"Anggota DPR mau studi banding
lagi ke Eropa. Yang mau dipelajari undang-undang soal santet.
Doraemoooon! Tolooooong!"
Kalimat
lucu bernada sinisme di atas adalah kicauan akun twitter Addie MS,
seniman nasional yang terbilang aktif mencermati politik Indonesia.
Dengan jumlah pengikut twitter lebih dari 440 ribu orang, suara Addie
merupakan satu dari ratusan ribu atau bahkan jutaan warga di Tanah Air
yang memiliki pandangan serupa bahwa rencana studi banding DPR RI ke luar
negeri guna mempelajari santet terbilang di luar logika.
Media
massa dan media sosial ramai menyebarkan berita dan sikap penolakan atas
rencana kunjungan Komisi III ke empat negara di Eropa (Inggris, Prancis,
Belanda, dan Rusia). Tidak saja ungkapan sinisme seperti di atas, sejumlah
ungkapan bahkan sudah tergolong sarkastis.
Tanpa
harus berpolemik panjang lebar mengenai layak-tidaknya studi banding
Komisi III, berikut beberapa rekomendasi kepada pihak-pihak
berkepentingan di DPR, khususnya dari aspek proses pendalaman substansi
maupun efi siensi anggaran. Rekomendasi pertama, sudah saatnya DPR
mengoptimalkan intelektualitas anak bangsa yang sedang menuntut ilmu di
luar negeri. Untuk `ilmu santet', sederhananya pihak DPR tinggal
mencari cendekiawan atau mahasiswa pascasarjana Indonesia yang sedang
mendalami bidang tersebut di negeri yang ingin dibandingkan.
Tentu,
tidak harus secara sempit dari hal-ihwal santet semata, tetapi dapat
melalui bidang-bidang terkait, seperti antropologi, hukum, sosiologi,
atau bahkan medis yang langsung maupun tidak langsung memiliki
keterkaitan.
Sekiranya satu ahli dianggap belum memadai, dapat dimintakan kajian
bersifat lintas disiplin. Hal ini lazim berlaku dalam pengerjaan riset
akademis.
Tidak
ada salahnya pula jika kepada para intelektual yang dimintakan bantuan
pengerjaan riset diberikan penghargaan sewajarnya. Jika diambil angka
sederhana, nilai 5.000 dolar AS atau sekitar Rp 50 juta cukup moderat
sebagai balas jasa kepada tim intelektual atas satu proyek
penelitian. Itu pun kalau mereka berkenan menerima uang rakyat tersebut.
Seandainya
DPR mengambil langkah di atas, upaya selanjutnya adalah `penggandaan'
proyek riset de ngan jumlah negara yang ingin `distudibandingkan'. Kalau
direncanakan ada empat negara, berarti DPR hanya perlu mengeluarkan total
dana sekitar Rp 200 juta, jauh lebih kecil dibandingkan perkiraan total
biaya Rp 6,5 miliar ren cana studi banding Komisi III sebagaimana
perhitungan Fitra. Itu pun belum termasuk biaya pelayanan dari kantor
perwakilan RI di luar negeri.
Cara
menghubungi intelektual Indonesia di luar negeri amatlah mudah. Jika
tidak melalui kantor perwakilan RI, cukup menghubungi Persatuan Pelajar
Indonesia (PPI) yang tersebar di banyak negara. Inggris, Belanda, dan
Prancis pun adalah negara-negara yang memiliki banyak kantung intelektual
Indonesia.
Tentu
saja, proyek riset yang dimaksud di atas bersifat dinamis sehingga masih
dapat dimintakan penjelasan lebih jauh. Sekiranya diperlukan, DPR tinggal
melakukan komunikasi virtual dengan para peneliti yang sudah ditunjuk. Fasilitas
berbayar maupun gratis telah banyak tersedia, seperti Sykpe dan Google
Hangout, yang relatif mudah digunakan untuk keperluan `konferensi jarak
jauh'.
Rekomendasi
kedua, DPR diharapkan lebih memberdayakan staf ahli yang dimiliki. Dari
interaksi penulis dengan sejumlah staf ahli DPR RI, harus diakui sebagian
memiliki kapasitas intelektual yang memadai. Karenanya, tidak ada alasan
untuk tidak mengoptimalkan peran mereka. Tidak saja hal ini memang sudah
sewajarnya, tetapi sekaligus sebagai upaya pemberdayaan berbagai perangkat
yang notabene melekat di dalam institusi.
Dalam
konteks efi siensi, DPR cukup mengirim dua-empat staf ahli yang
berkompeten untuk melakukan studi ke berbagai negara dengan tiket pesawat
kelas ekonomi dan bekal uang perjalanan sesuai aturan. Biaya perjalanan
`studi banding' ini pasti jauh lebih murah di- bandingkan rencana
mengirim belasan anggota DPR yang secara umum dike- tahui selalu
menggunakan kelas bisnis.
Rekomendasi
ketiga, DPR memilih opsi termurah atau bahkan gratis. Opsi- opsi
tersebut, di antaranya meminta perwakilan asing terkait di Jakarta untuk
menjelaskan peraturan perundang- undangan di negara mereka, meminta
perwakilan Indonesia di negara yang dituju guna melakukan kajian singkat,
meminta ahli-ahli Indonesia di dalam negeri untuk melakukan penelaahan,
dan terakhir melakukan kajian sendiri melalui internet.
Atas
berbagai rekomendasi di atas, Komisi III DPR tentu dapat langsung
mempertanyakan, apakah ada jaminan akan memperbaiki kualitas rancangan UU
yang sedang dibahas? Tentu saja tidak ada, sebagaimana juga pelbagai
studi banding DPR yang kerap dipertanyakan publik mengenai
efektivitasnya. Namun, setidaknya ada jaminan bahwa sinisme, sarkasme,
atau bahkan kemarahan publik atas lembaga DPR dapat direduksi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar