KASUS-KASUS korupsi yang
ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan korupsi yang
dilakukan anggota ataupun pengurus partai politik (parpol) dilakukan
secara sistemis dan struktural. Hasil kajian KPK (2012) juga menunjukkan
masih ada kelemahan dalam UU Parpol terkait dengan pengaturan pendanaan,
meliputi batasan sumbangan parpol, sanksi, mekanisme pelaporan, serta
batasan jumlah dan jenis pengeluaran dana parpol.
Kelemahan itu sangat berbahaya di tengah
percaturan politik pada 2013 dan 2014. Parpol bisa melakukan segala cara
untuk mengumpulkan modal politik karena biaya politik yang mahal dalam
pemilu. Itu sangat berbahaya karena bisa menjadi ajang transaksi
kewenangan/kekuasaan dan APBN akan dijadikan target perburuan dan
pembajakan modal politik.
Besarnya peluang korupsi
yang dilakukan parpol itu juga didukung jalan korupsi yang sudah
berlangsung secara struktural. Korupsi struktural ialah korupsi yang
terjadi akibat sistem yang berlaku di suatu negara cenderung mendorong
individu yang tinggal di negara tersebut untuk melakukan korupsi. Dalam
korupsi struktural, sistem yang berlaku memberikan insentif lebih tinggi
untuk melakukan korupsi daripada insentif untuk mematuhi hukum.
Menurut Rimawan Praditya (2012), korupsi
struktural terjadi akibat beberapa hal. Pertama, perumus kebijakan tidak
berorientasi pada pengoptimalan kemakmuran masyarakat (social welfare function). Kedua,
perumus kebijakan mengedepankan rasionalitas pribadi (supply side) daripada berusaha
memahami rasionalitas subjek yang terkena kebijakan (demand-side). Ketiga, perumusan kebijakan tidak didasarkan
suatu studi mendalam, berdasarkan fakta atau hard evidence, tetapi lebih dipengaruhi kepentingan politik
jangka pendek.
Di samping itu, menurut Burhanuddin
Muhtadi (2011), feodalisme juga (2011), feodalisme juga menjadi pendorong
lahan subur korupsi. Dalam teori negara patrimonial, relasi pemimpin atau
elite politik sebagai pemegang kekuasaan dengan rakyat bersifat
asimetris. Sebagai patron, elite politik mendominasi sumber daya ekonomi-politik.
Siapa pun yang ingin mendapat akses
sumber daya politik dan ekonomi harus melayani sang patron. Praktik busuk
itulah yang terjadi di lembaga parlemen dan birokrasi pemerintahan kita.
Terjadi lingkaran korupsi yang melibatkan anggota DPR dan birokrat sebagai
patron dengan pengusaha sebagai klien. Proyek baru diberikan kepada
pengusaha yang dianggap paling memuaskan dalam memberikan `pelayanan'
kepada anggota DPR dan birokrat.
Dalam hubungan dyadic dengan DPR, lanjut
Burhanuddin, birokrat memerankan diri sebagai klien untuk mendapat
persetujuan atas suatu kebijakan atau alokasi anggaran untuk berbagai
proyek pembangunan. Kaum birokrat biasanya mendapatkan dana suap dari
pengusaha.
Ironisnya, relasi patron klien
dilembagakan melalui otoritas dan kewenangan partai politik yang semakin
besar pascareformasi. Partai ialah produsen utama pejabat publik, mulai
presiden hingga bupati. Secara ketatanegaraan, kewenangan DPR dalam
menentukan pejabat dan kebijakan publik juga semakin besar sehingga
terjadi legislative heavy.
Miskinnya Akuntabilitas
Parpol hari ini mengalami kemiskinan
dalam akuntabilitas. Pendanaan partai ibarat lorong gelap tak berujung. Yang
hadir hanya kader yang menjilat dana sehingga parpol menjadi perkumpulan
kader yang sedang mencari kekayaan. Agenda demokrasi hanya dalam kertas
dan sidang saja, selebihnya tak pernah digerakkan dan diciptakan. Karena
berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan, partai politik menjadi agen bisnis
kaum elite yang bersekongkol dengan birokrat pemerintahan.
Apa yang dilakukan parpol, bagi Klitgaard,
disebabkan pascareformasi mereka melakukan monopoli kekuasaan (monopoly of power), ditambah
diskresi pejabat (discretion of
official) tanpa adanya pengawasan memadai (minus accountability), sehingga lahan subur dalam proyek pemerintah
dijadikan sebagai lahan subur dalam korupsi.
Akuntabilitas partai dan transparansi
sumber pendanaan partai lemah sehingga kewenangan besar yang dimiliki
dijadikan proyek pribadi.
Lihat saja beberapa kementerian menjadi lahan subur parpol yang
menguasainya, bahkan sampai kitab suci juga dikorupsi.
Sistem politik yang berjalan di Indonesia
pascareformasi ialah sistem politik yang digerakkan uang (money-driven political system)
sehingga kebijakan-kebijakan politik tak lebih merupakan perpanjangan
kepentingan kaum elite semata. Menurut Burhanuddin (2011), sumbangan
kepada partai merupakan bentuk investasi yang memberikan return berupa
kendali atas negara.
Pelan tapi pasti, pusat kekuasaan
bergeser ke arah plutarchy
(penguasaan negara oleh oligarki kaya) karena parpol akan tereduksi
menjadi sekadar bawahan segelintir elite korporasi. Partai atau kader
mereka tak lebih menjadi proksi atau anak perusahaan yang kebetulan
ditempatkan di DPR dan birokrasi pemerintahan.
Kembali
ke Khitah Politik
Saatnya parpol menegakkan akuntabilitas
mereka. Jangan sampai persoalan dana justru membunuh idealisme berpolitik
dalam menegakkan demokrasi. Kembali kepada khitah yang ada dalam UU
Partai Politik ialah keniscayaan bahwa ada tiga sumber keuangan sebuah
partai. Pertama, iuran anggota. Kedua, sumbangan yang sah menurut hukum.
Ketiga, bantuan negara.
Kalau parpol bertujuan menciptakan dan
merekrut kader potensi bangsa, iuran anggota menjadi mekanisme organisasi
yang mesti digerakkan dengan baik. Lahirnya anggota yang taat dengan
iuran organisasi menjadi titik awal lahirnya kader potensial yang tidak
akan menggerogoti uang negara. Anggota-anggota yang sadar dengan iuran
untuk kepentingan bersama menjadi titik paling dasar lahirnya
akuntabilitas keuangan partai.
Sumbangan dari pihak luar atau bantuan
negara akan menjadi dana yang potensial kalau dikelola anggota partai dan
pengurusnya yang mengerti dengan iuran organisasi. Sumbangan dan dana
bantuan negara justru bisa tidak dibutuhkan karena parpol memiliki
anggota yang sudah mandiri dan independen. Kalaupun tetap mendapatkan
sumbangan dan bantuan, itu tidak menjadikan partai tersebut tersandera
dan mati suri. Idealisme berpolitik tetap menjadi pijakan utama dalam
perjuangan membangun demokrasi kerakyatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar