Tavip
adalah nama yang cukup populer untuk orang Indonesia. Seorang mantan mahasiswa
saya di Program Studi Ilmu Kepolisian UI bernama Drs Tavip Yulianto MSi,
ketika itu menjabat sebagai Kapolres Bekasi.
Mbah Google
mencatat ada 25 orang profesional bernama Tavip yang menggunakan Linkedin.
Bahkan ada pasar di Binjai yang bernama Pasar Tavip. Buat yang tidak
tahu,nama Tavip tentunya dianggap sama saja dengan nama lainnya seperti
nama Sarlito atau Sarimin. Tetapi kalau diperhatikan baikbaik, semua yang
bernama Tavip lahir sesudah tanggal 17 Agustus 1964 karena pada hari itulah
Bung Karno mengucapkan pidato kenegaraannya yang rutin diadakan setiap
tanggal 17 Agustus (seperti biasa: durasi pidato bisa sampai dua jam dan
orang tidak bosan mendengarkannya), yang berjudul “Tahun Viviere Pericoloso”.
Judul pidato
itu diambil dari bahasa Italia (zaman sekarang tidak ada yang terpikir
bahasa Italia, malah bisa-bisa dihujat umat yang lebih afdal menggunakan bahasa Arab), yang artinya “tahun menyerempet-nyerempet bahaya”,
jadi memang menggambarkan kondisi NKRI yang sudah sangat kritis itu
(sekitar setahun sebelum peristiwa G 30 S). Lebih hebat lagi, pidato itu
kemudian dibuat film berjudul The
Years of Living Dangerously yang dibintangi antara lain oleh Mel
Gibson, Sigourney Weaver, dan Linda Hunt.
Film ini dibuat
di Filipina, membuahkan Oscar untuk bintang-bintangnya, tetapi dicekal di
Indonesia. Walaupun begitu, saya sempat menontonnya di Jifest (Jakarta
Internasional Film Festival) dan menurut saya yang mantan aktivis Angkatan
66, film itu jelek sekali. Beberapa adegan menggambarkan Bung Karno dan
beberapa tokoh politik sedang berada di Hotel Indonesia, tetapi Hotel
Indonesia yang digambarkan di film (hotel sederhana dengan pelayan
berpakaian teluk belanga,lengkap dengan peci dan sarungnya) jauh sekali
dengan HI yang sesungguhnya pada waktu itu, yang megah dan modern dengan
pelayan yang berjas-berdasi (dan yang sekarang kebanjiran.... hehehe).
Apalagi isi
ceritanya.Jauh dari kenyataan yang ada di Jakarta ketika itu. Pokoknya, menurut
saya, film itu adalah pembohongan (bukan “kebohongan”) publik.
Tetapi,memang benar,tahun 1964-1967 adalah “Tahun Viviere Pericoloso”, tahun menyerempet-nyerempet bahaya.
Salah satu bahaya riil yang saya alami sendiri adalah bus Tavip yang rutin
membawa kami mahasiswa UI dari Kampus Salemba/Diponegoro ke Rawamangun.
Dengan Keppres
No 12/1966 pemerintah membuat perusahaan bus kota yang dinamakan Tavip.
Sebagian busnya bermerek Robur bikinan Hungaria (ketika itu Indonesia masih
akrab dengan negara-negara komunis), tetapi sebagian besar lainnya
dikerahkan dari truk-truk kantor-kantor pemerintah yang dalam Keppres
12/1966 yang masih ditandatangani oleh Presiden Soekarno itu diperintahkan
untuk menyerahkan truk-truknya ke perusahaan bus Kota Tavip.
Truk-truk itu
kemudian dikelola dan dimodifikasi oleh perusahaan bus Tavip. Dibuatkan
atap dari terpal dan bangku menyamping seperti truk militer pengangkut
personel, di tengah penumpang berdiri berpegangan pada talitali yang sudah
disiapkan. Untuk naik-turunnya, penumpang menggunakan tangga di belakang
truk dibantu seutas tali besar untuk bergelantungan. Sopir tidak melihat
apa yang terjadi di belakang.
Dia hanya
mengandalkan komando kenek. Kalau kenek sudah teriak, “Tarik!”, truk pun
melaju. Salah-salah penumpang yang belum mapan betul naik ke truk bisa
terjengkang ke belakang. Betul-betul viviere pericoloso. Anehnya pada waktu
itu,setahu saya, tidak banyak kecelakaan dengan penggunaan bus ajaib itu.
Dibandingkan
dengan zaman sekarang, manajemen transportasi kota zaman Orde Lama sangat
amburadul. Suatu kemunduran drastis dari sistem transportasi umum
zaman Belanda, di mana masih ada trem dan bus kota yang terpadu dengan
angkutan air (Alwi Shahab,“Batavia Kota Banjir”: 2009). Zaman sekarang
sistem angkutan umum kita (di Jakarta) sebenarnya sudah sangat maju. Bahkan
lebih maju dari sebagian kota besar lain. Di Jakarta, kita bisa menggunakan
transportasi umum door-to door.
Anda bisa naik ojek atau bajai dari depan rumah, ke terminal bus
Transjakarta, atau stasiun kereta api ring
road, terus naik ojek atau bajai lagi ke kantor.
Di kota-kota
lain, kita harus jalan kaki dulu, kadang-kadang sampai beberapa blok atau
15 menit jalan kaki sebelum mencapai stasiun MRT atau stopan bus kota, dari
stasiun/stopan tujuan, masih harus jalan lagi ke tempat tujuan. Kalau mau door-to-door di luar negeri, ya naik
taksilah. Tetapi, justru sekarang ini rasanya kok banyak sekali masalah
dengan sistem angkutan kota kita. Disediakan KRL (kereta rel listrik) dari
Bogor langsung ke Jakarta Kota lewat Manggarai, penumpang malah duduk di
atap kereta, jatuh, mati! Sudah dilarang, malah ditakut-takuti dengan
Polsus KA (Polisi Khusus Kereta Api), malah Polsusnya yang takut.
Mungkin karena
nama perusahaannya tidak jauh-jauh dari DKA (duduk di atas kereta api),
PJKA (penumpang jalan-jalan di atas kereta api), atau Perumka (penumpang
ngerumpi di atas kereta api),atap kereta api selalu sarat penumpang. Bukan
di kereta api saja kecelakaan demi kecelakaan terjadi. Jalur busway
dilewati motor, tertabrak bus Transjakarta, terjungkal, tergilas...mati!
Atau bus Transjakarta yang mewah dan ber-BBG (bahan bakar gas) tiba-tiba
terbakar sehingga memacetkan rangkaian bus Transjakarta lain di belakangnya.
Jadi orang memilih naik kendaraan pribadi saja, khususnya motor (roda dua).
Akibatnya
jalanan penuh dengan roda dua, sodok sana-sodok sini. Kalau dia yang
tersenggol, dan jatuh, dia yang marah duluan. Jadi sebetulnya bukan hanya
pada tahun-tahun 1964-1967 bangsa ini terancam viviere pericoloso. Bangsa ini bahkan tidak pernah lepas dari viviere pericoloso, menyerempet-
nyerempet bahaya dalam setiap aspek kehidupan. Bantaran sungai rawan banjir
tetap saja dijadikan kawasan hunian oleh para penghuni liar.
Wagub Basuki
sudah menawarkan kepada mereka untuk pindah ke rumah susun. Pindah, bukan
transmigrasi ke luar Jawa. Tetapi, mereka menolak, malah minta pemprov
menyediakan lahan di bantaran sungai itu juga untuk mereka mendirikan lagi
rumah-rumah mereka yang sudah tersapu oleh banjir. Loh, ini bagaimana sih?
Gubernur kok disuruh melawan hukum sendiri? Dengan perkataan lain, di benak
sebagian terbesar masyarakat Indonesia, baik pemimpin maupun rakyatnya
sendiri, tidak banyak pemikiran jangka panjang, strategis ke depan
bagaimana, bagaimana melindungi dan melestarikan lingkungan dan sebagainya.
Jangan heran
kalau buruh yang tiap tahun UMR-nya naik, masih juga merongrong pemerintah
dengan minta kenaikan UMR lagi. Setiap tahun sehingga akhirnya pun
pengusaha memilih angkat tangan saja dan memindahkan bisnisnya ke negara
lain saja. Tanpa investor (investasi dana maupun sumber SDM),jangan harap
Indonesia akan maju.
Jadi buang jauh-jauhlah
itu kebiasaan viviere pericoloso
yang dalam bahasa awamnya disebut “nekat” (nenek-nenek juga disikat). Kita
harus belajar bertindak dengan perhitungan, kalkulatif, apa untung, apa
ruginya, dan membuat perencanaan jangka panjang-jangka pendek dan sesudah
itu berusaha menjalankan roda pembangunan berdasarkan rencana itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar