NETRALITAS media massa selalu menjadi
bahan perdebatan tiap kali berlangsung kontestasi politik, tidak
terkecuali dalam Pilgub Jateng 2013. Hal itu menunjukkan masyarakat
memiliki harapan bahwa media bisa menjaga jarak dengan semua pihak yang
terlibat dalam kompetisi politik tersebut. Semua pasangan kandidat
memperoleh sorotan yang sama dari media, baik dari sisi positif maupun
negatif. Media diinginkan tidak menjadi instrumen propaganda dari calon
tertentu.
Apakah itu
mudah dilakukan? Mungkinkah media netral? Secara akademis, netralitas
media bahkan tidak cukup dikenal dalam kajian jurnalisme. Beberapa konsep
yang populer dalam domain ini adalah keberimbangan (balance),
ketidakberpihakan (impartiality), keadilan (fairness), dan obyektivitas (objectivity).
Seluruh
definisi yang berlandaskan pada kalkulasi moralitas tersebut mempunyai
tujuan yang sama, yakni media harus benar-benar menunjukkan sikap
independen. Kepentingan publik merupakan prioritas yang harus
diperhatikan media mengingat posisi media memang menjadi suara publik.
Netralitas,
sebagaimana ditulis Oxford Advanced
Learner's Dictionary (2010), adalah keadaan tidak membantu salah satu
pihak dalam ketidaksepakatan, kompetisi, dan sebagainya. Dari rumusan
yang serbaringkas itu, netralitas memuat pengertian tentang kemampuan
subjek sosial dalam menjaga jarak ketika terjadi pertikaian atau
persaingan. Media,
sebagaimana menjadi sifat dasarnya, harus mampu berkedudukan sebagai
penutur cerita yang tidak menunjukkan kecenderungan membenci ataupun
memfavoritkan mereka yang terlibat dalam persaingan politik.
Menjadi Kesadaran
Media yang
bisa menunjukkan netralitas, sebenarnya, bukan sekadar jargon atau
harapan publik. Netralitas merupakan imperatif (kewajiban) yang mengikat
seluruh pihak yang terlibat dalam produksi pemberitaan di media. Artinya
adalah jika publik sekalipun tidak menuntut media bersikap netral, media
tetap memiliki otonomi untuk membuktikan mereka tidak menyokong kandidat
tertentu.
Pernyataan
tersebut menunjukkan bahwa netralitas bukanlah hasil paksaan dari luar,
melainkan telah menjadi kesadaran yang melekat dalam kinerja pengelola
media. Netralitas tidak lagi menjadi doktrin yang berkedudukan sebagai
keharusan yang demikian memaksa, melainkan telah menjadi pertanggungjawaban
profesional.
Konsekuensi
dari netralitas sebagai wujud profesionalisme adalah keharusan tidak
membantu pihak-pihak yang berkompetisi memiliki pendasaran etisnya.
Ketika media menunjukkan pemihakan maka hal yang paling rentan terjadi
adalah manipulasi fakta. Padahal, persoalan ini me-rupakan hal yang amat
ditabukan. Mereka yang didukung media akan memperoleh bahasa pemberitaan
yang serbabaik. Sebaliknya, mereka yang tidak didukung media akan gampang
mendapatkan cita rasa semburan linguistik yang sangat memojokkan.
Bahkan, jika
dipandang dari dua teori utama etika yang saling bertentangan, netralitas
media justru sama sekali tidak menghasilkan perdebatan etis. Pertama;
dari perspektif etika deontologi (kewajiban), netralitas media merupakan
keharusan. Tanpa melibatkan saran-saran pihak lain dan berbagai kalkulasi
untung rugi atau disukai dibenci, netralitas media merupakan kemutlakan.
Kedua; dari
sudut pandang etika bertujuan (teleologi), netralitas media justru sangat
memberikan keuntungan bagi publik. Pasalnya, etika ini memperhitungkan
akibat suatu tindakan. Jika suatu perbuatan memberikan kebaikan bagi
banyak orang maka dapat dibenarkan. Lebih dari itu, netralitas media
mampu memberikan kebahagiaan paling besar bagi jumlah orang terbanyak.
Dari sisi
etika, pertanyaan tentang netralitas media tidak dijawab dengan sajian
argumentasi yang berisi kemungkinan. Etika secara meyakinkan memberi
penegasan bahwa netralitas media adalah keharusan dan memberikan kebaikan
bagi masyarakat. Tentu saja, jawaban etis bisa saja dianggap terlalu
ideal.
Dalam
kenyataannya, pengelola media dihadapkan pada kenyataan konkret yang
tidak mudah direspons melalui sikap dan tindakan baik buruk. Bagaimana
bisa netral dan mengapa netralitas media harus dijaga menjadi gugatan pertanyaan
terhadap tuntutan moral ideal itu.
Netralitas
media sulit dijalankan bila melihat dua hal yang saling berkaitan.
Pertama; secara internal, beberapa individu pengelola media mungkin punya
interest tertentu dalam kompetisi politik. Mereka memiliki kedekatan
personal dan keinginan membantu kemenangan pihak-pihak yang memperebutkan
jabatan. Peluang itu tergantung pada struktur kewenangan dan peran-peran
organisasional yang bisa untuk dimainkan.
Kedua; secara
eksternal, terdapat persoalan ekonomi politik yang sangat mungkin
memengaruhi kebijakan redaksional media. Dalam wilayah ini iklan-iklan
politik dari kandidat tertentu bisa memengaruhi independensi pemberitaan.
Terlebih lagi ketika iklan politik telah diperlakukan sebagai penghasilan
utama media.
Memang, tidak
mudah menjaga netralitas media massa. Kepentingan sejumlah pihak
pengelola dan problem ekonomi politik yang melingkupi media menjadikan
netralitas sebagai pembicaraan yang terlalu moralistik. Tetapi bisakah
media tanpa moralitas mempunyai klaim yang sahih untuk menyuarakan
kepentingan publik? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar