Pendaftaran seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri telah
dimulai sejak 1 Februari hingga 8 Maret 2013. SNMPTN diperuntukkan bagi
siswa SMA sederajat yang mengikuti UN 2013 berdasarkan penjaringan prestasi
akademik dengan menggunakan nilai rapor semester III, IV, dan V.
Selain SNMPTN, masih ada seleksi bentuk lain yang bergantung pada
masing-masing PTN. Contohnya, Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan
seleksi masuk melalui tiga sistem, yakni SNMPTN yang akan menerima 50
persen dari daya tampung, seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri
(SBMPTN) yang akan menerima 30 persen, dan seleksi/ujian mandiri (UM) yang
akan menerima 20 persen dari daya tampung. SNMPTN didasarkan pada nilai rapor,
sedangkan SBMPTN dan UM didasarkan pada ujian tulis.
Calon mahasiswa dan orangtuanya harus mulai memilih program studi
(prodi) yang sesuai dengan cita-cita anak. Namun, tidak kalah penting
adalah mencermati biaya pendidikan di setiap program studi yang nilainya
berbeda. Pada umumnya, biaya pendidikan pada prodi favorit seperti
pendidikan dokter, teknik, dan ekonomi lebih mahal daripada prodi yang
kurang favorit. Tentu saja biaya pendidikan tersebut harus disesuaikan
dengan kemampuan ekonomi keluarga.
Seberapa banyak biaya yang harus disediakan orangtua? Sebagai
gambaran, biaya pendidikan di UGM meliputi sumbangan peningkatan mutu
akademik (SPMA) yang dibayar sekali selama pendidikan dengan nilai
bervariasi bergantung prodi dan penghasilan orangtua. SPMA di fakultas
teknik (FT) bervariasi dari Rp 5 juta sampai Rp 40 juta, sedangkan fakultas
kedokteran (FK) Rp 10 juta-Rp 100 juta. Biaya lainnya sama untuk seluruh
fakultas, meliputi SPP (Rp 500.000 per semester) dan BOP (Rp 75.000 per SKS
per semester untuk eksakta dan Rp 60.000 per SKS per semester untuk ilmu
sosial).
Rata-rata biaya sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) dan biaya
operasional pendidikan (BOP) mahasiswa eksakta sekitar Rp 2 juta per
semester. Di Universitas Indonesia, biaya pendidikan terdiri atas uang
pangkal (UP) yang dibayarkan sekali selama pendidikan dan BOP yang dibayar
tiap semester. Biaya di FT dan FK sama, yaitu UP sebesar Rp 25 juta dan BOP
Rp 7,5 juta per semester. Biaya pendidikan di prodi lain berbeda dan dapat
dilihat di laman PTN masing-masing. Biaya pendidikan di PTN lain tidak jauh
beda dengan kedua PTN tersebut.
Dari gambaran itu, orangtua calon mahasiswa baru bisa menyiapkan dana
untuk menyekolahkan putra-putrinya di perguruan tinggi dan menghitung
berapa dana yang harus dikeluarkan sampai lulus sarjana. Biaya itu belum
termasuk biaya hidup selama pendidikan.
Sedang Dihitung
Ketika terbit UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, timbul
harapan adanya keberpihakan pemerintah kepada rakyat miskin untuk bisa
mengenyam pendidikan tinggi. Pasal 74 Ayat 1 UU itu menyatakan, ”PTN wajib
mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik
tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon mahasiswa dari daerah
terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20 persen
dari seluruh mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua program
studi.”
Harapan semakin menguat ketika Mendikbud dan Dirjen Dikti
menginstruksikan uang kuliah tunggal (UKT) akan diberlakukan mulai tahun
ajaran 2013/2014. Dengan UKT, mahasiswa baru tak perlu membayar berbagai
macam biaya, tetapi hanya membayar uang kuliah tunggal yang jumlahnya akan
tetap dan berlaku sama pada tiap semester selama masa kuliah. Mendikbud
menjanjikan, tidak akan ada lagi biaya tinggi masuk PTN. Pemerintah akan
memberikan dana bantuan operasional pendidikan tinggi negeri (BOPTN). Dana
BOPTN meningkat dari tahun lalu Rp 1,5 triliun menjadi Rp 2,7 triliun tahun
ini.
Dengan UKT, benarkah biaya pendidikan di PT akan turun? Dari
pengalaman, yaitu ketika status PTN berubah menjadi PT BHMN pada 2000,
biaya pendidikan di PTN meroket. PT BHMN diberi keleluasaan menarik dana
dari masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sejak itu, muncul
berbagai macam biaya seperti uang pangkal, SPMA, SPP, dan BOP. Lebih
memprihatinkan, biaya pendidikan di PTN lain yang bukan PT BHMN juga
ikut-ikutan naik. Celakanya, biaya pendidikan SD, SMP, dan SMA pun ikut
naik. Sepertinya pemerintah tak berdaya mengendalikannya. Jadilah biaya
pendidikan tidak terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Hanya orang kaya
yang mampu menyekolahkan anaknya di PT.
Saat ini, semua PTN masih menghitung besaran UKT yang kemudian
hasilnya diserahkan ke Ditjen Dikti untuk mendapat persetujuan dan
ditentukan besaran BOPTN yang akan diberikan kepada masing-masing PTN.
Besar kemungkinan UKT yang dihitung PTN tak banyak berbeda dengan biaya
yang sudah berjalan saat ini. Kemungkinan PTN akan menghitungnya
berdasarkan pembiayaan pendidikan tahun sebelumnya yang sudah telanjur
mahal. Uang pangkal yang nilainya besar bisa saja diratakan untuk delapan
semester sehingga kelihatan kecil.
Kalau kondisi ini yang terjadi, harapan UKT murah tidak akan
terwujud, bahkan bisa jadi
akan lebih memberatkan. Seharusnya PTN
menghitung secara cermat UKT dengan melakukan efisiensi pada pos-pos
pembiayaan yang prioritasnya rendah sehingga bisa menekan UKT. Namun,
dengan waktu yang sangat terbatas, mengingat proses pendaftaran SNMPTN
sudah dimulai 1 Februari 2013, kemungkinan cara ini tidak bisa dilakukan.
Kuliah dengan sistem kredit tak sesuai dengan biaya pendidikan yang
tetap sepanjang masa studi. Misalnya, uang kuliah Rp 7,5 juta per semester.
Seorang mahasiswa di semester akhir yang tinggal mengerjakan tugas akhir
dengan bobot 4 SKS akan keberatan jika harus membayar Rp 7,5 juta. Dengan
BOP per SKS seperti yang berlaku di UGM dalam contoh di atas, seharusnya
dia hanya membayar SPP Rp 500.000 plus 4 SKS dengan tarif Rp 75.000 per
SKS, atau hanya Rp 800.000.
Harapan UKT lebih murah hanya tinggal bertumpu pada kebijakan
Mendikbud dan Dirjen Dikti dalam memutuskan UKT. Ada beberapa alternatif
yang bisa dilakukan. Pertama, menyetujui usulan UKT PTN dengan cara
hitungan yang dilakukan PTN, yang berarti UKT mahal. Kedua, pemerintah
memberikan BOPTN dalam jumlah besar sehingga UKT terjangkau. Namun, dana
BOPTN sudah ditentukan sebesar Rp 2,7 triliun sehingga tidak mungkin memberikan
subsidi melebihi anggaran tersebut.
Ketiga, pemerintah berani menghapus pos-pos pembiayaan dengan
prioritas rendah yang diusulkan PTN. Akhirnya, yang bisa kita lakukan
adalah menunggu penetapan UKT yang segera diumumkan ke masyarakat.
Informasi itu sangat ditunggu calon mahasiswa untuk memilih program studi
yang dituju.
Adilkah UKT?
Data BPS tahun 2012 menunjukkan, jumlah penduduk miskin—seseorang
yang pengeluarannya kurang dari Rp 248.707 per bulan—29,1 juta jiwa.
Pengeluaran sebesar itu adalah untuk biaya makan, perumahan, sandang,
pendidikan, dan kesehatan. Apabila ditambah dengan orang hampir miskin yang
pengeluarannya kurang dari 1,2 dari nilai tersebut, jumlahnya lebih dari 55
juta jiwa.
Bandingkan dengan jumlah penduduk Singapura yang hanya 2,5 juta jiwa
dan Malaysia 24 juta jiwa. Sementara itu, ada sekitar 50 juta penduduk
menengah-atas yang mampu membeli mobil dan barang-barang berharga lainnya.
Di antara 50 juta orang tersebut terdapat 40 orang terkaya di Indonesia
yang kekayaannya mencapai Rp 870 triliun. Sementara lebih dari 55 juta
rakyat harus mengencangkan ikat pinggang untuk bisa bertahan hidup. Biaya
pendidikan yang mahal tak masalah bagi golongan kaya untuk bisa
menyekolahkan anaknya. Namun, bagaimana dengan golongan ekonomi lemah?
Kondisi perekonomian masyarakat sangat bervariasi. Ada warga miskin,
sedang, menengah, kaya, dan sangat kaya. Kemampuan masyarakat untuk
membiayai pendidikan anak-anaknya beragam. Seperti yang diterapkan UGM,
biaya pendidikan tidak sama untuk seluruh mahasiswa, bergantung pada
kemampuan orangtua. Ada beberapa jalur masuk UGM. Orang kaya bisa melalui
jalur dengan SPMA tinggi, sedangkan warga lainnya melalui jalur dengan SPMA
lebih rendah dan bahkan nol rupiah.
Ini dimaksudkan untuk memberikan
subsidi silang. Orang kaya menyubsidi orang miskin.
Bagi warga miskin, ada kesempatan mendapatkan beasiswa, antara lain
beasiswa Bidik Misi bagi warga miskin berprestasi untuk menempuh pendidikan
di perguruan tinggi. Saat ini, setelah berjalan tiga tahun, jumlah
mahasiswa yang mendapat beasiswa ini mencapai 90.000 orang, atau sekitar
30.000 orang per tahun. Program ini sangat bagus meski jumlahnya relatif
kecil dibandingkan dengan lebih dari 19 juta warga yang tidak mengenyam
pendidikan tinggi.
Namun, bagi warga dengan kondisi perekonomian sedang dan menengah
yang tak masuk kriteria untuk mendapat beasiswa, UKT yang nilainya sama
untuk semua mahasiswa dirasa tak adil dan memberatkan. Seorang PNS golongan
IV dengan gaji dan tunjangan sebesar Rp 5 juta per bulan akan kesulitan untuk
menyekolahkan anaknya di PT. Apalagi, kalau jumlah anak yang kuliah lebih
dari satu. Gaji Rp 5 juta per bulan habis untuk biaya hidup yang semakin
tinggi. Namun, sebagai orangtua mereka punya harapan untuk bisa
menyekolahkan anak-anaknya agar kehidupan mereka bisa lebih baik di
kemudian hari meski dengan berbagai cara, termasuk utang sana utang sini.
Kalau PNS golongan IV saja kesulitan untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya,
bagaimana dengan masyarakat yang pendapatannya lebih rendah, tetapi tidak
termasuk miskin?
Pendidikan dan Kemiskinan
Data BPS tahun 2011 menunjukkan, jumlah penduduk usia 19-24 tahun
(usia seseorang menempuh pendidikan tinggi) sekitar 24 juta jiwa. Sementara
itu, angka partisipasi kasar (APK) PT adalah 18 persen. Artinya, penduduk
usia tersebut yang mengenyam pendidikan tinggi 4,3 juta. Berarti ada 19,7
juta yang tidak bisa melanjutkan pendidikan di PT, sebagian besar karena
tidak mampu membiayai biaya pendidikan tinggi yang sangat mahal.
Padahal, PT punya peran besar dalam pengentasan rakyat miskin dan
mengantarkan bangsa menjadi lebih maju dan bermartabat. Banyak contoh dalam
kehidupan di lingkungan kita yang menunjukkan keberhasilan seseorang
dicapai melalui pendidikan tinggi. Presiden dan Wakil Presiden RI serta
Mendikbud bisa sukses karena mengenyam pendidikan di PT. Pada masa itu,
biaya pendidikan tinggi tidak semahal saat ini, yang memungkinkan orang
tidak mampu bisa kuliah.
Kemiskinan dan tingginya biaya pendidikan menyebabkan tingkat
pendidikan warga miskin rendah, prestasi akademik kurang baik, sehingga
sulit untuk mendapatkan pekerjaan layak. Banyak di antara mereka yang
bekerja sebagai pekerja serabutan, buruh bangunan, pengamen, pedagang
asongan, dan bahkan menjadi pengemis di perempatan jalan. Lebih parah lagi,
banyaknya penduduk miskin berpendidikan rendah yang tidak punya pekerjaan
bisa menyebabkan berbagai masalah sosial, seperti tingginya angka
kriminalitas, perampokan, penjambretan, pencurian, peredaran narkoba,
prostitusi, teroris, dan tindakan negatif lainnya.
Perlu orang atau institusi PT yang berani berkorban dengan
menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau bagi seluruh lapisan
masyarakat. Kemudian, kita evaluasi apakah dengan biaya pendidikan murah
kualitas pendidikan akan menurun. Memang, ini tantangan untuk berani
melawan arus dan membuktikan bahwa kita mampu memberikan yang terbaik bagi
kemajuan bangsa.
Pada masa Orde Baru, dengan biaya kuliah terjangkau bisa dihasilkan
tokoh-tokoh berkualitas seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Boediono,
Mohammad Nuh, dan banyak tokoh lainnya. Apakah pada masa Orde Reformasi
yang biaya kuliahnya mahal akan dihasilkan tokoh-tokoh yang lebih hebat
dari mereka? Mari kita buktikan sesuai dengan perjalanan waktu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar