Untuk kesekian kalinya,
konflik antara TNI-Polri kembali terjadi. Kamis (7/3) pagi, ketika denyut
aktivitas masyarakat baru dimulai, publik dikejutkan oleh penyerangan
puluhan personil TNI dari Batalyon Artileri Medan 15, Kodam II Sriwijaya ke
Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Akibat penyerangan
frontal itu, sejumlah aparat polisi menjadi korban, sebagian gedung kantor
Mapolres OKU ludes dibakar. Inventaris kantor, puluhan sepeda motor serta
mobil pun ikut dirusak.
Konflik yang melanda dua
institusi itu, membuat masyarakat layak bertanya tentang eksistensi dan
profesionalitas TNI-Polri. Bila institusi TNI-Polri kerap kali terlibat
bentrok, bagaimana mereka bisa meredam gejolak konflik di Tanah Air, baik
itu masalah keamanan dan ketertiban masyarakat oleh kepolisian, maupun
pertahanan negara oleh aparatus TNI?
Histori konflik TNI dan aparat
kepolisian yang letupannya sudah ada sejak dulu hingga kini memang tak
pernah menemui titik kulminasi penyelesaian. Bagai sebuah drama yang tak
berujung klimaks, hubungan keduanya sering merenggang. Ego sentris di
antara kedua korps sering menimbulkan friksi yang terkadang meluas menjadi
sebuah ketegangan. Bahkan, menjadi banalitas seperti realitas yang kini
menjadi tontonan publik.
Disharmoni Relasi
Selama ini, hubungan TNI-Polri
cenderung kurang harmonis. Konflik yang terjadi di OKU hanyalah satu kisah
dari rentetan konflik yang pernah terjadi di antara kedua belah pihak di
berbagai daerah. Bisa dikatakan konflik yang terjadi OKU itu hanyalah
puncak gunung es.
Menurut catatan yang dilansir
Litbang Kompas, dalam kurun waktu 2006-2013, sudah tujuh kali terjadi konflik
antara TNI-Polri. Celakanya, ternyata empat dari konflik itu terjadi di
daerah yang kini menjadi lokus peristiwa, yakni di Palembang, Sumatera
Selatan. Antara lain, baku tembak antara oknum polisi dan oknum aparat TNI
di Muara Rawas, Agustus 2006, kantor polisi diserang oknum anggota TNI di
Muara Enim (Juli 2010). Kemudian, Januari 2013 dua anggota TNI bentrok
dengan petugas polisi satlantas yang mengakibatkan tertembaknya salah
seorang anggota TNI. Dari kasus terakhir yang belum tuntas itu, kemudian berbuntut
panjang pada tragedi Maret ini, Mapolres OKU diserang dan dibakar.
Eskalasi konflik TNI-Polri
yang terjadi di Palembang mestinya tidak perlu berbuntut panjang menjadi
anarkis seperti yang terjadi saat ini kalau saja pemangku kepentingan
seperti kepala kepolisian daerah, panglima daerah militer, dan pemerintah
daerah bisa mengidentifikasi masalah dan sedini mungkim mencari jalan
keluar guna menengahi labirin persoalan dan konflik yang membelit TNI-Polri
di daerah itu.
Kini, nasi sudah menjadi
bubur, konflik sudah pecah dan korban sudah jatuh. Kasus ini harus dibawa
ke ranah hukum. Karena, perbuatan merusak, membakar, dan menyerang adalah
tindakan pidana yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan hukum. Karena
pelaku berasal dari instansi militer, kasus ini mesti diselesaikan melalui
jalur pengadilan militer. Setelah proses hukum berjalan, barulah kemudian
mencari jalan keluar dan solusi tepat agar ke depan bentrok yang kerap
terjadi tidak terulang kembali.
Akar Konflik
Konflik yang terjadi di OKU Palembang
setidaknya menunjukkan bahwa ada kegagapan profesionalitas di tubuh
TNI-Polri dalam menghadapi situasi masyarakat yang dinamis, sehingga mereka
tidak sanggup menangani masalah internalnya sendiri dengan baik.
Setidaknya, ada beberapa penyebab mengapa budaya konflik yang kini mendera
TNI-Polri terus berkepanjangan.
Pertama, masih kentalnya
budaya militerisme di tubuh TNI maupun Polri. Reformasi di tubuh TNI dan
Polri dalam konteks transformasi politik nasional, menghendaki hadirnya
tentara yang mengedepankan rasionalitas dan bersikap manusiawi, bukan
menampakkan tindakan emosional dan tidak humanis. Tindakan kekerasan dan
emosional dalam pendekatan militer tidak akan menyelesaikan persoalan,
namun malah akan berbuah kekerasan. Namun, di sini bukan berarti TNI-Polri
tidak boleh menggunakan senjata, namun penggunaan kekerasan dengan senjata
harus sesuai dengan prosedur yang baku dan bukan semaunya sendiri.
Kedua, adanya kompleksitas
persoalan yang belum diimbangi oleh tingkat profesionalisme dan kedisiplinan
tinggi, baik oleh TNI maupun Polri. Peliknya persoalan yang mendera di masa
transisi politik dewasa ini, diakui atau tidak, cukup menguras energi
kalangan aparat kepolisian. Demikian pula sesungguhnya kalangan tentara
mengalami hal serupa, mengingat beberapa kasus yang berpotensi menuju
disintegrasi bangsa.
Ketiga, menurunnya wibawa
pimpinan TNI-Polri. TNI dan Polri bekerja dengan sistem komando. Secara
normatif, anak buah harus taat perintah atasan, artinya tidak boleh
menyimpang dari tugas yang diberikan. Hal itu dilakukan dengan tingkat
disiplin tinggi. Jikalau mereka tidak taat aturan, itu terjadi karena
mereka menganggap patronase yang ditampilkan pimpinan kurang menjadi
cerminan yang baik bagi mereka.
Keempat, kurang adanya relasi
dan koordinasi antar-aparat kepolisian dengan pihak TNI. Dampaknya adalah
terasa adanya jurang pemisah yang lebar antara aparat kepolisian dan aparat
TNI.
Kurangnya komunikasi, dialog
intensif, terutama pada level bawah memunculkan hal yang fatal. Misalnya,
mereka lebih mudah tersinggung dan menunjukkan arogansi masing-masing saat
menjalankan tugas di lapangan. Terlebih lagi, bila di dalam diri individu
mereka ada sebuah prasangka-prasangka yang tertanam kuat, yang bisa
terakumulasi dan memunculkan konflik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar