Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang didirikan oleh para pendiri bangsa tidaklah untuk
menjadi negara gagal. Bahkan, pengalaman historis perjuangan bangsa dari
prakemerdekaan hingga usaha mempertahankan kedaulatan negara justru
merupakan usaha-usaha bangsa Indonesia sendiri untuk mempertahankannya,
dari kegagalan negara.
Setiap zaman, sangat disadari, telah melahirkan
problematika dan solusi yang berbeda dan khas. Satu hal yang tampak jelas
adalah, bahwa rentang perjalanan bangsa Indonesia merupakan akumulasi
problem kebangsaan yang semakin kompleks, plural, dan rumit. Dalam hal
ini, lahirlah hukum sebagai instrumen terakhir untuk mengatur jalannya
hidup berkebangsaan.
Sebagai negara hukum, bangsa Indonesia mengandaikan
sebuah konsistensi pemerintah (eksekutif, legislatif, dan yudikatif)
sebagai instrumen negara untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945. Dan, Pancasila sebagai dasar negara dan jantung konstitusi
bangsa Indonesia, di dalamnya sebenarnya sudah tersirat penjelasan yang
terang-benderang. Bahwa tujuan konstitusi negara tak lain adalah untuk
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Adalah kandungan Pancasila seperti nilai-nilai
religiositas (ketuhanan), humanisme (kemanusiaan), persatuan, musyawarah
(demokrasi), dan keadilan yang semestinya menjadi panduan utama dalam
proses kehidupan bernegara. Namun, memasuki era reformasi dan demokrasi
sekarang ini, nilai-nilai luhur Pancasila itu seakan cenderung dilupakan.
Mengenai nilai-nilai luhur ajaran Pancasila, dahulu
Bung Karno malah pernah memerasnya menjadi satu nilai pokok. Nilai pokok
itu adalah gotong-royong. Prinsip gotong-royong ini tentunya memiliki
pengertian yang dapat diperluas dan dikembangkan secara kontekstual.
Seperti halnya pada prinsip kebersamaan ataupun prinsip musyawarah untuk
mencari kemufakatan, misalnya. Prinsip gotong-royong dari perasan lima
sila Pancasila itulah yang menjadi prinsip dasar kita dalam berdemokrasi.
Bukan malah berdemokrasi secara kebablasan seperti pada iklim demokrasi
yang kita alami sekarang ini.
Gagap
Dalam jatuh bangunnya proses
demokratisasi di Indonesia hingga saat ini, tampaknya nasib perjalanannya
masih terseok-seok. Pilihan berdemokrasi, secara luas semenjak momentum
reformasi 1998 menjadi tidak terarah dan menjadi serba salah.
Pada satu sisi, reformasi sebagai langkah awal
berdemokrasi secara luas dan terbuka memang patut diapresiasi oleh
seluruh elemen bangsa. Dan, angin segar kebebasan itulah yang kemudian
akan membawa demokrasi ke tempat yang dilematis - di mana sebelumnya
selama 32 tahun rezim Soeharto berkuasa - nasib demokrasi dan wujud
kebebasan seperti terpenjara dalam ruang pengap otoritarian-sentralistik.
Nuansa psikis bangsa saat transisi Orde Baru ke Reformasi, tampaknya
diliputi semacam kegagapan atas kebebasan.
Namun, realitas kebangsaan kita kini, di mana
demokrasi semakin hari malah semakin memperlihatkan ketidakjelasan
arahnya, kemudian muncul muatan yang kontradiktif antara tujuan dan
proses mencapaian gerakan reformasi. Demokrasi cenderung dijalankan
dengan penerapan kebebasan yang berlebihan, tanpa parameter yang jelas.
Akhirnya demokrasi seperti itu seperti semakin memuluskan proses bangsa
ini menuju kemunduran dalam arti yang sebenarnya.
Problem kebangsaan seperti penerapan demokrasi yang
kebablasan, memang seperti mengurai benang kusut di ruang gelap. Artinya,
sungguhlah terlalu berat dan beragam daftar persolaan bangsa yang mesti
diselesaikan. Namun, di tengah rasa pesimis itu, ternyata masih ada
kekuatan besar dan optimisme masyarakat untuk sekedar berharap bangsa ini
keluar dari sakit parah.
Masih banyak individu-individu yang terus bersikap
optimis, dengan bekerja keras dan tak ikut larut oleh hiruk-pikuk dunia
politik praktis yang semakin membingungkan. Masih banyak
keluarga-keluarga tangguh dalam masyarakat kita yang terus berupaya
meningkatkan taraf hidup mereka tanpa mengorbankan martabat serta harga
diri demi materi dan kepentingan sesaat.
Dari sebagian kekuatan optimis yang tersisa itulah,
yang wajib kita gunakan sebagai cermin refleksi diri. Ini penting agar
kita tidak hanya berdiam diri atau pasrah tanpa usaha dan harapan di
tengah kesemrawutan tatanan kehidupan bangsa ini. Masa depan anak-anak
bangsa dan generasi penerus bangsa tidak boleh diserahkan pada keadaan
saja, atau kita melarikan diri dari persoalan yang belum tuntas ini. Dan,
demokrasi itu memanglah hanya alat saja. Ia seperti pesawat terbang, bisa
melayang di awan, juga bisa jatuh ke jurang.
Maka, untuk membangun demokrasi yang bermanfaat bagi
bangsa ini diperlukan 'pilot' yang memang berkompeten. Jangan malah,
misalnya, atlet sepak bola dijadikan pilot. Runyam jadinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar