KONFLIK senjata antara militer Diraja
Malaysia dan loyalis bersenjata Kesultanan Sulu di (Negara Bagian) Sabah
sejak 1 Maret 2013 mengalami perkembangan menarik, baik di ranah
pertempuran maupun diplomasi.
Di medan perang, bukan saja clash
tersebut sudah merenggut sekurang-kurangnya 70 korban jiwa dari kedua
belah pihak, melainkan juga memperlihatkan ketidakmampuan militer
Malaysia untuk cepat mengatasi perlawanan sekitar 300 loyalis bersenjata
Kesultanan Sulu di Sabah.
Walaupun militer Malaysia sudah
mengerahkan segenap kemampuan, termasuk menerjunkan helikopter serbu,
guna melumpuhkan keluatan loyalis Kesultanan Sulu, hingga hari ini mereka
belum berhasil membekuk seluruh loyalis di Sabah. Bahkan Agbimmudin
Kiram, pimpinan loyalis Sulu di Sabah, belum berhasil ditangkap.
Dia masih bergerak liar dan bersumpah
untuk terus melancarkan perang gerilya sampai klaim Kesultanan Sulu atas
Sabah terwujud. Jika militer Malaysia tetap loyo, tidak lekas berhasil
mengatasi perlawanan loyalis Sulu, bukan mustahil perang gerilya itu
menjadi kenyataan menjadi perang terbuka, dan entah akan berlangsung
sampai kapan.
Dalam ranah diplomasi, perang antara
militer Malaysia melawan loyalis Sulu mengundang perhatian Sekjen
PBB Ban Ki-moon dengan menyeru segera dihentikannya konflik dan
dimulainya dialog atau perundingan demi menghindari jatuh lebih banyak
korban. Seruan Sekjen PBB ini tentu cukup melegakan di tengah kebisuan
ASEAN menghadapi insiden Sabah tersebut. Meski insiden Sabah sudah
memperlihatkan perkembangan cukup memrihatinkan, realitasnya ASEAN masih
saja bungkam. ASEAN tidak mengeluarkan satu pun pernyataan terkait
insiden berdarah di Sabah.
Bahan
Introspeksi
Kenyataan itu membuat banyak kalangan
prihatin. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono misalnya, menyampaikan
keprihatinan mendalam dan mengharapkan Brunei Darussalam selaku Ketua
ASEAN 2013 segera mengambil langkah proaktif guna menyelesaikan sengketa
tersebut.
Mengapa ASEAN membisu? Kemelemahan
kepemimpinan ditengarai menjadi penyebab utama kebisuan tersebut. Brunei,
selaku ketua tahun ini cenderung pasif, tak punya gereget untuk merespons
tiap masalah yang muncul, termasuk terkait dengan insiden Sabah. Ada
dugaan kuat, kepasifan Brunei itu berkait erat dengan prinsip
nonintervensi yang sejauh ini dipahami banyak negara anggota ASEAN.
Kepemimpinan Kamboja di ASEAN tahun 2012
misalnya juga lemah dan hal itu terbukti dengan kemudahan China mendikte
terkait dengan sengketa wilayah perairan Laut China Selatan. Namun,
kepemimpinan Brunei sekarang ini tampak lebih lemah lagi.
Banyak pihak menyayangkan siap itu
mengingat konflik bersenjata antara militer Malaysia dan loyalis Sulu di
Sabah sudah menelan banyak korban jiwa, tetapi ASEAN tidak mengeluarkan
satu pun pernyataan walau sekadar misalnya meminta pihak-pihak
bersengketa untuk menahan diri. Sangatlah masuk akal Presiden SBY
kemudian mengemukakan keprihatinannya secara mendalam.
Bila kepemimpinan ASEAN lemah seperti
itu, lantas mau di bawa ke mana Komunitas ASEAN yang realisasi
perwujudannya tinggal dua tahun ke depan? Akankah Komunitas ASEAN akan
menjelma menjadi sebuah komunitas regional yang betul-betul kuat di
tengah kepemimpinan lemah semacam itu? Tentu tidak.
Insiden Sabah dan kepemimpinan yang lemah
itu menjadi tepat untuk bahan introspeksi para pemangku kebijakan ASEAN
guna cepat berbenah sebelum Komunitas ASEAN resmi berlaku pada 2015.
Tentu, pembenahan itu demi mewujudkan Komunitas ASEAN yang benar-benar
kuat, solid, dan tangguh di tengah kuatnya arus globalisasi dan ketatnya
kompetisi antaraktor internasional di segenap lini kehidupan.
Adapun wujud konkret pembenahan itu bisa
berupa misalnya mengubah ataupun menambah pasal-pasal dalam ASEAN Charter
yang dijadikan pegangan kerja sama antaranggota. Prinsip nonintervensi
yang ditegaskan dalam Piagam ASEAN barang kali termasuk pasal yang perlu
ditinjau ulang ketika persoalan yang dihadapi ASEAN makin kompleks dan
membutuhkan langkah kolektif.
Dengan merevisi prinsip tetap
nonintervensi, ke depan diharapkan tak ada lagi alasan bagi ASEAN untuk
membisu dalam menghadapi beragam masalah pelik, seperti sengketa wilayah,
termasuk sengketa wilayah Sabah antara Malaysia dan Kesultanan Sulu
Filipina yang tengah berlangsung sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar