"Sudah saatnya dibuat
semacam "museum kecil" yang merepresentasikan sosok diri koran
ini dari waktu ke waktu"
SETIAP pagi --sejak beberapa dekade-- dari masa remaja ketika masih
tinggal di Desa Toroh, Grobogan, hingga setelah bekerja dan berumah di
Semarang, saya selalu membaca dan mendengar slogan Suara Merdeka sebagai
koran yang "Independen - Objektif - Tanpa Prasangka", lalu
tagline itu sejak 2000-an bermetamorfosis menjadi "Perekat Komunitas
Jawa Tengah".
Dua tagline itu membawa nuansa multikultur, dan benar-benar mampu
menghegemoni pikiran masyarakat, yang akhirnya menimbulkan nuansa
romantisme sebuah kebutuhan informasi tentang semua fenomena dan gejala
sosial.
Suara Merdeka, yang hari ini berusia 63 tahun, merupakan harian yang
tiap pagi selalu menyapa penggemarnya. Dengan dua slogan tadi, inilah
satu-satunya media yang berhasil menghegemoni pikiran masyarakat tentang
"sosok" sebuah koran.
Nuansa romantisme sebuah koran di Jawa Tengah berhasil diciptakan.
Tidak sekadar yang terkait dengan ruang dan waktu, akan tetapi juga
metamorfosis koran yang mampu menjadi sebuah representasi identitas, yakni
Jawa Tengah.
Inilah hegemoni pikiran yang berhasil menciptakan blue-print sebuah media. Cetak biru
tentang sebuah koran yang dinamis, selalu berinovasi pada tiap kurun waktu.
Suara Merdeka berhasil merepresentasikan identitas Jawa Tengah, markas
besarnya. Bahkan ia sudah menjadi ikon tentang koran di Jawa Tengah, karena
begitu menyebut "koran" yang segera terbayang adalah Suara
Merdeka.
Ingatan saya terkilas balik ke tahun 1980-an, ketika slogan
"Independen - Objektif - Tanpa Prasangka" itu begitu menghemoni,
karena pada masa remaja, Suara Merdeka-lah yang saya baca. Begitu
populernya, slogan itu bahkan bergerak secara bawah sadar menjadi
"kosa kata milik publik". Misalnya ketika ada seseorang yang
berbicara tentang "independen", maka ia atau temannya secara
refleks meneruskan dengan merangkai kata "independen, objektif, tanpa
prasangka".
Demikian pula ketika mengucapkan kata "objektif", ia atau
lawan bicaranya akan segera menyusuli dengan rangkaian "independen,
objektif, tanpa prasangka". Seolah-olah, kata yang di-tagline-kan oleh
Suara Merdeka itu telah menjadi "ungkapan sehari-hari milik masyarakat".
Dari sisi tampilan, terbayang wajah koran yang sangat lekat di benak
saya -- dan saya yakin benak semua orang Jawa Tengah. Halaman-halaman koran
yang konvensional, "patuh pakem", terkesan monoton; namun itulah
yang membangkitkan romansa kehausan informasi yang berhasil menghegemoni
masyarakat.
Setelah beberapa dekade berlalu, dan koran ini memasuki usia 63 -- usia
yang terbilang tidak lagi muda --, justru saya melihat wajah Suara Merdeka
yang "makin muda", "sedikit genit", bahkan
"liar" .
Nuansa itu membangkitkan romansa kedinamisan koran yang "berani
keluar pakem konvensional dan monoton" Saat ini, Suara Merdeka mulai
berhasil menghegemoni pembacanya dengan tampilan yang "meriah",
"penuh warna", dan "sedikit liar" yang tiap pagi selalu
ditunggu pembaca: seperti apa wajahnya hari ini? Dengan slogan yang juga
berubah menjadi ikon multikultur "Perekat Komunitas Jawa Tengah",
Suara Merdeka menjadi koran yang "dirindukan" oleh
pembacanya.
Inovasi metamorfosis wajah itu menegaskan, walaupun sudah berusia
tua, Suara Merdeka tak lekang oleh zaman dan tak lapuk dimakan usia.
Tinggal bagaimana sekarang menjaga konsistensinya dalam menyuguhkan
informasi yang juga meriah, bermakna, cerdas, dan mempunyai "inner beauty".
Ikon Wisata Koran
Koran ini telah menjadi ikon, yang terbukti dari keberhasilan
menghegemoni masyarakat Jawa Tengah dengan romansa tagline dan
informasinya, ditopang dengan dinamika tampilan wajah "meriah, sedikit
genit, dan liar". Dengan slogan yang multikultur, ia berpeluang besar
menjadi sebuah situs budaya membaca di provinsi ini.
Alangkah lebih membahananya andai ia juga berhasil menghemoni
masyarakat yang berkunjung ke Jawa Tengah untuk juga selalu singgah ke
dapur redaksinya dalam satu paket perjalanan wisata. Sebagai ikon informasi
yang cerdas dan mencerdaskan, ia adalah "sesuatu" yang
dibutuhkan. Ketika "sesuatu" itu dibutuhkan, maka dengan berbagai
cara akan "ditemukan" untuk memenuhi hasrat itu.
Ya, sudah saatnya dibuat semacam "museum
kecil" yang merepresentasikan sosok diri koran ini dari waktu ke
waktu. Tidak sekadar memajang dokumentasi akan tetapi juga sebuah arena workshop (bengkel kerja) yang ramah,
cerdas, dan bisa diakses. Bagaimana para pelancong merasa "bangga" karena
berkesempatan berkunjung ke sebuah koran yang telah menjadi bagian dari
kultur Jawa Tengah, sehingga mereka akan merasa "kurang lengkap"
jika belum berkunjung ke ikon "Perekat
Komunitas Jawa Tengah" itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar