Di sekolah gratis yang kami
kelola, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi, kurikulum diberikan secara
individual, bukan massal, dan tidak disakral-sakralkan.
Seperti di Finlandia, negara
dengan sistem pendidikan terbaik saat ini, para guru membuat kurikulum
berdasarkan kebutuhan tiap siswa. Untuk itu, mereka harus memahami tahap
perkembangan (piaget),
kecerdasan jamak (gardner),
cara kerja otak (medina) dan
gen (ridley/murakami), serta
domain kurikuler.
Pembelajaran diselenggarakan
dengan Metode Sentra dari AS yang diadopsi oleh Wismiarti Tamin di
Sekolah Al-Falah, Jakarta Timur, tahun 1996. Kurikulum mengalir
fleksibel, berpusat kepada siswa, dikemas secara
tematik-integratif-eksploratif, dan membangun rasa bahagia. Tujuannya:
membangun insan kamil yang cinta belajar.
Program Gagal
Tulisan Mendikbud Mohammad Nuh,
”Kurikulum 2013” (Kompas, 7/3), dengan semangat ”pokoknya Kurikulum 2013
harus jalan”, selain defensif, juga terlalu normatif dan simplistis
karena mengabaikan proses pelaksanaan di lapangan.
Mendikbud juga menegaskan,
Kurikulum 2013 dikembangkan atas dasar ”...kajian KBK 2004 dan KTSP 2006” yang merupakan program
gagal, tetapi tetap dijadikan landasan menjawab ”tantangan abad ke-21 serta penyiapan Generasi 2045”.
Kurikulum 2013 adalah proyek
yang anggarannya membengkak dari rencana awal, menjadi Rp 2,49 triliun.
Konon, untuk biaya pelatihan 1,1 juta guru Rp 1,09 triliun dan pengadaan
72,8 juta eksemplar buku Rp 1,3 triliun. Siapa bisa menjamin itu tidak
dikorupsi, misalnya, untuk dana politik 2014?
Kenyataannya, di sekolah-sekolah
tertentu pelaksanaan dirancang dengan pendampingan berjenjang yang
persiapan teknis dan sumber daya manusianya begitu rumit sehingga saat
ini belum ada langkah nyatanya.
Proses sosialisasi pun belum
dilaksanakan secara nasional sehingga para guru masih melongo tak paham.
Padahal, tahun ajaran baru tinggal beberapa bulan lagi.
Dengan kata lain, jika proyek
yang mahal dan gaduh itu gagal, harap dimaklumi saja.
Tantangan Masa Depan
Tantangan abad ke-21 dan
generasi 2045 (menandai 100 tahun Proklamasi Kemerdekaan) adalah
membangun manusia bebas yang berkeahlian sesuai minat dan kemampuan
individual (era intelegensia). Jadi, proses pendidikan seharusnya tidak
lagi totaliter seperti awal abad ke-19 (memenuhi kehendak politik para
diktator), robotik (memenuhi kehendak para industrialis), dan
kolonialistik/kleristik (memenuhi kehendak para penjajah dan melahirkan
mental pegawai).
Pendidikan menuju masa depan
adalah pendidikan yang membebaskan, membuka pintu bagi anak didik agar
bisa mewujudkan cita-cita sesuai minat dan bakat masing-masing. Mereka
akan menjadi pribadi mandiri yang siap saling berkolaborasi.
Kata kuncinya adalah kurikulum
harus bisa menjawab secara konkret-operasional problematik yang disebutkan
Mendikbud dalam tulisannya, ”...para peserta didik SD belum terlatih
berpikir abstrak”. Siapa yang harus membangun kemampuan berpikir abstrak
anak-anak SD itu?
Benar, untuk itu, ”peran bahasa
menjadi dominan”. Namun, memangnya penguasaan, pemakaian, dan pola
pengajaran bahasa Indonesia di republik ini sudah baik dan benar,
khususnya kalangan pendidik dan pemimpin?
Di semua akademi seni rupa,
setiap calon pelukis harus mengawali proses pembelajaran dengan
penguasaan teknis anatomis/realis. Para maestro abstrak, seperti Affandi,
Fadjar Sidik, Widajat, Picasso, dan Piet Mondriaan melewati proses
realismenya dengan sangat cantik.
Menurut teori tahap perkembangan
dan cara kerja otak, kemampuan berpikir abstrak hanya bisa dibangun
dengan basis pemahaman konkret. Pemahaman konkret yang lemah
mengakibatkan pemahaman abstrak lemah. Ini penyakit kronis bangsa kita
sehingga semua aturan dilanggar dan korupsi merajalela!
Solusi pembangunan fondasi yang
kokoh pada setiap anak adalah peningkatan kualitas pendidikan anak usia
dini! Itu sebabnya, usia 0-7 tahun disebut golden age. Pada masa itu
kemampuan berpikir konkret dibangun melalui pembelajaran secara konkret.
Jika di TK pembangunan penalaran konkret sudah selesai, di SD dan jenjang
selanjutnya anak sudah siap dengan penalaran abstrak!
Jika anak sudah siap dengan
pemikiran abstrak, dia siap menjadi manusia yang berpendidikan dan
berkebudayaan.
Pendidikan Usia Dini
Presiden Amerika Serikat Barack
Obama serius terhadap pendidikan anak usia dini. Untuk menciptakan
”generasi Apollo” baru, ia berjuang meloloskan anggaran 10 miliar dollar
AS per tahun untuk peningkatan kualitas pendidikan anak usia 4 tahun. Ia,
didukung kalangan bisnis Amerika, percaya pada analisis ekonom penerima
Nobel, James J Heckman, yang menyatakan, investasi pendidikan anak usia
dini lebih efektif dan ekonomis. Tanpa itu, perusahaan harus memberikan
pelatihan lagi kepada para karyawan.
Di sini, Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi terpaksa harus berencana meningkatkan kualitas
53,9 juta tenaga kerja yang mayoritas lulusan SD dengan anggaran Rp 10
triliun per tahun! Itu pula sebabnya, Pemerintah China menggenjot program
peningkatan kualitas pendidikan anak usia dini.
Kurikulum 2013 sama sekali tidak
menyentuh pendidikan anak usia dini (PAUD) yang begitu strategis dan
fundamental. Padahal, saat ini setiap tahun sekitar 20 juta anak
Indonesia tidak bisa ikut PAUD karena kemiskinan dan kelangkaan
fasilitas. Dengan anggaran Rp 2,3 triliun, kita hanya akan menciptakan
generasi loyang yang tidak akan bisa jadi emas tanpa peningkatan kualitas
PAUD! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar