Makhluk hidup selalu membutuhkan air sebagai
kebutuhan yang tak tergantikan barang lain (nonsubstitution good). Namun, saat ini keberadaan air di
planet bumi secara kuantitas maupun kualitas sangat mencemaskan.
Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa- Bangsa (FAO) telah
mengingatkan bahwa pada 2025 akan terdapat 1,8 miliar penduduk dunia
tinggal di daerah yang mengalami kelangkaan air secara absolut. Kalimat
bersayap yang pernah dilontarkan Ismael Serageldin, mantan Wakil Presiden
Bank Dunia, mulai terbukti kebenarannya.
Serageldin pernah mengingatkan bahwa perang pada masa depan tidak lagi
dipicu oleh perebutan emas hitam (minyak), tetapi oleh emas biru (air).
Air akan menjadi barang paling berharga bagi manusia, krisis air akan
memicu berbagai konflik. Beberapa tahun lalu The Observer pernah memberitakan bocoran laporan Pentagon
yang menyebutkan bahwa pada suatu saat nanti akan terjadi situasi
kekurangan sangat dahsyat (catastrophic
shortage) terhadap air di muka bumi.
Situasi seperti itu akan mengarah pada menyebarnya benihbenih peperangan
di sekitar 2020. Tanda-tanda ke arah itu sudah mulai terlihat nyata.
Pertengahan 2005 banyak media Tanah Air melansir pemberitaan kantor
berita Reuters tentang konflik perebutan sumber air yang memicu
pembantaian massal di Kenya, Afrika.
Ratusan suku Borana, Ethiopia, mengepung sebuah sekolah dasar dan
perkampungan yang didominasi warga klan Gabra dari Kenya. Insiden itu
menewaskan sedikitnya 72 orang, 22 di antaranya anak-anak. Begitu
esensialnya air bagi umat manusia sehingga PBB melalui Resolusi Nomor 147
menetapkan tanggal 22 Maret sebagai Hari Air Sedunia dan diperingati
pertama kali pada 1993.
Paradoks
Air-Mutiara
Dari sudut pandang ekonomi, kita mengenal istilah paradoks air-mutiara
(water-diamond paradox). Air yang begitu esensial bagi kehidupan manusia
dinilai sangat murah, sedangkan mutiara yang sebatas perhiasan dinilai
sangat mahal. Saat ini masyarakat masih memandang air sebagai sumber daya
alam yang tidak terbatas dan bersifat givendari alam.
Paradigma seperti ini membuat pola hidup mereka sangat boros terhadap air
dan sangat tidak harmonis dengan alam yang telah secara arif menyediakan
sumber-sumber air. Sebuah literatur menyebutkan, jika tingkat degradasi
hutan terus berlanjut, pada 2015 Pulau Jawa diperkirakan akan mengalami
defisit air sebesar 134,1 miliar m3/tahun.
Sejalan dengan tema peringatan Hari Air Sedunia Ke- 20, kerja sama di
bidang air perlu menjadi perhatian pemerintah di semua tingkatan. Sejak
bergulir era otonomi daerah dan era reformasi, konflik pengelolaan sumber
daya air banyak mencuat ke wacana publik. Sumber daya air yang telah
dikelola secara turuntemurun sejak zaman kolonial tanpa permasalahan
berarti, kini banyak yang digugat oleh warga masyarakat yang merasa lebih
mempunyai hak untuk mengelola.
Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
menyebutkan bahwa sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan
hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras.
Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan
pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih,
dan produktif.
Meski telah diatur dengan jelas, implementasinya tidaklah sesederhana
yang dibayangkan. Akhir-akhir ini tidak jarang terjadi konflik antara perusahaan
daerah air minum (PDAM) dan para petani yang merasa lebih berhak
mengelola sumber air di desanya. Hal ini tidak pernah terjadi pada
waktu-waktu sebelumnya. Kenyataan seperti ini harus menjadi perhatian
serius pemerintah kota-kota besar di wilayah pesisir seperti Kota
Semarang, Surabaya, dan Jakarta yang notabene akses air bersih bagi
penduduknya harus diambilkan dari daerah tetangga.
Untuk mengantisipasi terjadi konflik dalam pengelolaan sumber daya air,
perlu dilakukan perencanaan dengan prinsip proportional water sharing.
Cara pengelolaan air harus memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk,
kontribusi sektor pertanian, industri, air minum, air untuk kepentingan
sanitasi, serta potensi lestari sumber daya air tersebut.
Memanen Hujan
Banyak upaya yang dapat kita lakukan agar kita dapat terhindar dari
krisis air seperti yang telah diuraikan di muka. Upaya pertama adalah
menanamkan budaya hemat air dan budaya hidup harmonis dengan lingkungan.
Pola hidup hemat air harus dijadikan gerakan nasional kepada seluruh
komponen masyarakat.
Semuanya dimulai dari hal paling sepele seperti pemanfaatan ulang (reuse)
air buangan untuk menyiram tanaman (gardening) atau mengguyur toilet
(flushing). Sektor pertanian merupakan pengguna air terbesar yaitu sekitar
66%. Menurut World Water Council, jika tidak ada inovasi teknologi
produksi yang signifikan dalam meningkatkan produksi, pada 2020 sistem
produksi pertanian akan membutuhkan 17% air lebih banyak dari yang
sekarang.
Karena itu, upaya-upaya terobosan dalam teknologi budi daya perlu
dilakukan agar penggunaan air lebih efisien. Satu di antaranya kampanye
more crop per drop yang telah direkomendasikan FAO perlu lebih
dimasyarakatkan kepada petani. Fenomena banjir yang melanda Jakarta
beberapa tahun terakhir boleh jadi merupakan “pemanenan buah” dari apa
yang telah ditanam sebelumnya berupa pola hidup masyarakat yang tidak
harmonis dengan lingkungan.
Ribuan hektare hutan dikonversi menjadi bangunan fisik seperti
permukiman, jalan, industri, serta prasarana umum lain dengan permukaan
tanah kedap air. Implikasi yang tidak dapat dihindari adalah penurunan
laju resapan air ke dalam tanah dan meningkatnya laju air larian (run off) yang merupakan penyebab
utama banjir. Upaya kedua yaitu memanen hujan (rain harvest).
Prinsip upaya ini adalah memaksimalkan penampungan air hujan dengan
membangun sarana infrastruktur penampung air seperti waduk, embung, situ,
sumur-sumur resapan, dan resapan biopori sehingga air yang terbuang ke
laut hanya sedikit. Upaya ini untuk mencegah bencana banjir yang selalu
datang pada musim hujan dan air yang tertampung dimanfaatkan pada musim
kemarau.
Upaya ketiga, melakukan gerakan penghijauan lahan secara komprehensif dan
berkelanjutan. Budaya “muda menanam, tua memanen” perlu ditanamkan kepada
anak sejak usia dini. Penetapan Desember sebagai “Bulan Menanam” perlu
dijadikan sebagai gerakan nasional berkelanjutan, bukan hanya seremonial.
Upaya seperti ini telah dilakukan Korea Selatan sejak 1949 dengan
menetapkan 5 April sebagai Hari Menanam Nasional.
Hasilnya, kerusakan lingkungan akibat Perang Korea dapat dipulihkan
dengan cepat. Upaya keempat yaitu penegakan hukum bagi perusak
lingkungan. Selama ini upaya penegakan hukum bagi para perusak lingkungan
masih belum dilakukan secara tegas. Jarang sekali kita mendengar
kasus-kasus perusakan lingkungan berakhir di meja hijau. Saatnya
paradigma antroposentrisme di masyarakat dicerahkan. Pembangunan
dilaksanakan tanpa merusak alam dan lingkungan. Nah, di sinilah kearifan
kita dituntut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar