Benarkah kehidupan demokrasi kita
berkembang karena kesadaran rakyat, yang makin terdidik, dan dari hari ke
hari makin merasakan perlunya kehidupan yang demokratis, adil dan egaliter?
Bila jawabannya
“ya, benar”, dan didukung data meyakinkan, maka menjadi semakin jelas bagi
kita bahwa penguasa tidak terlibat dalam usaha mengembangkan demokrasi di
negeri kita ini. Siapa rakyat, dan siapa penguasa, dalam hal ini? Mungkin,
pertama-tama, rakyat harus dipahami di dalam, atau melalui, gelombang besar
yang merupakan bagian dari kekuatan global, yang secara sangat jelas
menuntut perubahanperubahan tatanan politik, dan mendesakkan agenda
kerakyatan global pula, yaitu demokratisasi.
Teriakan global
ini juga merupakan kesadaran pemikiran global, yang harus diterapkan pada
tingkat lokal. Di sini menjadi jelas pula bahwa kekuatan global itu seolah
berakar di tingkat lokal, tetapi jelas bertemu dengan aspirasi lokal,
sehingga apa yang global dan apa yang lokal tak mudah dipisahkan. Dari satu
segi ini tak mungkin terlepas dari gagasan lama, yang dipelihara baik-baik,
dan menjadi kebanggaan kaum aktivis LSM di mana-mana, mengenai “think
globally, act locally” pada tahun 1980-an dulu.
Dari segi yang
lain, ini mencerminkan dengan jelas bahwa kata “rakyat” di sini merupakan
representasi dari kekuatan kemasyarakatan yang melek kehidupan politik
nasional maupun global, yaitu ‘civil society’. Ini mencakup kalangan
intelektual, termasuk mahasiswa, para peneliti di lembaga-lembaga
penelitian, semua media dan para jurnalis masing-masing, organisasi sosial
keagamaan, dan umat masing-masing, LSM, organisasi profesi, kaum
profesional, dan kekuatan-kekuatan adat yang tersebar si seluruh pelosok
negeri.
Sebaliknya siapa
penguasa? Tanpa berbelit-belit, penguasa di sini jelas mereka yang
menjalankan mandat untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, dari tingkat
kelurahan hingga ke istana, lembaga kepresidenan, dan presidennya secara
pribadi. Dalam banyak hal, parlemen— yang seharusnya mewakili kepentingan
rakyat— juga berperan sebagai penguasa, yang tak kalah kaku, dan sok kuasa,
dibanding kalangan eksekutif.
Varian lain,
yang tampaknya tak berkuasa, dan tak menjalankan roda pemerintahan, ialah
dunia bisnis. Mereka sering menjadi bagian penguasa, dan mempengaruhi
mereka untuk banyak hal. Dunia bisnis ini sering merupakan kekuatan lokal,
maupun sekaligus kekuatan global. Mereka bisa “membeli” pemerintah,
sekaligus parlemen.
Di saat
pemerintah, parlemen dan dunia bisnis bersatu padu membendung arus suara
rakyat, mereka kuat. Apalagi bila dunia bisnis global ada pula di dalamnya.
Gerakan menuntut demokratisasi, yang lebih jelas memberi manfaat besar bagi
rakyat, bisa dibikin kandas Perjuangan rakyat bukan hanya membentur satu
tembok tebal, melainkan tiga. Tembok eksekutif, tembok legislatif, dan
tembok dunia bisnis, yang berhasil mencengkeram kedua kekuatan resmi
kenegaraan itu.
Kita mencatat,
demokratisasi kita tumbuh, mungkin agak meyakinkan, sesudah Orde Baru
ambruk. Menjelang Pemilu 1999, yang mencemaskan, semua orang dicengkam rasa
takut bila dalam pemilu tersebut terjadi kerusuhan berdarah, sebagaimana
terjadi tahun sebelumnya. Tapi kecemasan itu tak terbukti. Pemilu
berlangsung lancar, dan demokratis. Dunia kagum pada kita. Dana bantuan
asing buat pemilu saat itu sangat besar. Kita sendiri hanya memikul
kewajiban membiayai yang kecil-kecil.
Selain dana,
‘leadership’, yaitu pemikiran yang mengarahkan agar pemilu berjalan aman
dan demokratis, juga merupakan sumbangan tenaga ahli asing. Dalam
‘leadership’ kepemiluan ini kita hanya bertanggung jawab dalam hal-hal yang
lebih teknis. Dalam pemilu berikutnya, tahun 2004, kekuatan dana dan
leadership di bidang kepemiluan berubah. Dalam kedua hal itu, apa yang bisa
disebut bantuan asing hanya tinggal separuhnya. Kira-kira, formulanya, 50%
kemampuan kita sendiri, dan 50% sisanya merupakan bantuan asing. Ini suatu
kemajuan hebat bagi kita.
Maka dalam
Pemilu 2009, kekuatan civil society mendesain, dan menginginkan kepemiluan
yang lebih ideal: pemilu oleh kekuatan bangsa kita sendiri. Kita mandiri
seratus persen. Di bidang dana, “full” seratus persen, dana kita. Di bidang
leadershippun ‘full’cerminan leadershipnasional kita. “The Partnership for
Governance Reform” saat itu bekerja keras, siang malam, dan murah hati
mengeluarkan budgetuntuk “membangun” sebuah KPU yang mandiri. Ini agenda
dan pekerjaan tingkat nasional yang sangat melelahkan.
Saat itu KPU
hancur dari dalam. Komisioner yang dipilih pemerintah, yang sangat
mengabaikan suara civil society, terdiri dari orang-orang yang “tak
berbunyi”. Cita-cita untuk mewujudkan “kebanggaan” nasional ini dalam
pemilu tersebut kandas. Campur tangan pemerintah terlalu dalam. Dan masalah
sensitif terbuka. Mudah dimengerti bila sejak awal tampak permainan sabun
dalam pembentukan KPU, apalagi kemudian terbukti munculnya rentetan masalah
yang tak kunjung reda sesudahnya.
Tak banyak
orang yang mencatat dan memahaminya sebagai problem serius di bidang
politik. Maksudnya problem yang mengkhianati kepentingan rakyat untuk
mewujudkan agenda demokratisasi, yang menjamin keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia, di bidang politik, ekonomi, sosial maupun kebudayaan.
Pengkhianatan terhadap agenda besar ini semua hilang begitu saja dari
kesadaran publik.
Dan muncullah
sekarang, kekuatan-kekuatan partai politik, yang kelihatannya vandalis, dan
cenderung melahap partaipartai lain, agar mereka tak bisa tumbuh.
Persaingan dunia bisnis juga menunjukkan vandalisme seperti itu. Bisnis
kecil dilahap bisnis besar. Orang-orang partai, yang seharusnya lebih
egaliter, merasa tidak perlu bersikap egaliter. Orang partai mau hidup
sendiri, mau berkuasa sendiri.
Pendatang baru
selalu dilirik bukan sebagai “partner”, melainkan sebagai “musuh” yang
sebaiknya “diuntal” mentah-mentah. Sangat banyak keluhan dari partai-partai
yang dibikin tak berdaya oleh KPU, yang boleh jadi bermain mata, boleh jadi
”tahu sama tahu” dengan DPR. KPU yang lalu dibuat pemerintah. Dan siapa
tahu KPU ini dibuat DPR. Atau merupakan pasangan perselingkuhan politik
DPR, yang mewakili partai-partai yang tak menyukai demokrasi yang lebih
pluralistik.
Selama ini
partai-partai terbukti tak becus berbuat baik bagi rakyat, mereka tak mampu
menata kehidupan politik. Sudah terbukti yang korup ratarata berasal dari
partai. Tapi partai yang ditolak KPU, dan sudah melakukan langkah-langkah
hukum, didukung Bawaslu dan Mahkamah Agung, masih tetap dicekik.
Di antara
banyak partai yang mengeluh, PKPI merupakan contoh paling drastis. Urusan
partai ini di KPU lebih merupakan urusan hukum, tapi ketika kejelasan sudah
diperoleh secara hukum, DPR campur tangan secara politik. Cahaya keadilan
bagi seluruh partai politik belum merekah. Yang menutup cahaya itu justru
orang-orang politik sendiri. Maka rakyat harus lebih gigih berjuang, agar
demi cita-cita ini. Mereka yang dizalimi tak boleh putus asa.
Kekuatan civil society yang besar, akan
menjadi gelombang, yang menemani mereka. Dan setia untuk bersama-sama
memperjuangkan keadilan tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar