Tiga belas tahun lalu saya pernah ikut latihan yoga di Mount Abu,
India, selama seminggu. Selama itu yang menjadi bahan ceramah, diskusi, dan
perenungan terpusat pada pertanyaan “Who
am I?”
Pesertanya
datang dari berbagai penjuru dunia, kebanyakan dari kalangan pengusaha,
ilmuwan, dan selebritas. Siapakah aku? Sebuah pertanyaan yang singkat dan
sederhana, namun jawabannya bisa panjang-lebar.Orang akan menjawabnya dari
sudut pandang berbeda-beda dengan argumen yang juga berbedabeda. Ketika
kami pulang, pertanyaan itu tetap saja bertengger di kepala.
Dalam pergaulan
seharihari, jawaban dari pertanyaan “Siapa
aku?” yang muncul bisa merujuk pada nama, jenis kelamin, pekerjaan,
status, jabatan, keyakinan agama, etnis, dan entah apa lagi. Ketika ditanya
“Who are you”, lalu muncul
jawaban misalnya “Aku Joko Widodo,
gubernur DKI Jakarta”, yang pertama menunjuk nama, yang kedua adalah
jabatan. Padahal “aku” lebih dari
sekadar nama dan jabatan. Jawaban yang lebih tepat: “Namaku Joko Widodo, jabatanku gubernur DKI Jakarta”.
Tetapi,ketika
pulang ke rumah ketemu keluarga, sesungguhnya jabatan itu tak lagi relevan.
Nama dan jabatan bisa berganti dalam hitungan bulan, tapi apakah “aku” akan
berganti dengan pergantian nama dan jabatan? Kalau saya berkata, “Aku
pusing”, bukankah yang lebih benar: “Kepalaku
pusing”, mengingat kepala bukanlah identik dengan “aku”? Jadi, lagi-lagi,
“Who am I?”. Siapa dan apa yang disebut “aku”?
Bagi umat
Islam,ketika melaksanakan salat yang pertama dan utama menghadap Allah
pasti bukan tubuhnya. Secara lahiriah fisik diarahkan ke Kakbah di Mekkah.
Tetapi, ketika sakit atau dalam perjalanan udara, arah kiblat menjadi tidak
fokus. Dalam situasi demikian semakin jelas bahwa yang menghadap Allah
adalah “aku” yang nonfisik, namun berada dalam tubuh yang bersifat fisik.
Kesadaran tentang “aku”ini juga sangat berkait erat dengan peran-peran dan
identitas sosial.
Dalam sehari
semalam kita bisa berganti-ganti peran, status, dan identitas diri.Perilaku
kita juga berubah dipengaruhi oleh status dan peran sosial. Tentu saja
identitas “aku” yang bersifat batiniah, sebuah kesadaran
psikologis-spiritual tidak dapat dipisahkan dengan identitas dan peran
sosial yang bersifat lahiriah. Tubuh jasmani ibarat kendaraan, “aku” batin
merupakan aktornya. Keduanya saling memengaruhi dan membutuhkan.
Sebuah tindakan
dikatakan baik dan buruk setelah terwujud dalam perilaku lahiriah meskipun
yang memerintah dan mengendalikan adalah “aku” batiniahnya.Hanya,
kelihatannya sebagian orang lebih mengutamakan penampilan dan identitas
fisikal-lahiriah yang kasatmata. Orang akan dinilai tampan dan kaya semata
berdasarkan penampilan lahir. Dinamika politik dan bisnis saat ini sangat
menonjolkan penampilan materi.
Orang berlomba
mempercantik dan mempertampan wajah dalam baliho agar populer.Para politisi
ramairamai mengenakan topeng dalam panggung sosialnya. Padahal, jika
seseorang mengidentikkan “aku”-nya dengan wujud materi, bersiaplah untuk
kecewa dan mudah babakbelur. Ada orang yang menitipkan identitas dan harga
dirinya pada mobil mewah yang dia beli dan dia kendarai.
Dia merasa
harga dirinya naik mengikuti kualitas dan harga mobilnya. Ketika orang lain
memuji mobilnya, dia merasa dirinya ikut terpuji. Ketika orang berdecak
kagum melihat mobilnya yang canggih dan mahal, seakan harga dirinya juga
ikut hebat dan mahal. Tetapi, ketika mobilnya tabrakan dan penyokpenyok,
dirinya juga ikut merasa hancur dan penyok-penyok karena antara mobil dan
dirinya sudah menyatu.
Tidak bisa
dibantah, kita membutuhkan sarana materi dan kita pun mesti sadar akan
peran-peran sosial yang membentuk identitas seseorang. Setiap status dan
identitas sosial memerlukan perilaku spesifik dan orang mesti menyesuaikan
diri. Coba saja amati diri Anda sendiri.Berapa kali sehari berganti status
dan perubahan perilaku. Ketika berada di kantor dan ketika pulang kampung
ketemu keluarga besar, terjadi perubahan status yang juga memengaruhi
perilaku. Ketika ketemu istri yang muncul adalah kesadaran status sebagai
suami.
Lalu,berubah
menjadi sosok seorang ayah ketika ketemu anak. Berganti lagi status menjadi
menantu waktu bertemu mertua. Ketika ketemu dokter tiba-tiba aku menjadi
seorang pasien. Ketika masuk kelas ketemu mahasiswa, saya berubah lagi
menjadi dosen. Demikianlah seterusnya. Jadi, demikian banyak peran, status,
dan relasi sosial seseorang yang semuanya itu sangat memengaruhi jalan
pikiran dan perilakunya.
Orang dianggap
sehat, menurut psikolog, kalau pandai membaca situasi dan membawa diri,
tanpa meninggalkan nilai-nilai atau norma yang dipandang prinsipil. Yang
repot adalah ketika orang terlalu sadar melekatkan dan mengidentikkan
“aku”-nya dengan sebuah jabatan. Jika jabatan berakhir, harga diri dan kebanggaan
dirinya akan ikut berakhir. Ketika jabatannya turun, kualitas “aku”-nya
ikut turun.
Ini karena
orang melihat dirinya hanya pada identitas lahiriah. Sementara “aku” yang
bersifat immateri berada dan hidup di atas atau bahkan di luar kategori
kurungan dan identitas lahiriah. I am
a spiritual being who lives within a physical home. “Aku” sesungguhnya
makhluk spiritual yang dilengkapi sarana fisikal. Ketika kurungan fisik
rusak, aku masih akan hidup terus membawa rekaman apa saja yang telah aku
lakukan bersama fisikku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar