Di tengah maraknya propaganda politik bergulirlah
sebuah film dokumenter berjudul Di Balik Frekuensi. Film ini menceritakan
dua sosok yang terlibat dalam pemberitaan pada dua stasiun televisi
nasional.
Sosok pertama bernama Luviana, jurnalis perempuan
yang bekerja di Metro TV. Luviana merupakan korban PHK (Pemutusan
Hubungan Kerja) akibat menuntut kenaikan upah layak dan pembentukan
serikat pekerja di perusahaannya. Kelayakan hidup dan berorganisasi,
ternyata masih sebatas menjadi harapan bagi kalangan jurnalis.
Perjuangan Luviana untuk mampu berkarya kembali
sebagai pekerja media mengalami kegagalan. Beberapa kali pertemuan dengan
pihak perusahaan, bahkan dengan elite institusi media berita ini, tidak
membuahkan hasil. Sejumlah demonstrasi untuk menuntut hak sebagai pekerja
media dan membentuk opini publik tentang ketidakadilan perusahaan tidak
lebih sebagai upaya yang demikian sia-sia.
Sosok kedua yang muncul secara karikatural pada film
ini ialah Hari Suwandi. Lelaki ini mengaku sebagai seorang korban lumpur
Lapindo. Secara dramatis terdapat adegan yang menggambarkan bagaimana dia
layaknya melata merayap dari kubangan lumpur.
Lantas dia menangis dan bersumpah untuk pergi ke
Jakarta dengan satu tujuan, yakni menuntut Aburizal Bakrie untuk segera
melunasi hak-hak korban. Untuk menunjukkan tekadnya yang kuat, Hari
berjalan kaki dari Sidoarjo menuju Jakarta.
Di beberapa wilayah, Hari disambut begitu hangat dan
diberi pertolongan oleh masyarakat bagaikan pahlawan pembela kebenaran.
Ketika ada reporter TvOne berusaha mewawancarainya, Hari menghardiknya.
Hari beranggapan TvOne telah melakukan manipulasi fakta.
Namun, pada akhirnya, sungguh tidak masuk akal ketika
Hari muncul di studio TvOne untuk diwawancarai secara langsung. Pada
momentum itu, Hari justru menangis dan memohon maaf kepada keluarga
Aburizal. Saat itu pula Hari berkata Aburizal mampu melunasi semua hak
korban.
Apa makna substansial yang bisa dipahami dari Di
Balik Frekuensi? Tayangan berita politik yang disemburkan stasiun-stasiun
televisi ternyata memiliki tragedinya sendiri-sendiri. Ada buruh media,
yang mungkin berjumlah banyak, dan orang-orang kecil yang dieksploitasi
untuk kepentingan kuasa pemilik media.
Di depan panggung, para pemilik media berkoar tentang
restorasi bangsa dan pencalonan presiden yang konon ditujukan untuk
kesejahteraan rakyat. Ironisnya, di belakang panggung, banyak korban
terbungkam yang tidak pernah diketahui sebagian besar khalayak media.
Stasiun televisi berita telah menjelma sebagai
industri kosmetik politik yang memoles hasrat kuasa pemiliknya seraya
memecundangi si lemah dalam keriuhan tontonan.
Tidak Diperhitungkan
Terdapat satu persoalan esensial, selain isu
perburuhan dan rekayasa tontonan, yang harus dimengerti publik mengenai
industri televisi (dan industri penyiaran pada umumnya). Frekuensi
merupakan problem yang selama ini diabaikan dan cenderung tidak
diperhitungkan dalam arena propaganda politik yang secara masif
melibatkan televisi, radio, dan internet.
Padahal, tanpa frekuensi, seluruh retorika
berbuih-buih yang digelontorkan pihak pemilik media tidak mungkin sampai
ke hadapan khalayak. Frekuensi itu berada di udara dan memang tidak bisa
ditangkap indra penglihatan. Namun, frekuensi memiliki kemampuan
menundukkan mata pemirsa.
Frekuensi, ungkap Marcel Danesi (Dictionary of Media
and Communications, 2009), adalah ukuran gelombang radio yang dapat
menunjukkan stasiun radio ketika kita mencarinya. Jika konsep itu
diperluas, frekuensi bisa pula dimengerti sebagai sarana yang
mengantarkan sebuah siaran televisi (dan radio) agar dapat ditangkap
khalayak.
Para pemilik stasiun televisi boleh saja mengklaim
mereka mempunyai seluruh perangkat produksi siaran, dari kamera hingga
gedung yang amat megah. Namun, tanpa frekuensi seluruh kepemilikan sarana
produksi siaran tidak ada maknanya. Frekuensi adalah bagian integral
industri siaran.
Sebuah fakta yang harus mendapatkan penekanan khusus
adalah jumlah frekuensi amat terbatas. Publik memiliki otoritas untuk
menjadi pemilik frekuensi karena kelangkaan ini.
Dalam rumusan lain dapat dikemukakan frekuensi itu
milik publik! Hal ini disebabkan—sebagaimana halnya tanah, air, dan udara
yang secara sekilas melimpah—jumlah orang yang bisa mengelolanya secara
baik ternyata sangat sedikit.
Terdapat realitas paradoksal di sini. Pada satu sisi,
frekuensi sangat terbatas. Namun, pada sisi lain, pihak yang mampu
mengetahui dan memanfaatkan sumber daya penyiaran ini sangatlah elitis.
Dalam situasi demikian, berlakulah hukum rimba
berbasis kapital (finansial) dan pengetahuan. Siapa yang punya uang dan
kecerdasan akan mampu menguasai dan mengelola frekuensi. Hukum rimba
mengalami transformasi karena frekuensi merupakan ranah publik: pihak
manapun yang mengendalikan frekuensi, dengan itu bisa mengontrol
kesadaran publik.
Memang, kontrol terhadap kesadaran melibatkan
kemampuan publik dalam melakukan perlawanan. Publik tidak mudah
ditaklukkan secara total. Ada negosiasi yang tidak pernah usai. Namun,
berapa banyak bagian dari publik yang mampu menunjukkan resistensi secara
terbuka, terhadap sikap arogan para pemilik media yang sudah mengangkangi
frekuensi milik publik itu?
Kemajemukan Gagasan
Para pemilik media penyiaran pasti tidak sudi dan
akan menunjukkan perilaku reaktif jika dituding telah menguasai frekuensi
milik publik. Mereka akan berdalih mereka juga mewakili publik. Apa yang
mereka siarkan dan pidatokan setiap hari adalah cerminan aspirasi publik,
demikianlah mereka mengklaim.
Dalam situasi ini, kita tidak bisa tinggal diam
dengan argumentasi ideologis itu, seakan-akan pemilik media membela kepentingan
masyarakat, namun pada prinsipnya merekalah yang mendapatkan keuntungan
lebih banyak. Kesadaran publik semakin dikebiri.
Pemilik media bukanlah perwakilan publik. Apa yang
membedakan mereka dari publik? Hannah Arendt, sebagaimana diuraikan F
Budi Hardiman (Ruang Publik, 2010), mengontraskan antara polis dengan
oikos. Apa yang disebut polis atau publik merupakan ruang berkomunikasi
dalam kebebasan dan pluralitas perspektif (sudut pandang).
Dalam lingkup ini, individu-individu meluruhkan
problem-problem privat mereka. Sementara itu, oikos atau yang privat
merupakan wilayah keniscayaan yang berada di bawah kendali survival
manusia sebagai spesies. Jadi, publik dengan sendirinya menonjolkan
kemajemukan gagasan, sedangkan pihak yang privat sangat berhasrat
menyuarakan kepentingan-kepentingan mereka sendiri.
Dari titik pembedaan itu, publik seharusnya makin
menyadari selama ini hak mereka terhadap pemakaian frekuensi tidak saja
telah dikangkangi segelintir elite pemilik media, melainkan juga
frekuensi telah dijarah dan dirampok pemilik media.
Lebih buruk lagi kalangan pemilik media pun memiliki
kedudukan sebagai elite-elite pada sejumlah partai politik. Dengan
demikian, apa yang terjadi adalah publik telah dua kali dikorbankan.
Pertama, hak publik untuk mendapatkan tayangan yang berkarakter
multiperspektif telah sirna. Kedua, partai politik sekadar menjadi kedok
dan sarana nyaman pemilik media terus mendominasi ruang publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar