya kata itu bukan sekadar mengunjungi kerabat, melainkan
menghubungkan tali kasih sayang. Dan, itu berarti memasukkan rasa bahagia
di hati orang lain. Makna silaturahim mengandung unsur `menghubungkan' tali
antara kita dan yang lain.
Petunjuk
dalam hadis Nabi SAW me negaskan, siapa pun yang menjalankan agamanya
dengan baik, mesti menumbuhkan cinta kepada sesama dengan cara membahagiakannya.
Dan bagi pemimpin, artinya ia mengembangkan cinta lewat pengabdiannya
kepada rakyat sebagai bakti kepada Allah SWT. Soalnya, memang gagasan
tentang kebahagiaan sangat terkait dengan cinta. Karena cinta tak lain
adalah sumber dari keinginan untuk memberikan kebaikan--yang mendatangkan
kebahagiaan--kepada yang dicintai.
Merujuk pada yang pernah dikatakan Dr Haidar Bagir dalam sebuah surat kabar
nasional (12 Oktober 2008), kita dapat menyatakan bahwa `memberi' dan
`memberikan kebahagiaan' adalah hakikat dari cinta itu sendiri. Masuk akal,
sebab saat Anda memberi, berarti Anda mengurangi apa yang Anda miliki untuk
diserahkan kepada orang lain.
Memang,
mencintai adalah sebuah prinsip menempatkan kebutuhan kita di bawah
kepentingan orang yang kita cintai. Terlalu banyak perintah agama dalam
soal ini. Di antaranya adalah apa yang ditulis dalam Surah al-Hasyr (ayat
9), "... dan mereka mengutamakan
orang lain di atas diri mereka sendiri, meski mereka dalam kesusahan...."
Kemudian, Nabi SAW juga sangat menekankan kepedulian kita terhadap masalah
orang lain.
Yang
perlu dicatat adalah bahwa cinta, baik antara pemimpin dan rakyat maupun
sesama kita semua, pada esensinya hanya ditujukan kepada Tuhan dan apa pun
yang berkaitan dengan ketuhanan. Inilah bentuk tertinggi cinta.
Itu karena Kekasih Sejati adalah Tuhan. Maka, ketika manusia kehilangan
Kekasih Sejatinya, ia secara keliru bakal mengadopsi objek lain untuk dicintai
(sering kali secara berlebihan) seperti anak, harta, status, atau segala
hal keduniaan lainnya. Dan, itu bahaya karena sabda Nabi SAW, "Cinta dunia itu sumber dari segala
dosa."
Musuh Tuhan
Kita
bukannya dilarang mencintai keluarga, harta, dan lainnya, melainkan
hubungan fana dengan mereka itu hanya boleh sebagai perantara bagi sebuah
`perjalanan mulia' menuju kecintaan Ilahiyah yang baka. Sebab, semua jenis
hubungan atau cinta, selain cinta kepada-Nya, hanyalah simbolik dan imajiner
belaka. Karena, hanya Dia-lah Eksistensi Absolut dan Realitas Paling Akhir
(Ultimate Reality).
Nabi SAW dan para khalifah, di antaranya Abubakar as-Shiddiq RA, Umar bin
Khattab RA, dan Ali bin Abi Thalib RA mengajarkan cinta kepada Tuhan
melalui kecintaan mereka kepada rakyat. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya,
sangat memperhatikan keamanan dan ketertiban masyarakatnya. Umar bahkan
blusukan masuk-keluar pasar dan menegur pedagang yang curang. Demikian pula
halnya dengan Ali bin Abi Thalib.
Menurut
sejarawan Kristen Lebanon George Jordac, sebagai penguasa, hampir seluruh
hidup Khalifah Ali dipenuhi penderitaan karena ia sangat peduli akan
hak-hak rakyatnya. "Hatinya
tenggelam dalam banjir air mata derita insan," tulis Jordac. "Pada siang hari Ali sibuk
menegakkan kebenaran dan keadilan, malamnya ia sering menangisi kepedihan
umat." Dalam buku Nahjul Balaghah, Ali mengatakan, hati penguasa
harus selalu menyayangi rakyatnya. "Jangan
berdiri di atas mereka seperti hewan rakus yang ingin menerkam mereka,"
kata Ali. Berbuatlah adil karena Allah, dengan (cara) bertindak adil kepada
rakyatmu, meskipun itu bertentangan dengan kepentinganmu.
Pasca
syahidnya Ali (pada 40 H), pemerintah Islam beralih dari sistem khilafah
yang memuliakan hak-hak rakyat pada sistem kerajaan yang menghapusnya.
Sepeninggal Ali, catatan sejarah Islam hampir selalu dipenuhi praktik
penguasa yang mengkhianati hak-hak rakyat.
Terakhir,
bagi para pemimpin yang tak ingin mengkhianati rakyat, mungkin baik
diingatkan pada firman Tuhan untuk Nabi Musa ini: "Satu-satunya ibadah yang Aku hitung sebagai benar-benar
ibadah kepada-Ku adalah membahagiakan orang-orang yang hancur hatinya."
Dan lazimnya, rakyat kecillah yang paling sering hancur hatinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar