Akhir-akhir ini, media massa kita diramaikan berita pertikaian rumah
tangga muda Indonesia.
Pertikaian itu hampir semua berujung perceraian. Bahkan, ada yang
diakhiri tragedi mengerikan, seperti pembunuhan. Para pengamat perilaku
menengarai semua itu dampak dari terjebaknya sebagian generasi muda di
pusaran profan, yang menjauhkan mereka dari kedalaman pemikiran dan
perenungan. Lalu, kemunduran etika yang diujungi pelanggaran komitmen pun
tak henti terjadi.
Dari sini, lalu banyak yang menduga jangan-jangan kemunduran itu ada
kaitan dengan hilangnya mata pelajaran Budi Pekerti di bangku sekolah sejak
beberapa dasawarsa lalu. Sementara sebagian pedagog menganggap runtuhnya
etika dan komitmen itu bisa berkaitan pula dengan penyingkiran bahasa
daerah, bahasa lokal, atau bahasa ibu, yang pada puluhan tahun silam rajin
diajarkan di sekolah.
Memang, apabila kitab-kitab bahasa ibu dibuka, petatah-petitih dan
berbagai ungkapan yang menjunjung etika dan moralitas banyak terucap. Tidak
ada yang menyangkal bahwa semua itu adalah kristal dari ajaran, yang
diwujudkan dalam ujaran.
Sebagai contoh, merujuk soal perkawinan, khazanah bahasa ibu di Jawa
menawarkan piwulang (ajaran): ”Siji pesthi, loro jodho, telu tibaning
wahyu, papat kodrat, lima bandha”. Artinya: Satu, kematian; dua, jodoh;
tiga, anugerah wahyu; empat, kodrat; lima, harta atau rezeki.
Lima hal ini adalah hak mutlak Tuhan terhadap diri manusia. Dari sini
siapa pun diajak memercayai: segala yang menjadi hak prerogatif Tuhan
adalah misteri yang tak boleh dilawan. Jadi, jodoh tidak seharusnya
diceraikan, apalagi dibunuh.
Muatan filosofis bahasa ibu tentu saja menjangkau sisi-sisi kehidupan
amat luas. Lebih dari 45 tahun silam, guru bahasa daerah saya di SD selalu
mengulang ungkapan ”sopo sing tekun golek teken mesti tekan”. Kalimat lucu
berirama ini bermakna: siapa yang rajin mencari tongkat pegangan (hidup)
pasti akan sampai ke tujuan yang dicita-citakan.
Di Bali, kata-kata bertuah juga bertebaran dalam kitab-kitab bahasa
ibu. Seperti istilah rwa bhineda yang menggambarkan bahwa kebaikan dan
keburukan terus berjalan beriring sehingga manusia harus selalu waspada.
Bahasa ibu Bali juga mengutarakan tri hitta karana, yang menegaskan
semua gerak kehidupan diperuntukkan bagi tiga hal: pengagungan Tuhan
(parahyangan), penjunjungan alam (palemahan), dan masyarakat sekitar
(pawongan). Hal yang terakhir ini melekat dengan falsafah dasar Hindu, tal
twam asi, yang artinya ”aku adalah engkau”. Penyatuan perasaan yang
menyebabkan setiap orang tolong-menolong, tegur-menegur, saling melengkapi
untuk kebaikan.
Wacana Peristiwa
Sementara ihwal penjunjungan alam, bahasa ibu Minang di Sumatera
Barat menuliskannya dalam kalimat manis, ”Nan satitik jadikan lauit, nan
sakapa jadikan gunuang. Alam takambang jadi guru”. Artinya, (air) yang cuma
setetes jadikan laut, (tanah) yang sekepal jadikan gunung, dan alam yang
terus tumbuh dan berkembang merupakan guru dari kehidupan.
Hal yang sama juga dituliskan dalam pikukuh Badui, yang menyuratkan
ketentuan mutlak tentang keseimbangan lingkungan. ”Leuweng teu meunang diruksak, gunung teu meunang dilebur. Panjang
teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung”. Atau, hutan tak
boleh dirusak, gunung tak boleh dihancurkan, panjang tak boleh dipotong,
pendek tak boleh disambung. Bisa dibayangkan apabila kalimat bahasa ibu itu
dipahami, banjir tak akan trengginas melanda.
Lembar-lembar kitab bahasa ibu Sunda juga tak henti menawarkan
ungkapan yang bisa menjadi pedoman perilaku. Seperti ”pondok nyogok, panjang nyugak”, yang sangat relevan ketika
dihubungkan dengan tabiat sebagian birokrat sekarang yang rusak di segala
sisinya. Ungkapan itu berkata: ibarat kayu, apabila pendek dipakai untuk
menyodok, apabila panjang digunakan untuk menusuk. Tidak pernah digunakan
untuk yang baik-baik.
Tenas Effendy, ahli budaya Melayu, sudah lama mengingatkan pemakaian
bahasa ibu sebagai alat menyampaikan landasan budi pekerti. Karena tuturan
ungkapan bahasa ibu jauh lebih gampang menyerapkan ingatan ke dalam otak
dan memancarkan pemahaman dalam benak, yang akhirnya mengajak seseorang
merenung dan berpikir lebih panjang.
Dan, bahasa ibu harus dipandang sebagai wacana peristiwa, bukan
sebagai bahasa nostalgia yang ingin dilestarikan belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar