Perspektif Neo-Realisme dalam
kajian ilmu hubungan internasional menilai sistem internasional cenderung
stabil jika ada perimbangan kekuatan di antara dua kekuatan global utama
dalam suatu struktur sistem yang bipolar. Saat stabilitas bipolar tercipta,
probabilitas untuk terjadinya perang global cenderung kecil.
Di era Perang Dingin (1945-1991),
sistem internasional cenderung menikmati stabilitas panjang ditandai dengan
tidak adanya perang terbuka antara dua negara hegemonik, Amerika Serikat
dan Uni Soviet. Perang yang melibatkan salah satu negara adi daya terjadi
di luar kawasan utama persaingan hegemonik seperti Perang Korea, Perang
Vietnam, dan Perang Afganistan.
Krisis global utama seperti Krisis
Berlin (1961) dan Krisis Kuba (1962) yang melibatkan Amerika Serikat dan
Uni Soviet tidak bereskalasi menjadi perang global. Hal ini menunjukkan
bahwa struktur sistem bipolar berasosiasi dengan stabilitas sistem
internasional.
Di era pasca-Perang Dingin
(1991-2001), sistem internasional relatif stabil ditopang oleh kemunculan
Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adi daya dalam suatu struktur
sistem unipolar. Amerika Serikat keluar sebagai pemenang pertarungan
hegemonik dengan Uni Soviet bukan melalui suatu perang global, tetapi lebih
karena adanya kontradiksi internal di dalam blok Komunis Soviet.
Tidak seperti fenomena pergeseran
struktur sistem internasional lain dalam sejarah dunia yang cenderung
diawali dengan perang berskala regional atau global, struktur sistem
internasional bergeser dari struktur bipolar ke unipolar tanpa melalui
perang global antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Stabilitas sistem unipolar tersebut
terguncang saat Osama bin Laden dan kelompok Al Qaeda berhasil
melakukan serangan teror 9-11 (2001). Serangan yang meruntuhkan menara
kembar World Trade Center di New York, serta menghancurkan salah satu sisi
gedung Departemen Pertahanan Pentagon di Washington DC, ini membuka era
baru pertarungan global saat entitas non-negara Al-Qaeda berhasil
menghadirkan perang asimetrik melawan negara hegemonik.
Di era baru ini, AS terlihat
kesulitan untuk memenangi perang asimetrik melawan jejaring terorisme
global. Hal ini menyebabkan stabilitas sistem internasional cenderung
menurun karena munculnya keraguan tentang kapasitas Amerika Serikat untuk
menyediakan payung keamanan global.
Stabilitas Sistem Abad XXI
Saat ini, stabilitas sistem
internasional juga cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh kombinasi
dari faktor perang global melawan terorisme yang belum dapat dituntaskan
oleh Amerika Serikat serta faktor krisis ekonomi global yang melanda Eropa
Barat dan Amerika Serikat.
Kombinasi dua faktor tersebut
menyediakan dua alternatif skenario untuk tahun 2045. Skenario pertama
adalah Amerika Serikat (dan Eropa Barat) akan terpuruk semakin dalam ke
dalam krisis fiskal sehingga tidak dapat lagi menjalankan peran sebagai
penopang stabilitas ekonomi global ala Konsensus Washington yang terbentuk
sejak akhir Perang Dunia II.
Konsensus Washington ini
mengandalkan topangan Bank Dunia untuk menyediakan dana pembangunan global,
Dana Moneter Internasional (IMF) untuk stabilitas moneter, dan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) untuk liberalisasi perdagangan global. Ketiga pilar
tersebut juga diperkuat dengan kehadiran sistem keamanan kolektif
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Skenario ini menghadirkan
kemungkinan terjadinya penurunan stabilitas sistem internasional yang
cenderung berimpitan dengan program pemulihan ekonomi Amerika Serikat yang
diperkirakan berlangsung hingga tahun 2020. Namun, penurunan stabilitas
sistem ini cenderung tidak berasosiasi dengan meningkatnya probabilitas
terjadinya perang berskala global terutama karena rendahnya kapasitas
ekonomi negara-negara utama dunia untuk memobilisasi sumber daya nasional
untuk mendukung suatu operasi perang berskala besar.
Skenario kedua adalah terjadi
ketidakseimbangan distribusi kekuatan dalam sistem internasional yang
mengarah kepada proses transisi struktur sistem internasional. Kemunduran
kekuatan Amerika Serikat akan disertai dengan kemunculan China
dan India sebagai kutub baru dalam suatu struktur sistem internasional
yang multipolar.
Perspektif Neo-Realisme dalam ilmu
hubungan internasional memprediksikan bahwa kemunculan struktur multipolar
akan cenderung disertai dengan ketidakstabilan sistem internasional.
Ketidakstabilan ini memperbesar peluang terjadinya perang global di antara
kekuatan-kekuatan ekonomi dunia yang diperkirakan dapat terjadi antara
tahun 2025 dan 2040. Saat itu, Amerika Serikat diperkirakan sudah pulih
dari krisis fiskal dan harus kembali melakukan ekspansi global untuk
merevitalisasi perekonomiannya.
Di saat yang sama, China dan India
diperkirakan sudah menjelma menjadi kekuatan ekonomi regional dengan
pengaruh nyata di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Probabilitas perang
cenderung tinggi saat revitalisasi ekonomi Amerika Serikat akan berbenturan
dengan kebutuhan China dan India untuk memosisikan diri sebagai kekuatan
ekonomi utama dunia.
Sejarah sistem internasional
menunjukkan bahwa proses transisi hegemonik cenderung mengarah kepada
kemunculan kekuatan hegemonik baru. Jika pola transisi hegemonik berulang
di abad XXI, paruh kedua abad ini cenderung akan dimulai dengan kemunculan
China dan India sebagai kekuatan utama dunia menggantikan posisi Amerika
Serikat.
Postur Pertahanan 2045
Kedua skenario tersebut
mengharuskan Indonesia untuk mengembangkan strategi dan postur pertahanan
2045 yang mampu mengantisipasi proses transisi hegemonik. Rumusan strategi
Pertahanan 2045 akan ditentukan oleh pilihan diplomasi Indonesia terhadap
kekuatan utama. Berdasarkan perspektif Neo-Realisme, Indonesia seharusnya
mengambil peran sebagai kekuatan pengimbang terhadap kekuatan utama di
kawasan.
Jika skenario sistem internasional
abad XXI memprediksikan kemunculan China, India, dan Amerika Serikat
sebagai tiga kutub utama dalam suatu struktur sistem multipolar di Asia,
maka Indonesia harus dapat mengembangkan strategi dan postur pertahanan
2045 yang memungkinkan Indonesia untuk menjadi kekuatan pengimbang untuk
mengantisipasi terjadinya kompetisi multipolar yang baru.
Indonesia hanya dapat menjadi
kekuatan pengimbang di Asia Timur jika dapat mengembangkan postur
pertahanan yang tangguh (internal
balancing) atau membangun aliansi militer dengan negara lain (external balancing). Saat ini,
Indonesia cenderung tidak dapat membangun aliansi militer karena terhadang
oleh prinsip politik luar negeri bebas aktif. Konsekuensinya, Indonesia
harus segera mengembangkan rencana strategis Postur Pertahanan 2045 sebagai
kelanjutan dari Kekuatan Pertahanan Minimum 2024 agar dapat berperan
sebagai kekuatan pengimbang di Asia Timur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar