SETELAH memastikan punya dua
alat bukti yang meyakinkan yang diperoleh melalui serangkaian investigasi
dan merampungkan penyusunan konstruksi hukum melalui gelar perkara, KPK
akhirnya menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka dalam skandal
korupsi berskala besar terkait dengan pembangunan pusat olahraga Hambalang,
Bogor.
KPK memerlukan waktu sangat lama untuk
sampai pada keputusan menetapkan Anas menjadi tersangka. Tidak pelak, waktu
yang demikian lama itu memicu polemik panjang dan mengundang syak wasangka
di kalangan masyarakat. Proses yang sangat lama juga menimbulkan sikap
skeptis apakah KPK punya keberanian untuk menyeret Anas, yang punya
political leverage tinggi dalam kapasitasnya sebagai ketua umum partai yang
sedang berkuasa. Tidak mengherankan jika skandal korupsi Hambalang ini
menyita perhatian publik yang demikian besar karena melibatkan para elite
partai pemangku kekuasaan dan bersinggungan dengan tokoh-tokoh politik yang
bertautan dengan lingkaran dalam istana.
Penetapan Anas sebagai tersangka dalam
kasus korupsi merupakan titik balik yang menandai kejatuhan seorang
politikus muda, brilian, berbakat. Dalam siklus kehidupan, ada ungkapan
populer: easy come, easy go--sesuatu
yang diperoleh dengan cepat akan mudah lepas secepat kilat. Dalam ungkapan
Jawa disebut kebat kliwat. Demikian pula halnya dengan Anas, yang mampu
mencapai puncak tangga kepemimpinan politik di sebuah partai dalam tempo
sangat singkat. Begitu terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat pada Mei
2010-bahkan kemenangan Anas dianggap sangat spektakuler karena mampu
mengalahkan calon unggulan yang direstui SBY--bintang Anas bersinar cemerlang
dan terus berpendar-pendar menghiasi langit politik Indonesia.
Namun, masa keemasan Anas berlangsung
sangat pendek. Seperti permainan dalam dramaturgi politik, kejatuhan Anas
berlangsung begitu dramatis. Drama kejatuhan Anas itu mengharubirukan jagat
perpolitikan nasional, sama halnya ketika ia berhasil meraih jabatan
prestisius sebagai ketua umum partai yang sedang memegang kendali
kekuasaan. Sungguh sayang, drama politik ini sarat dengan ironi karena Anas
tersandung kasus korupsi yang membuatnya cacat moral. Padahal, integritas
moral merupakan aspek paling fundamental bagi siapa pun yang menjadi tokoh
publik atau memangku jabatan publik. Riwayat politik Anas yang penuh ironi
berkelindan dengan Partai Demokrat yang juga sarat dengan paradoks. Anas
dan Demokrat merupakan fenomena paradoksal dalam praktik perpolitikan
nasional, yang menunjukkan betapa moralitas politik telah tergerus habis
tak tersisa.
Paradoks Anas--juga para elite politik
parpol lain--dan Demokrat bertumpu pada jargon politik yang diusung partai.
Demokrat dengan penuh keyakinan menegaskan diri sebagai partai berbasis
tiga nilai esensial: bersih, santun, cerdas. Karena itu, seluruh kader
partai dan politisi Demokrat dituntut untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
utama dan harus mendasarkan setiap tindakan dan aktivitas politik mereka
pada kredo politik tersebut. Mereka pun selalu merujuk pada figur SBY--sang
patron utama dan tokoh sentral partai--sebagai citra ideal bagi segenap
kader Demokrat.
Namun dalam praksis politik, jargon politik
Demokrat sebagai partai bersih, santun, dan cerdas sangat jauh panggang
dari api. Kredo politik yang diagungkan itu justru dicederai oleh
kader-kader Demokrat sendiri. Serangkaian skandal korupsi yang melibatkan
politisi Demokrat secara bergiliran menyeruak ke permukaan, terbongkar
sampai ke akar bahkan menembus jantung kepemimpinan partai. Tidak
mengherankan jika di tengahtengah masyarakat muncul sinisme terhadap
Demokrat dengan memelintir jargon politik mereka: korupsi dengan cerdas dan
santun! Kecerdasan untuk menelikung undangundang dan peraturan agar tidak
terjerat hu kum; kesantunan untuk mengelabui masyarakat dengan menebarkan
citra bersih guna meraih simpati publik. simpati publik.
Saksikan, Demokrat dengan lantang membuat
klaim sebagai partai antikorupsi bahkan sang Ketua Dewan Pembina kerap
berpidato berapi-api, yang menegaskan komitmen dalam pemberantasan dalam
pemberantasan korupsi. Namun, dalam praktik justru bertolak belakang dengan
jargon partai dan retorika politik antikorupsi. Tokohtokoh politik utama
yang menempati posisi sentral di kepengurusan partai terlibat dalam skandal
korupsi besar dengan daya magnitude politik demikian kuat. Fakta keras itu
menunjukkan bahwa Partai Demokrat telah melakukan pengelabuan untuk
melunakkan kata penipuan terhadap kepentingan publik yang mendambakan
sebuah tata kelola pemerintahan yang bersih.
Skandal korupsi beruntun yang melibatkan
para elite Demokrat bukan saja telah menurunkan kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah, melainkan juga memicu kemarahan publik yang selalu
disuguhi perilaku tak terpuji di kalangan politisi korup. Hal yang membuat
publik semakin marah adalah politisi Demokrat terus menyangkal suatu
perbuatan tercela yang sudah sedemikian telanjang. Mereka tetap bersikukuh
sebagai partai bersih dan memohon permakluman publik karena pelaku korupsi
bukan hanya kader-kader Demokrat. Mereka membuat political excuse bahwa
parpolparpol lain juga melakukan hal yang sama: korupsi! Itulah yang
dilakukan oleh Dipo Alam--salah satu pungga wa istana--ketika ia me
mublikasikan daftar peringkat kader kader parpol yang terjerat hukum karena
terlibat kasus korupsi beberapa waktu lalu.
Sungguh, paradoks itu dengan jelas mempertontonkan
hipokrisi politik yang demikian telanjang dari
aktor-aktor politik Demokrat.
Label hipokrisi politik tentu saja tepat disandang politisi Demokrat karena
mereka melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan kredo politik
yang mereka yakini, bahkan dipidatokan di hadapan publik pula. Dari pendapa
Cikeas, dari ruang konferensi pers kantor DPP di Kramat Raya, dari selasar
Senayan, para petinggi Demokrat--yang difasilitasi para jurnalis dan
disorot kamera televisi--terus memproduksi kalimat-kalimat propaganda
antikorupsi, punya komitmen pada penegakan hukum untuk memerangi korupsi
dan siap menunaikan amanat untuk menjalankan pemerintahan yang bersih.
Namun, publik juga menyaksikan pertunjukan dari panggung yang lain: sidang
pengadilan korupsi di kawasan Kuningan, politisi Demokrat terpuruk di depan
majelis hakim peradilan tipikor dan menjadi pesakitan atas dakwaan korupsi.
Kelekatan kader-kader Demokrat dengan
praktik korupsi sesungguhnya menegaskan adagium masyhur: there is no politics without corruption.
Bagi Demokrat--juga parpol-parpol lain--korupsi adalah jalan untuk meraih
kekuasaan sekaligus sarana untuk mempertahankan kekuasaan agar dapat
bertakhta lebih lama. Tanpa rasa malu, di depan publik politisi korup
mempertontonkan karakter buruk: menebar janji-janji palsu, merangkai
kebohongan demi kebohongan, menutup dusta dengan dusta yang lain sebagai
tipu daya politik.
Agar tak terperdaya, publik perlu mengingat
caveat berikut: in the end, most--not to mention
all--politicians are liars! Betapapun
mereka terus bermuslihat, di atas panggung politik politisi korup acap kali
bertekad akan mengantarkan bangsa ini menuju gerbang kemakmuran dan
kesejahteraan. Namun, publik meyakini hanya dengan mengikis habis politisi
korup, bangsa Indonesia dapat mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan. Ungkapan
getir ini layak menjadi renungan bersama: if you kill one politician you just get pollution, but if you kill
all politicians you will get solution! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar