Senin, 04 Maret 2013

Candu itu Bernama Gim Online


Candu itu Bernama Gim Online
Ahmad Baedowi ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 04 Maret 2013


SAYANG belum ada hasil penelitian tentang dampak negatif gim online bagi pertumbuhan kognisi dan afeksi anak dengan tingkat achievement dalam belajar. Akan tetapi, jika asumsi itu benar, yaitu lebih banyak mudarat daripada manfaatnya, gim online harus diberi atensi secara benar oleh semua pihak termasuk guru dan orangtua. Mudahnya akses daring bahkan hanya melalui telepon seluler membuat siapa pun tak mudah mengontrol kebiasaan anak-anak mereka. Bahkan sangat boleh diyakini bahwa penggunaan gim online bagi anak usia sekolah seolah bagai candu yang tak mudah dicegah.

Seperti bentuk candu lainnya semisal narkoba, gim online jangan-jangan lebih cepat merusak simpul saraf amygdala anak-anak kita agar berhenti bekerja normal. Jika dikaitkan dengan dampak negatif terhadap susunan saraf mata kita ketika lebih dari 4 jam berhadapan dengan komputer, efek gim online bagi anak-anak mungkin jauh lebih dahsyat. Jangan-jangan mereka mengonsumsi gim online lebih dari 4 jam dalam sehari.

Artinya, perilaku kompulsif anak yang kecanduan gim online akan mengikat secara negatif dan terus-menerus sehingga akhirnya mereka akan kehilangan kontrol dan kemampuan dalam membatasi penggunaannya.

Salah satu faktor penyebab mengapa anak-anak saat ini begitu mencandu gim online, sangat boleh jadi, disebabkan miskinnya bentuk permainan atraktif yang edukatif. Selain itu, memang tak mudah menjadi orangtua dan guru, apalagi di zaman ketika teknologi informasi memengaruhi sekaligus memaksa daya kritis dan fantasi anak berkembang lebih cepat daripada sebelumnya.

Kata Rachel Carson, “If a child is to keep alive his in born sense of wonder, he needs the companionship of at least one adult who can share it, rediscovering with him the joy, excitement and mystery of the world we live in.“

Secara bebas, kita bisa menangkap maksud kalimat tersebut sebagai pengingat bahwa dalam mendidik, membiarkan anak menerawang dan berangan-angan sendiri adalah sangat tidak bijak. Akan tetapi, mari kita perhatikan ketika anak kecanduan gim online. Ketika mereka menerawang sendiri dunia khayal mereka, kita seakan membiarkan angan-angan mereka berkeliaran secara liar tanpa ada pendampingan yang cukup dalam rangka membimbing angan-angan tersebut.

Sebuah Keniscayaan

Karena itu, tugas kita sebagai orangtua dan guru ialah memberikan respons positif, termasuk di antaranya memberikan kritik dan pengingat bahwa angan-angan tersebut berlebihan. Dalam perilaku individu, angan-angan (wishful thinking) merupakan sebuah keniscayaan.

Kehadiran dan maraknya gim online sebenarnya menandakan matinya mainan tradisional anak yang secara budaya lebih baik karena konsep bermain dipahami bukan sekadar mencari kesenangan dan membuang-buang waktu.

Permainan tradisional juga sangat dipengaruhi iklim. Karena itu, anak-anak di daerah tertentu melakukan permainan yang berbeda-beda di setiap musimnya, seperti permainan layang-layang yang dimainkan di musim panas atau perahu mainan yang dibuat dari kulit jeruk bali ketika musim penghujan. Selain itu, pada permainan tradisional, anak dituntut membuat sendiri mainannya dan melakukannya bersama-sama (kerja sama/gotong royong). Dengan demikian, permainan tradisional menjangkau seluruh ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik anak secara bersama.

Dalam gim online, jelas anak teralienasi karena sama sekali tak terlibat secara aktif dalam proses pembuatannya dan bahkan memainkannya secara individual. Kalaupun dimainkan bersama orang lain, hal itu dilakukan secara daring, tanpa interaksi secara fisik. Seperti dalam permainan sepak bola, secara tradisional anak membutuhkan dua tim (kebersamaan dan kepemimpinan) untuk memainkannya dan bekerja sama (gotong royong) dalam membuat gawang. Secara modern, anak cukup duduk di depan layar monitor dan memegang stick game.

Hilangnya Budaya

Selain itu, permainan tradisional yang dimainkan secara guyub tadi membuat setiap anak memegang peran atau kendali (tanggung jawab) sehingga terbangun aturan per mainan di dalamnya, yakni setiap anak tidak bisa seenaknya melakukan kecurangan (kepatuhan). Berbeda dengan permainan modern karena yang dihadapi anak ialah sistem komputer, anaklah yang secara individu memegang kendali, tanpa kontrol sosial, dan secara bebas dapat melakukan kecurangan.

Karena itu, kita harus mewaspadai segala bentuk dan jenis gim online karena sengaja diproduksi sebagai tuntutan gaya hidup dan budaya populer yang merambah kehidupan politik, ekonomi, dan kesehatan masyarakat sehingga dikhawatirkan dapat mengubah struktur budaya masyarakat.
Gim online juga merupakan bentuk lain dari transplantasi budaya, ketika proses infiltrasi budaya satu ke budaya lainnya berlangsung secara intensif.

Hal itu jelas dapat menyebabkan terjadinya penghapusan budaya (cultural genocide) secara perlahan-lahan (Nandy: 2000).

Semoga kita dapat membaca fenomena gim online sebagai sebuah paradigma, yakni paradigma yang dalam perkembangan teknologi informasi dan kapitalisasi ekonomi pada kebijakan teknologi informasi harus dicermati secara saksama oleh para pengambil kebijakan bidang pendidikan di Indonesia.

Sebagai basis pendidikan massal paling efektif, gim online berbasis teknologi informasi memiliki peluang untuk mengubah tatanan budaya lokal karena baik konten maupun rancangan programnya bisa jadi merupakan manifestasi dan justifi kasi superioritas budaya Barat yang belum tentu semuanya baik (Dighe: 2000).

Sebagai salah satu bentuk toxic culture, tidak sedikit gim online memamerkan praktik kekerasan yang sangat tidak mendidik dan dapat menyebabkan kriminalitas di usia muda meningkat, egoisme tambah menjadi-jadi, bahkan juga dapat merusak lingkungan dan membuat budaya sekolah tidak sehat (Gidley: 2000). Diperlukan kreativitas emosional guru dan orangtua dalam menghadapi candu gim online ini.



Ahmad Baedowi ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 04 Maret 2013


SAYANG belum ada hasil penelitian tentang dampak negatif gim online bagi pertumbuhan kognisi dan afeksi anak dengan tingkat achievement dalam belajar. Akan tetapi, jika asumsi itu benar, yaitu lebih banyak mudarat daripada manfaatnya, gim online harus diberi atensi secara benar oleh semua pihak termasuk guru dan orangtua. Mudahnya akses daring bahkan hanya melalui telepon seluler membuat siapa pun tak mudah mengontrol kebiasaan anak-anak mereka. Bahkan sangat boleh diyakini bahwa penggunaan gim online bagi anak usia sekolah seolah bagai candu yang tak mudah dicegah.
Seperti bentuk candu lainnya semisal narkoba, gim online jangan-jangan lebih cepat merusak simpul saraf amygdala anak-anak kita agar berhenti bekerja normal. Jika dikaitkan dengan dampak negatif terhadap susunan saraf mata kita ketika lebih dari 4 jam berhadapan dengan komputer, efek gim online bagi anak-anak mungkin jauh lebih dahsyat. Jangan-jangan mereka mengonsumsi gim online lebih dari 4 jam dalam sehari.
Artinya, perilaku kompulsif anak yang kecanduan gim online akan mengikat secara negatif dan terus-menerus sehingga akhirnya mereka akan kehilangan kontrol dan kemampuan dalam membatasi penggunaannya.
Salah satu faktor penyebab mengapa anak-anak saat ini begitu mencandu gim online, sangat boleh jadi, disebabkan miskinnya bentuk permainan atraktif yang edukatif. Selain itu, memang tak mudah menjadi orangtua dan guru, apalagi di zaman ketika teknologi informasi memengaruhi sekaligus memaksa daya kritis dan fantasi anak berkembang lebih cepat daripada sebelumnya.
Kata Rachel Carson, “If a child is to keep alive his in born sense of wonder, he needs the companionship of at least one adult who can share it, rediscovering with him the joy, excitement and mystery of the world we live in.“
Secara bebas, kita bisa menangkap maksud kalimat tersebut sebagai pengingat bahwa dalam mendidik, membiarkan anak menerawang dan berangan-angan sendiri adalah sangat tidak bijak. Akan tetapi, mari kita perhatikan ketika anak kecanduan gim online. Ketika mereka menerawang sendiri dunia khayal mereka, kita seakan membiarkan angan-angan mereka berkeliaran secara liar tanpa ada pendampingan yang cukup dalam rangka membimbing angan-angan tersebut.
Sebuah Keniscayaan
Karena itu, tugas kita sebagai orangtua dan guru ialah memberikan respons positif, termasuk di antaranya memberikan kritik dan pengingat bahwa angan-angan tersebut berlebihan. Dalam perilaku individu, angan-angan (wishful thinking) merupakan sebuah keniscayaan.
Kehadiran dan maraknya gim online sebenarnya menandakan matinya mainan tradisional anak yang secara budaya lebih baik karena konsep bermain dipahami bukan sekadar mencari kesenangan dan membuang-buang waktu.
Permainan tradisional juga sangat dipengaruhi iklim.
Karena itu, anak-anak di daerah tertentu melakukan permainan yang berbeda-beda di setiap musimnya, seperti permainan layang-layang yang dimainkan di musim panas atau perahu mainan yang dibuat dari kulit jeruk bali ketika musim penghujan. Selain itu, pada permainan tradisional, anak dituntut membuat sendiri mainannya dan melakukannya bersama-sama (kerja sama/gotong royong). Dengan demikian, permainan tradisional menjangkau seluruh ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik anak secara bersama.
Dalam gim online, jelas anak teralienasi karena sama sekali tak terlibat secara aktif dalam proses pembuatannya dan bahkan memainkannya secara individual. Kalaupun dimainkan bersama orang lain, hal itu dilakukan secara daring, tanpa interaksi secara fisik. Seperti dalam permainan sepak bola, secara tradisional anak membutuhkan dua tim (kebersamaan dan kepemimpinan) untuk memainkannya dan bekerja sama (gotong royong) dalam membuat gawang. Secara modern, anak cukup duduk di depan layar monitor dan memegang stick game.
Hilangnya Budaya
Selain itu, permainan tradisional yang dimainkan secara guyub tadi membuat setiap anak memegang peran atau kendali (tanggung jawab) sehingga terbangun aturan per mainan di dalamnya, yakni setiap anak tidak bisa seenaknya melakukan kecurangan (kepatuhan). Berbeda dengan permainan modern karena yang dihadapi anak ialah sistem komputer, anaklah yang secara individu memegang kendali, tanpa kontrol sosial, dan secara bebas dapat melakukan kecurangan.
Karena itu, kita harus mewaspadai segala bentuk dan jenis gim online karena sengaja diproduksi sebagai tuntutan gaya hidup dan budaya populer yang merambah kehidupan politik, ekonomi, dan kesehatan masyarakat sehingga dikhawatirkan dapat mengubah struktur budaya masyarakat.
Gim online juga merupakan bentuk lain dari transplantasi budaya, ketika proses infiltrasi budaya satu ke budaya lainnya berlangsung secara intensif.
Hal itu jelas dapat menyebabkan terjadinya penghapusan budaya (cultural genocide) secara perlahan-lahan (Nandy: 2000).
Semoga kita dapat membaca fenomena gim online sebagai sebuah paradigma, yakni paradigma yang dalam perkembangan teknologi informasi dan kapitalisasi ekonomi pada kebijakan teknologi informasi harus dicermati secara saksama oleh para pengambil kebijakan bidang pendidikan di Indonesia.
Sebagai basis pendidikan massal paling efektif, gim online berbasis teknologi informasi memiliki peluang untuk mengubah tatanan budaya lokal karena baik konten maupun rancangan programnya bisa jadi merupakan manifestasi dan justifi kasi superioritas budaya Barat yang belum tentu semuanya baik (Dighe: 2000).
Sebagai salah satu bentuk toxic culture, tidak sedikit gim online memamerkan praktik kekerasan yang sangat tidak mendidik dan dapat menyebabkan kriminalitas di usia muda meningkat, egoisme tambah menjadi-jadi, bahkan juga dapat merusak lingkungan dan membuat budaya sekolah tidak sehat (Gidley: 2000). Diperlukan kreativitas emosional guru dan orangtua dalam menghadapi candu gim online ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar