Landasan sebagai ibu kota
hanya ada dari aspek legal, yakni UU 10/1964 tentang Pernyataan DKI Jakarta
Raya tetap sebagai Ibu Kota, yang telah diamandemen menjadi UU 29/2007
tentang Pemprov DKI Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI. Namun ironisnya, Jakarta
sebagai ibu kota yang sangat strategis, infrastrukturnya ternyata tidak
mampu menahan bencana banjir.
Jakarta benar-benar gagal
mengelola dirinya sebagai ibu kota. Jokowi tentu saja tidak dapat
disalahkan, masa pemerintahannya ketika itu belum genap 100 hari. Birokrasi
tercepat Indonesia dalam masa itu belum akan mampu membuat satu kontrak
pun. Jadi, keteledoran banjir Jakarta terletak pada gubernur sebelum
Jokowi.
Fakta Jakarta sekarang ini
sudah memenuhi syarat disebut sebagai potret ibu kota yang gagal. Indikator
populasi penduduk yang mencapai 12 juta orang pada siang hari adalah bukan
kesuksesan karena sangat tidak berimbang dibanding daya dukungnya.
Kepadatan populasi Jakarta kini adalah 16,9 ribu jiwa per kilometer persegi
mengalahkan HongKong atau Vatikan yang masih 12 ribu jiwa per kilometer
persegi. Rata-rata kepadatan penduduk di ibu kota Eropa malah jauh lebih
rendah, misalnya, Den Haag atau Kopenhagen masih 1.200 jiwa per kilometer
persegi.
Kendati tingkat densitas
penduduk Jakarta belum masuk dalam 50 kota terpadat dunia, namun lanskapnya
yang horizontal jelas berbeda dengan tipikal pengaturan penduduk Singapura.
Densitas penduduk Singapura sekitar 40 ribu jiwa per kilometer persegi,
namun karena disebar ke atas, maka masih banyak ruang terbuka. Akibat
komposisi ruang terbuka masih sangat banyak, air hujan masih bisa masuk ke
dalam tanah dan tidak semuanya masuk ke sungai atau dibuang percuma ke
laut.
Yang mengagetkan, Jakarta
ternyata bergeming untuk tetap melanjutkan tradisi konservatifnya
mempertahankan sedapat mungkin atribusinya sebagai daerah khusus ibu kota.
Kini beredar kampanye 'Jakarta bangkit' atau 'Jakarta berbenah' untuk
mengembalikan spirit warga Jakarta yang runtuh. Dan, satu-satunya cara
untuk recovery Jakarta, yakni
dengan solusi masifnya proyek dengan kekuatan uang yang luar biasa.
Rencana terbaru untuk
memulihkan Jakarta adalah proyek great sea wall yang diperkirakan akan
menghabiskan sedikitnya Rp 300 triliun. Tanggul laut raksasa ini diharapkan
akan mampu memberikan perlindungan Jakarta dari bahaya banjir rob atau
monsun dan mengkopi yang telah dilakukan Belanda terhadap Kota Amsterdam.
Entah berapa tahun akan mampu menyelesaikan proyek sulit ini dan sepanjang
waktu menunggu proyek itu selesai apakah digaransi Jakarta tidak akan
kembali tenggelam? Proyek prestisius ini langsung seketika membuat tidak
menarik proyek sudetan Kali Ciliwung ke kali Banjir Kanal Timur (BKT) yang
diperintahkan Presiden SBY dengan nilai Rp 6 triliun. Demikian pula
langsung menafikan proyek penanggulangan paska banjir Rp 2 triliun dan
bahkan langsung menghapus gagasan Gubernur Jokowi akan proyek deep tunnel
Rp 16 triliun.
Banjir air bah yang bahkan
melumpuhkan Jakarta tidak membuat nyali pemerintah tetap mempertahankan
Jakarta sebagai ibu kota mengendur. Bahkan, semakin besar bencananya, maka
semakin besar dana yang disiapkan, dan muaranya Jakarta tetap membuat
magnet bagi seluruh rakyat Indonesia. Situasi ini antitesis tersendiri
terhadap gagasan pemerintah untuk mengembalikan warga ke daerah
masing-masing dan sebaliknya malah membuat urbanisasi semakin dahsyat.
Padahal, tahun 2013 ini
Jakarta juga memiliki super proyek MRT sebesar Rp 103 triliun (tahap 1),
monorel, busway, Pelabuhan Tanjung Priok, enam ruas tol baru dalam kota (Rp
45 triliun) dan masih banyak lainnya. Proyek-proyek yang masih berjalan
juga masih berlangsung dan ini menambah kocek Jakarta semakin tebal.
Sementara proyek dari wilayah spasial, seperti proyek Jembatan Selat Sunda
(Rp 200 triliun) juga akan memberikan dampak kepada Jakarta.
Solusi dengan pendekatan
proyek untuk memulihkan kondisi Jakarta ini sungguh membuat iri kota-kota
lain yang tidak seberuntung Jakarta. Ada pertanyaan mendasar, apakah
Jakarta akan dipertahankan tetap sebagai ibu kota meski harus mengorbankan
waktu, tenaga dan uang yang tidak rasional lagi? Jakarta mungkin masih
feasible menjadi ibu kota, namun jika untuk menjadi yang seperti itu
ternyata menghabiskan ribuan triliun, apakah masih layak?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harus secara arif dipikirkan dengan
masak-masak oleh pemerintah.
Memang benar, Jakarta memiliki
peran dalam mendistribusikan anggaran Rp 1.657 triliun dalam APBN 2013,
atau berpartisipasi penting kendati secara tidak langsung untuk men-drive
PDB satu triliun dolar AS yang dicita-citakan bangsa ini. Namun, ketika
menyadari bahwa begitu besar biaya yang melekat di Jakarta, rasa-rasanya
faktor ini sudah mendegradasi arti daerah khusus itu dengan sendirinya.
Pemerintah perlu berpikir
kembali jika tetap bersikukuh mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota.
Biaya pemeliharaan dan membuat fasilitas baru sungguh luar biasa, sementara
keluhan sosial tetap keras terdengar. APBD Jakarta yang hanya Rp 49,9
triliun pada 2013 ini sangat tidak memadai jika dibandingkan untuk memenuhi
seluruh demand publik. Paradigma Jakarta yang mutlak menjadi ibu kota atau
Jakarta 'harga mati ibu kota' harus pelan-pelan digeser ke arah yang lebih
rasional, logis dan sehat.
Jakarta sebenarnya sudah merasakan
dirinya tidak lagi sekuat satu dekade lalu.
Statemen tanggap darurat DKI
Jakarta 17-27 Januari 2013 oleh Gubernur Jokowi adalah bukti bahwa Jakarta
sudah mengeluarkan permintaan SOS. Perbaikan Jakarta sudah tidak bisa
diharapkan lagi karena membuang uang sangat besar, sementara penyakitnya
tidak kunjung sembuh. Langkah paling bijak seharusnya adalah menutup buku
Jakarta untuk memberikan kesempatan kepada kota baru sebagai ibu kota. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar