Indonesia merupakan salah satu
pengguna internet terbesar di dunia, sesudah Amerika, dan China dengan
asumsi jumlah penduduk Indonesia sebesar 240 juta orang, di mana 49,9
persen adalah perempuan dan 30 persen anak.
Perkembangan internet membuka
akses seluas-luasnya bagi semua pihak untuk dapat memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi tersebut dengan mudah, murah dan cepat, tak
terkecuali anak-anak. Di sisi lain, tidak semua pengguna internet mempunyai
niat yang baik dan ini sudah terbukti dari data yang menggambarkan bahwa
internet dipakai untuk menipu, mengiming-imingi dan akhirnya untuk
memperdagangkan anak maupun remaja putri dengan tujuan eksploitasi seksual
dan prostitusi. Ironisnya, banyak orangtua tidak melek internet.
Dari sebuah penelitian
diketahui 90 persen anak usia 8-16 tahun telah membuka situs porno di
internet. Studi tersebut menyebut rata-rata anak usia 11 tahun membuka
situs porno untuk pertama kalinya. Bahkan banyak di antara mereka yang
membuka situs porno di sela-sela mengerjakan pekerjaan rumah. Saat ini,
terdapat lebih dari 4,2 juta situs porno tersedia di internet dengan total
keseluruhan mampu menampung 420 juta laman.
Sistem kapitalistik saat ini
telah membuka ruang yang demikian lebar bagi berbagai tayangan dan unjuk
pornografi. Sayangnya, negeri ini seperti tak punya taring untuk bisa
menjerat dan menghentikan berbagai tindak yang merusak mental generasi
muda. Berbagai produk hukum mulai dari KUHP, UU Pornografi, UU Informasi
Transaksi Elektronik (ITE) tak efektif dalam menggawangi moral anak-anak
kita. Terlalu banyak kelemahan dalam produk-produk hukum tersebut.
Menurut konsep demokrasi,
pemerintah dituntut berperan untuk menjaga ruang publik yang sehat dengan
menghormati kebebasan warga negaranya dan tidak bermain dalam permainan
politik identitas. Artinya, sebuah undang-undang yang dihasilkan tidak
ditentukan oleh konsep-konsep final yang tidak dapat diperdebatkan.
Sebagian dari pendukung demokrasi tidak mempedulikan agama/moral, meski
sebagian masih mempedulikannya namun mereka tidak menyadari kesalahan
mendasar dari demokrasi.
Cara pandang dalam alam
demokrasi yang seperti ini berimplikasi pada penetapan kebijakan politik
yang bersifat permisif terhadap industri seksual (film porno, buku/majalah
porno, musik, situs porno, fashion porno, merchandise, diskotik/ bar, dan berbagai atraksi porno
lainnya). Apalagi, bauran kepentingan kapitalis di balik berbagai industri
pornografi tersebut sangatlah menggiurkan.
Lalu bagaimana peranan media
sebagai sarana pembelajaran anak-anak? Informasi yang diterima manusia
mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan perilakunya. Terlebih jika
informasi tersebut dikemas sedemikian rupa, yang tidak hanya disampaikan
secara audio, tetapi juga divisualisasikan, melalui tayangan film atau
video. Efeknya tentu jauh lebih dahsyat, karena tidak hanya diterima
pendengaran, tetapi juga penglihatan manusia. Karena itu, tidak diragukan
lagi, bahwa media audio-visual mempunyai peranan yang cukup besar dalam
membentuk karakter anak-anak. Contohnya seperti televisi, game,
playstation, dan sebagainya.
Media sebagai sarana
pendidikan, seperti pisau bermata dua. Bisa berdampak positif dan negatif.
Tayangan sadis, porno dan gaya hidup hedonis yang diangkat dalam program
televisi jelas mempunyai pengaruh yang besar dalam perilaku anak. Terlebih,
jika tidak ada pengawasan dan kontrol, baik dari negara maupun orangtua
terhadap program-program tersebut.
Sebagai contoh, hasil survey
KPAI menyatakan, 60 persen lebih anak-anak SMP telah melakukan hubungan
seks, karena kecanduan tayangan porno. Bahkan, anak-anak SMP di salah satu
sekolah, ketika ditanya, apakah pernah melihat film porno Ariel-Luna-Tari,
90 persen dari mereka menyatakan 'pernah'. Ketika ada seorang gadis di
bawah umur diperkosa tiga anak SMP, maka para pelaku mengaku terobsesi
dengan adegan dalam film porno itu. Banyaknya anak-anak dan orang dewasa
yang penasaran dan ingin mengetahui film porno tersebut tidak luput dari
pengaruh televisi yang memberitakan peristiwa tersebut. Ini sedikit contoh,
bagaimana dampak buruk dari media terhadap perilaku anak-anak.
Contoh lain adalah kasus
Facebook yang menggejala di kalangan remaja dan anak-anak. Jejaring sosial
ini juga mempunyai pengaruh cukup besar, baik dalam kehidupan intelektual
maupun sosial anak-anak. Bisa positif dan juga negatif, tergantung pada
pemanfaatan pengguna jejaring sosial tersebut.
Untuk itu, orangtua harus
dibekali dengan pengetahuan bagaimana cara memilih media yang sehat sebagai
sarana pembelajaran anak. Untuk media yang tidak bisa dipilah, karena
isi/programnya bercampur aduk, antara yang baik dan buruk, seperti
televisi, misalnya, maka penggunaannya harus disertai kontrol dan
pengawasan dari orang tua atau pendidik. Sebab jika tidak, maka anak-anak
tidak akan bisa memilah sendiri, sehingga semua dikonsumsi tanpa
filterisasi. Tugas orang tua/pendidik dalam hal ini adalah memberikan
rambu-rambu dan filter yang jelas. Selain itu, negara juga harus berperan
dalam menentukan mana program yang layak dan tidak layak ditayangkan untuk
konsumsi masyarakat. Jika ada program yang merusak, maka harus dilarang.
Orangtua/pendidik harus
mempunyai media alternatif. Misalnya, agar anak-anak tidak menghabiskan
waktunya untuk melihat televisi, bermain game, atau nongkrong di depan
internet, yang juga bisa berdampak pada menurunnya minat baca anak-anak,
maka buku, majalah, koran atau yang lain bisa dijadikan sahabat anak-anak
sejak dini. Dengan begitu, anak-anak lebih suka membaca ketimbang menonton.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar