Kehadiran Jenderal Soeharto sebagai pejabat
Presiden Republik Indonesia pada 1968 disambut dengan kepala menunduk,
seolah warga masyarakat di seluruh negeri sedang mensyukuri berkah dari
langit,yang diterjemahkan dalam bahasa politik yang manipulatif dan penuh
kultus: berkat “kesaktian Pancasila”.
Dalam setiap
pidato resmi, setengah resmi atau sama sekali tidak resmi, hampir semua
pejabat negara mengukuhkan pidatonya dengan mengutip “kesaktian Pancasila”
tadi. Bahkan pidato seorang kepala desa, yang merasa lebih terpelajar
dibandingkan semua warga masyarakatnya, juga menyebutkan “kesaktian
Pancasila”.Pejabat tinggi di Jakarta memesona rakyat dengan sikap
manipulatif, berbau kultus “kesaktian Pancasila”.
Kepala desa di
daerah-daerah menelan sikap manipulatif dan kultus itu tanpa mengunyah
karena di zaman itu orang yang mencoba mengunyah (bersikap kritis) terhadap
pidato pejabat tinggi dianggap PKI dan pasti disikat habis tanpa jejak oleh
operasi militer yang rapi jali, yang dikomandoi dari atas untuk membersihkan
anasir anti- Pancasila.
Pada 1971
ketika Jenderal Soeharto yang hanya memegang mandat sebagai pejabat
presiden ingin lebih mengukuhkan kedudukan sebagai presiden, diadakanlah
pemilihan umum yang sudah pasti menjamin kemenangan beliau karena jiwa seluruh
bangsa masih terpesona terus terhadap kesaktian Pancasila dan kewibawaan
Pak Harto yang berhasil memulihkan kesaktian Pancasila tadi.
Begitu resmi
memegang jabatan presiden,isi pidato penuh dengan kata pembangunan.
Sebentar-sebentar demi pembangunan. Rakyat dibungkam demi pembangunan.
Rakyat digusur demi pembangunan. Dunia politik disuruh menyederhanakan
partai, demi pembangunan. Ketika kata demi pembangunan sudah mapan dan
rakyat juga terpesona, sambil merasa ngeri terhadap kemungkinan ditindak diam-diam,kekuatan
politik sipil nyaris tak terdengar.
Semua menunduk,
menanti “titah” beliau, sebaiknya kata penuh pesona apa lagi yang harus
disampaikan di kalangan masyarakat.Dan kemudian kata stabilitas menjadi
mantra suci. Sebentar-sebentar terdengar pidato beliau menyebut: demi
stabilitas pembangunan. Maka benak seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang
hingga Merauke, bernyanyi sambil setengah optimistis setengah menangis
tentang stabilitas pembangunan itu. Tak ada orang berani menolak Pak Harto.
Apa pun alasannya,
Pak Harto didukung, sambil mulai ditakuti.Kultus itu buruk, tidak sehat,
dan manipulatif. Tapi konstelasi politik nasional kita penuh kultus dan
manipulasi macam itu. Bahkan, sekali lagi, kepala-kepala desa di seluruh
Tanah Air mengikuti kultus dan manipulasi politik itu tanpa pernah
menyadari betapa buruk sikap politik yang ditirunya bagi kesehatan
pandangan politik warga masyarakat.
Bertahun-tahun
hidup dalam bius politik manipulatif, tapi hampir tak ada yang
menyadarinya. Semua menunduk. Semua patuh.Semua taat. Pak Harto memiliki
kekuasaan dan menggunakan kekuasaannya. Akhirnya beliau mabuk dalam
permainan yang dibuatnya sendiri. Pemerintahannya berlangsung sangat
lama.Warna militernya sangat kentara dan dunia Barat menyebutnya
pemerintahan militeristis.
Beliau galak,
bisa sangat kejam, menghilangkan orang, menyingkirkan lawan politik tanpa
jejak. Dan semua berjalan efisien.Apa gunanya efisien yang tak disertai
akuntabilitas publik? Maka,ketika beliau diganti, dunia kita seperti
meledak penuh kelegaan.Tapi juga penuh kebingungan dan rasa frustrasi.
Jiwa demokrasi
menyala-nyala dan demi demokrasi Habibie menyerahkan Timor Timur untuk
hidup bebas,tak peduli perjuangan mempertahankannya begitu penuh darah
mengucur––bukan hanya menetes––, jiwa-jiwa melayang, tangan buntung, kaki
buntung, cacat berat permanen yang tak tertolong,semua menjadi korban bukan
untuk apaapa.
Bukan untuk
siapa-siapa. Inilah korban perang, untuk sebuah kesia-siaan. Militer kita
dicemooh dunia, terutama yang paling tengil Australia, dan kita menjadi
seperti tikus got yang terhina. Habibie tidak punya siasat politik. Tidak
punya metafora. Tidak ada pesona.Tak ada orang merasa segan. Semua presiden
sesudahnya orang sipil yang bersemangat mengembalikan supremasi sipil.
Padahal,
ternyata, supremasi sipil bukan jawaban bagi dominasi militer yang begitu
lama menindas. Orang lalu berpikir, sebaiknya kita mencari pemimpin militer
yang demokratis dan itu yang dianggap jalan keluar terbaik. Kita tak senang
militer gaya Pak Harto,lalu kita cari jenderal yang lain. Kita tak senang
demokrasi tercekik, kita hadirkan jenderal yang mengerti demokrasi.
Sampai pada
titik ini jelas,di negeri kita dikotomi sipil-milter tak berlaku lagi. Isu
militer dalam politik dianggap tak lagi relevan. Tapi ketika jenderal
demokratis ini hadir di panggung politik bukan untuk memainkan peran
politik yang diharapkan, orang pun bosan setengah mati dan marah.Pemimpin
harus bekerja keras dan bertanggung jawab.Tidak boleh berkeluh kesah.
Memanggul
mandat konstitusi memang berat dan jerih payah itu tak ada artinya
dibandingkan dengan kesejahteraan rakyat. Keluh kesah tak ada gunanya.Di
depan rakyat yang susah, jangan perlihatkan kesusahan. Ini bukan sikap
pemimpin. Maka, muncullah aspirasi politik baru: mencari pemimpin yang
tegas, penuh tanggung jawab, dan berani mengambil risiko.
Pendeknya kita
mencari pemimpin yang mau bekerja dan rela berkorban perasaan, tenaga,dan
pikiran.Selebihnya, tidak korup.Tidak kejam.Tidak menghilangkan nyawa orang
demi pembangunan. Untuk siapa pembangunan kalau warga negaranya dimatikan?
Banyak kalangan berpendapat dan memprotes, membunuh satu orang sama dengan
membunuh keseluruhan kehidupan ini.
Kita seperti
dihadapkan pada lakon membasmi Dasamuka dengan menggunakan kesucian Batara
Rama yang tanpa pamrih, selain menegakkan kehidupan itu sendiri dengan
keadilan yang nyata dan mengedepankan kemanusiaan di dalam tatanan
sosial-politik kebudayaan yang berkeadilan.Sebelum sampai ke sini
diperlukan tokoh yang tegas, yang bisa, atau dianggap bisa menjamin
terlaksananya aspirasi mulia ini.
Jawaban muncul
dari sebuah polling, yang dibuat oleh Kelompok Studi Pembangunan Sosial
Politik, dari UI.Polling ini menggambarkan preferensi mahasiswa, yang
disebut Young Intellectuals, dari tujuh kota besardiseluruh Tanah
Air.Polling dilakukan dengan cara ilmiah dan menempuh prosedur ilmiah baku,
tidak menyimpang ke mana-mana,agartetapkonsisten terhadap apa yang hendak
ditanya, dengan panduan metode yang disepakati sejak mula.
Ketika
di-launching di Wisma Antara pada tanggal 12 Februari 2013 lalu, di
undangan yang disebar pada media, tajuknya berbunyi: siapa yang paling
pantas menjadi calon Presiden tahun 2014. Tajuk ini sangat “provokatif”.
Hampir seluruh media di Jakarta pulang membawa catatan hasil polling
tersebut.
Menarik bahwa
yang dipilihnya kelompok mahasiswa. Kalau kelompok ibu-ibu, saya yakin
mereka nanti akan tetap memilih calon yang rapi jali, jambul kelimis,dan
sopan dalam tata bahasa tapi alpa dan sangat mengabaikan tata kerja. Kalau
kecenderungan ini yang terjadi, hancurlah kita oleh kerapian.
Di sini ada hal
penting: sipilmiliter tak dipersoalkan lagi. Hal penting berikutnya
tanggung jawab, kompetensi, dan corak leadership dijadikan tolok ukur
utama. Dan polling ini ditujukan untuk para jenderal yang sudah jelas mau
mencalonkan diri maupun yang belum.
Sisi
mengejutkan yang dimunculkan dalam polling itu––dan kemudian diberitakan
media––, Letnan Jenderal TNI (Purn) Sutiyoso, mantan Gubernur DKI selama 10
tahun, Bang Yos yang masih tersimpan rapat di dalam “kotak” seperti
dikejutkan untuk bangun dari sana dan muncul di “pakeliran” politik
nasional.
Rekam jejak dan
prestasi Bang Yos tampak jelas, tapi tidak dia tampak-tampakkan. Apa
maunya, dia belum bisa dibaca. Tapi efek polling itu besar: Prabowo yang
selalu muncul di media dalam bentuk iklan di dalam polling itu tampaknya
kalah sorot dengan Bang Yos.
Orang merasakan
adanya suatu kejutan.Adakah kejutan ini hendak dimanfaatkan, atau tidak,
terpulang kepada Bang Yos, yang pasti ia merasa terhormat karena pagipagi
namanya menjulang tinggi di atas awan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar