Pangan, air, dan energi merupakan kebutuhan
mendasar bagi keberlangsungan hidup manusia. Secara sederhana manusia
membutuhkan makan dan air untuk hidup serta butuh energi guna menunjang
mendapatkan kedua hal tersebut.
Geoff Hiscock
dalam bukunya, Earth War,menyatakan bahwa ketahanan pangan, air, energi,
dan logam merupakan isu utama yang menjadi perhatian berbagai negara di
dunia saat ini. Selain karena keberadaannya terbatas, laju pertumbuhan
penduduk yang semakin meningkat sehingga kebutuhan akan sumber daya pun
meningkat. Hal ini berimplikasi terhadap intensitas perebutan kekuasaan
antara negara atas sumber daya.
China dan India
akan menjadi penentu pasar energi di dunia, sedangkan di Asia tenggara pada
2050 menjadi masa keemasan bagi Indonesia, di mana ada bonus demografi
diikuti oleh sumber daya yang kaya akan minyak/ gas, termal, batu bara,
kelapa sawit, dan pangan (Hiscock, 2012). Krisis air, pangan, dan energi
tak terelakkan. Harga pangan akan tetap tinggi dan fluktuatif.
Begitu pula
dengan energi, khususnya minyak dan gas bumi (migas), cadangan minyak
diperkirakan 1,2 triliun barel yang diperkirakan hanya mampu untuk memenuhi
kebutuhan dunia selama 30 tahun ke depan. Sedangkan untuk air secara global
satu dari empat orang di dunia kekurangan air minum, sementara satu dari
tiga tidak mendapatkan sanitasi yang layak.
Dengan potensi
kerentanan itu, perlu kebijakan antisipatif. Pembuat kebijakan harus lebih
arif dalam membuat kebijakan terkait ketahanan energi, pangan, dan air,
serta jaminan keberlangsungan pada masa akan datang.
Antisipasi Indonesia
Tidak berbeda
jauh dengan apa yang melanda dunia, Indonesia juga mengalami krisis baik
pada pangan, air, maupun energi. Berdasarkan Kepala BNPB, Indonesia akan
mengalami krisis air, terutama musim kemarau. Pada 2020 potensi air yang
layak diperkirakan sebesar 35% dari total air yang dikelola atau sekitar
400 meter kubik per kapita per tahun. Angka ini tentu jauh dari angka
minimum dunia yaitu 1000 meter kubik per kapita per tahun.
Pada pangan
pemenuhan swasembada pangan lima komoditas yaitu beras, jagung, kedelai,
daging sapi, dan gula belum optimal, terlihat dari ada ketergantungan
terhadap impor, kedelai sekitar 70%, gula 54%, dan daging sapi sekitar 20%.
Selain itu juga permasalahan terkait ketersediaan lahan garapan ratarata
petani yang hanya 0.3 hektare. Idealnya petani memiliki lahan garapan
seluas 2 hektare, ditambah maraknya ada konversi lahan pertanian, contoh
penyusutan lahan pertanian dari 1,550 hektare menjadi 1300 hektare pada
2012.
Sedangkan pada
sektor energi, khususnya minyak bumi, dapat diketahui bahwa konsumsi minyak
bumi pada 2010 mencapai 388,241 ribu barel dengan konsumsi per hari
rata-rata 1,063,674 barel per hari. Sayangnya, Indonesia hanya mampu
memproduksi BBM sebesar 241,2 juta barel sehingga pemerintah masih
mengambil kebijakan mengimpor produk BBM sebesar 23,633 juta barel.
Departemen ESDM
pada 2011 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki cadangan minyak bumi hampir
sebesar 8 miliar barel (7.764,48 MMSTB), di mana 3,7 miliar barel telah
terbukti, dan sisanya merupakan cadangan potensial. Ketersediaan minyak
bumi tersebut, jika diukur dengan rasio cadangan terbukti terhadap produksi
(RP ratio), dapat bertahan selama 12,27 tahun.
Berdasar pada
persoalan di atas, tidak heran jika isu ketahanan pangan dan energi menjadi
urgensi tersendiri bagi pemerintah saat ini. Hal ini tercermin dalam
program dua tahun kedepan (hingga 2014) yang menekankan ada ketersediaan
dan keterjangkauan pangan masyarakat baik harga maupun aksesibilitas dalam
membeli produk pangan.
Amanat Konstitusi
Berdasarkan
undang-undang yang mengatur komoditas strategis ini, di antaranya UU No
30/2007 mengenai energi, UU No 7/2004 mengenai sumber daya air, dan UU No
18/2012 mengenai pangan, dan tujuan bangsa dan negara, ketahanan pangan,
serta air dan energi diupayakan berbasis pada kedaulatan dan kemandirian
yang sejatinya berupaya untuk mewujudkan kedaulatan nasional yang tangguh.
Kedaulatan
mencerminkan hak menentukan kebijakan secara mandiri, menjamin hak atas
sumber daya tersebut, dan memberi hak bagi masyarakat untuk menentukan
sistem usaha sesuai dengan potensi sumber daya dalam negeri. Sedangkan
kemandirian lebih menekankan pada kemampuan negara memproduksi kebutuhannya
di dalam negeri.
Undang-undang
pangan dan energi pun menjelaskan bahwa dapat melakukan impor dengan
catatan produksi pangan dan energi tidak mencukupi. Sayangnya, yang terjadi
masih tingginya impor pangan dan energi nasional dalam memenuhi kebutuhan.
Kembali pada makna yang tersirat dari UUD 1945, sumber daya alam
dipergunakan dan dapat dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Jika dipahami
lebih dalam, tidak hanya memandang energi, pangan, dan air sebagai sebuah
produk yang perlu disediakan, melainkan juga perlu ada kebijakan yang
mengarah pada pembangunan dan pengembangan industri pangan, air, dan energi
nasional. Dengan demikian, kebijakan yang mengimpor kebutuhan dengan dalih
lebih murah bukanlah hal yang tepat karena berkaitan dengan kemandirian
negara.
Dari tiga
komoditas strategis yang dibahas, saat ini sektor migas mengalami darurat
konstitusi, pola pengelolaan saat ini belum dilindungi secara utuh oleh
undang-undang. Darurat konstitusi arahnya kepada mengembalikan lagi semua
isi UU dan kebijakan turunannya sesuai kepada UUD 1945 Pasal 33.
Kata “darurat”
menjadi penting untuk dikupas demi menyelamatkan Indonesia dari
keterpurukan ekonomi dan segala bidang kehidupan jika ketiganya makin
langka, musnah, bahkan tidak ada cadangan bagi keberlangsungan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kondisi darurat konstitusi tentu dapat dijadikan
peluang bagi berbagai pihak untuk mengambil keuntungan, terutama dalam
kontrak eksplorasi dalam sektor migas.
Pada pangan,
kemampuan produksi nasional perlu diimbangi dengan keberadaan lembaga
pemerintah sebagai stabilisator harga pangan. Peranan Perum Bulog perlu
diperkuat sehingga harga pangan dapat dikendalikan, baik mengurangi
fluktuasi harga sekaligus mengantisipasi cadangan pangan untuk kondisi
darurat. Setidaknya harga produk pangan strategis seperti beras, jagung,
gula, daging sapi, dan kedelai terjangkau oleh masyarakat dan tersedia.
Ketersediaan
ini pula didorong untuk tidak lagi mengimpor dari negara tetangga, tetapi
dihasilkan dari pertanian lokal. Pada sektor energi, negara wajib mengambil
alih kembali kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam. Menyiapkan
cadangan energi baik untuk cadangan operasional maupun cadangan strategis
demi menanggulangi kondisi darurat dan krisis energi.
Intinya dari
permasalahan krisis pada komoditas strategis ini adalah tata pengelolaan
sehingga solusi perlu diarahkan mengefisienkan dan mengefektifkan tata
kelola sektor-sektor strategis ini. Secara umum terdapat beberapa
rekomendasi dalam menyikapi kondisi darurat pangan air dan energi ini.
Pertama, ada
harmonisasi kebijakan pemerintah baik undang-undang hingga keputusan
menteri yang terkait dengan pengelolaan sumber daya energi, air, dan
pangan. Kedua, ada penguatan kelembagaan dan koordinasi antarlembaga yang
terkait, baik perbankan, akademisi, LSM, maupun swasta guna meningkatkan
inovasi dan produktivitas sumber daya terkait. Ketiga, ada jaminan
ketersediaan khususnya dalam mengembangkan potensi produksi melalui
pengembangan teknologi.
Keempat,
keterjangkauan melalui penataan kembali sistem logistik, baik pergudangan,
cadangan, perbaikan, maupun pengembangan infrastruktur transportasi.
Terutama guna memperpendek supply
chain energi, pangan, dan air. Kelima, membangun sistem pengawasan
terkait distribusi dari sumber daya energi, pangan, dan air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar