Dua
partai politik yang tengah dilanda badai politik hebat akibat perilaku
korup sejumlah elite mereka, Partai Demokrat dan Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), menuai hasil berbeda dalam dua ajang pemilihan umum
kepala daerah (pemilukada).
Jika
dalam pemilukada provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara calon kepala
daerah yang diusung PKS berhasil meraih kemenangan, nasib berbeda dialami
Partai Demokrat. Calon-calon kepala daerah dari Partai Demokrat
tersungkur di dua pemilukada tersebut.
PKS baru saja meraih sukses di pemilukada provinsi Jawa Barat. Pasangan
Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar keluar sebagai pemenang mengalahkan pasangan
kandidat lain. Agaknya hasil positif serupa juga akan diraih PKS dalam
pemilukada Sumatera Utara.
Hasil
hitung cepat sejumlah lembaga survei mendaulat pasangan Gatot Pujo
Nugroho-Tengku Erry Nuradi sebagai pemenang dalam pemilukada Provinsi
Sumatera Utara, Kamis (7/3). Pasangan nomor urut lima yang diusung PKS
menjadi satu-satunya pasangan yang memperoleh suara di atas 30 persen.
Mengapa dua partai politik yang saat ini sedang menghadapi cobaan maha
berat berupa kasus korupsi tersebut menuai hasil berbeda?
Apakah
kesuksesan PKS pada pemilukada di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara
menunjukkan mereka memiliki kemampuan lebih baik dalam memulihkan citra
diri disbanding Partai Demokrat? Bagaimana memahami nasib berbeda yang
dialami kedua partai politik tersebut?
Faktor Incumbent
Jika ditelaah secara kritis keberhasilan PKS memenangkan pemilukada Jawa
Barat dan Sumatera Utara sesungguhnya bukanlah hal istimewa.
Tidak
istimewa lantaran calon-calon kepala daerah yang mereka usung dalam dua
pemilukada tersebut merupakan kandidat yang sedang menjabat (incumbent). Secara politik
kemenangan incumbent dalam ajang pemilukada merupakan hal biasa, tidak
mengejutkan, dan dapat dimengerti.
Peluang incumbent untuk memenangkan pemilukada dapat dikatakan sangat
besar. Sebagai contoh data pemilukada kurun Juni 2005-Desember 2006
menunjukkan, dari 230 kepala daerah incumbent yang maju kembali sebagai
calon kepala daerah dalam pemilukada ada 143 orang (62,17 persen) yang
terpilih kembali. Sementara itu, 87 orang (37,83 persen) kalah dari para
penantang mereka.
Besarnya peluang incumbent
untuk terpilih kembali tidak dapat dilepaskan dari keuntungan yang
dimiliki kepala daerah bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung.
Popularitas sebagai kepala daerah yang sedang menjabat merupakan
keuntungan langsung yang dimiliki incumbent.
Tidak
dapat dipungkiri popularitas merupakan modal utama bagi seorang kandidat
yang hendak maju dalam kontestasi pemilihan langsung seperti pemilukada.
Sebagus apa pun kualitas seorang kandidat tidak akan banyak membantu jika
ia tidak dikenal pemilih secara luas.
Selama lima tahun menjabat sebagai kepala daerah sepak terjang incumbent hampir tidak pernah
luput dari sorotan lensa kamera pemberitaan media massa. Hal ini tentu
berdampak terhadap tingkat pengenalan atau popularitas dirinya di mata
publik. Keuntungan ini jelas tidak dimiliki kandidat-kandidat lain selaku
penantang.
Apalagi jika si penantang tidak pernah menduduki jabatan-jabatan publik.
Kalau pun para penantang pernah menduduki jabatan publik dan masuk dalam
sorotan media massa dalam kurun waktu lima tahun terdahulu, dapat
dipastikan porsi liputan media massa terhadap dirinya tidak sebesar porsi
liputan terhadap incumbent.
Sementara itu, di luar keuntungan langsung berupa popularitas ada juga
keuntungan tidak langsung yang dimiliki incumbent. Keuntungan ini tidak
kalah penting dari keuntungan langsung sehingga turut memiliki andil bagi
keterpilihan kembali seorang incumbent
dalam pemilukada.
Keuntungan tidak langsung berupa keuntungan finansial. Berbagai keperluan
finansial semacam biaya komunikasi dan perjalanan untuk bertemu
masyarakat luas dapat ditutupi menggunakan anggaran daerah yang memang
telah disediakan untuk mendukung tugas-tugas sebagai kepala daerah. Lebih
dari itu seorang incumbent juga dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas
penunjang lain, seperti kendaraan dinas.
Dengan berbagai kemudahan finansial tersebut seorang calon kepala daerah
yang sedang menjabat memiliki kesempatan melakukan kampanye secara terus
menerus sepanjang waktu selama masa jabatan berlangsung. Calon-calon lain
harus menunggu ditetapkannya masa kampanye resmi oleh komisi pemilihan
umum.
Fenomena melakukan kampanye sepanjang waktu selama masa jabatan
berlangsung sebagaimana dilakukan incumbent telah mengundang perhatian
praktisi marketing politik. Dan Nimmo mengistilahkan kampanye politik
semacam ini sebagai kampanye permanen (Dan Nimmo, 2001).
Istilah kampanye permanen dipilih karena seluruh aktivitas incumbent
tidak lain merupakan kegiatan kampanye.
Ketika
mereka menjalankan aktivitas dan tugas-tugas pemerintahan, seperti
meresmikan fasilitas publik dan mengunjungi masayarakat di desa, pada
saat bersamaan secara tidak langsung sesungguhnya mereka juga sedang
melakukan kampanye. Berbagai aktivitas itu dapat dimanfaatkan sebagai
sarana mengemas dan menjual diri kandidat.
Jika kandidat-kandidat lain hanya melakukan kampanye dalam beberapa pekan
menjelang hari pemilihan, seorang incumbent melakukan kampanye selama
lima tahun masa jabatannya. Oleh karena itu, bukan hal istimewa dan
mengejutkan jika potensi kemenangan seorang incumbent jauh lebih besar daripada kandidat-kandidat lain
yang notebene pendatang baru.
Regulasi Hukum
Berbagai keuntungan yang dimiliki incumbent sebagaimana penulis paparkan
di atas telah sejak lama menjadi perhatian para ilmuwan politik di
berbagai negara, termasuk di negara dengan demokrasi mapan seperti
Amerika Serikat. Fenomena keikutsertaan incumbent dalam sebuah pemilihan
langsung mengundang berbagai kritik dan gugatan.
Para ilmuwan politik menilai keberadaan incumbent membuat kompetisi
berlangsung secara tidak seimbang dan tidak fair. Ibarat sebuah lomba
balap lari, incumbent tidak mengawali lomba dari garis start yang sama
dengan kandidat-kandidat lain.
Oleh karena itu, diperlukan upaya sungguh-sungguh dari pemerintah (baca:
Kementerian Dalam Negeri) dan DPR untuk melakukan penyempurnaan regulasi
hukum yang dapat membuat pelaksanaan pemilukada berlangsung lebih fair.
Memang, selama ini telah ada sejumlah upaya menuju ke arah itu, seperti
keharusan bagi incumbent untuk cuti selama masa kampanye pencalonan diri
kembali. Peraturan mengenai hal itu tertuang dalam Pasal 79 Ayat 3
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Pasal
61 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 tentang Pengangkatan
dan Pemberhentian Kepala Daerah.
Keharusan cuti itu dimaksudkan agar setiap kandidat medapatkan perlakuan
sama. Akan tetapi, regulasi itu masih belum secara maksimal menyentuh
hal-hal substansial yang dapat membuat pelaksanaan pemilukada berlangsung
secara fair dan seimbang.
Padahal, sebagaimana dikatakan Dan Nimmo, kampanye yang dilakukan
incumbent sejatinya merupakan kampanye permanen karena dilakukan
sepanjang masa jabatannya. Dengan demikian upaya untuk membuat
pelaksanaan pemilukada menjadi lebih fair dengan mengharuskan incumbent mengambil cuti selama
masa kampanye menjadi tidak berarti sama sekali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar