Dalam sebuah konferensi pers pekan lalu, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan akan mengambil tampuk kepemimpinan
Partai Demokrat untuk mengembalikan citra partai yang telah dirusak oleh
pelbagai skandal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh kader Demokrat
sendiri. Sebagai ketua majelis tinggi partai, SBY dan timnya sepakat
memberi waktu kepada Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum untuk
lebih berfokus pada kasus hukum yang telah menderanya beberapa bulan ini.
SBY akan berfokus membangun kembali citra Demokrat dan menegaskan bahwa
siapa pun dari kalangan Demokrat yang tidak senang atas keputusannya
dipersilakan meninggalkan kendaraan partai.
Survei terbaru yang dirilis oleh Saiful Mujani Research & Consulting mendapati bahwa Partai
Demokrat mengalami penurunan elektabilitas secara signifikan hingga 8
persen. Ini amat kontras dibanding angka 20,8 persen suara yang bisa diraup
oleh partai tersebut dalam pemilu legislatif 2009. Instabilitas Demokrat
selama kepemimpinan Anas, semisal skandal korupsi yang menimpa banyak
kadernya, disinyalir memberi kontribusi krusial terhadap anjloknya reputasi
Demokrat dalam survei terbaru tersebut.
Di tengah kritik pedas terhadap langkah SBY yang
dianggap tidak hanya menabrak aturan organisasi tapi juga dinilai
mendahulukan kepentingan partai dibanding negara, sebetulnya hal itu
sah-sah saja dan tidak kontraproduktif. Upaya SBY untuk mengembalikan citra
Demokrat harus dimulai dengan keseriusan memerangi korupsi dalam tubuh
Demokrat, sekecil apa pun langkah-langkah itu. SBY perlu bekerja sama
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan mengharuskan petinggi
partai melaporkan serta menjelaskan peningkatan kekayaan yang dianggap luar
biasa tinggi dibanding gaji resmi yang diperoleh. Ini mewujud sebagai game changer dalam peperangan
melawan korupsi. Pada saat yang sama, SBY juga perlu melibatkan kantor
perpajakan untuk mengusut fungsionaris partai yang diketahui tidak mematuhi
kewajiban membayar pajak.
Korupsi telah melipatgandakan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap banyak partai politik, terutama yang lahir selama era
reformasi. Skandal yang menimpa kubu Demokrat telah mengubah wujud
tokoh-tokoh publik yang dulunya reformis menjadi orang-orang dengan kepribadian
ganda. Anas Urbaningrum dan Andi Alifian Mallarangeng-dua figur utama
Partai Demokrat dengan dedikasi intelektualisme dan aktivisme luar
biasa-ikut tergelincir ke dalam oportunisme politik begitu memegang tampuk
kekuasaan. Selaku politikus, mereka sulit melepaskan diri dari perangkap
korupsi di tengah keniscayaan pembiayaan partai. Upaya SBY sebagai pemimpin
majelis tinggi partai dalam membersihkan Demokrat dari politikus korup amat
fungsional menyaring kawanan petualang politik dengan agenda tersembunyi
masing-masing.
Keterlibatan politikus Demokrat dalam rentetan kasus
korupsi yang memiliki latar belakang pengusaha dan konglomerat, seperti
Muhammad Nazaruddin dan Hartati Tjakra Murdaya, terbuhul erat dengan godaan
bukan hanya untuk memperkaya diri sendiri, tapi juga untuk memperluas
gurita bisnis mereka.
Dalam konteks psikologis, korupsi yang merajalela di
tubuh Demokrat juga tak bisa dilepaskan dari menebalnya dinding egoisme dan
arogansi politikus Demokrat karena menikmati kemenangan partai merebut
suara pemilih dalam dua kali pemilihan legislatif (2004 dan 2009) serta
pesona kepribadian Presiden SBY sendiri. Kedua faktor ini telah
mengantarkan politikus Demokrat, baik sebagai menteri dalam kabinet
pemerintahan maupun selaku anggota parlemen di DPR, merasa berada di atas
angin dan memiliki imunitas politik.
Pembenahan citra Demokrat seyogianya tidak mengabaikan
kaderisasi kepemimpinan di tubuh partai sendiri. Kegagapan melakukan
kaderisasi bakal berdampak bukan hanya rontoknya kepercayaan talenta-talenta
muda partai sebagai pemimpin masa depan, tapi juga ketidakmampuan mereka
melewati bayang-bayang SBY. Kaderisasi kepemimpinan menjadi sebuah
keniscayaan untuk memberangus oligarki politik partai yang gampang tumbuh
pada era pasca-Soeharto ini. Kaderisasi kepemimpinan juga menjadi kunci
untuk mencegah tumbuhnya personifikasi politik di satu sisi dan membangun
kepemimpinan kolektif di tubuh Demokrat di sisi lain. Lanskap masa depan
politik negara ini sejatinya terletak pada kepemimpinan kolektif, bukan pada
pengkultusan tokoh. Kepemimpinan kolektif berperan penting menumbuh-kembangkan
atmosfer dialogis dalam partai, sementara tren politik figuritas hanya akan
menyemai benih-benih monologis dan pengkastaan politik ke level yang
ekstrem.
SBY perlu mengambil pendekatan yang luar biasa untuk
mengatasi korupsi sebagai skandal luar biasa. Untuk itu, SBY bisa
mengadopsi corporate culture demi
mendapatkan tunas-tunas terbaik untuk perbaikan citra partai dengan
memperbaiki sistem rekrutmen. Untuk masa mendatang, Partai Demokrat bisa
memulainya dengan menyelenggarakan rekrutmen massal berdasarkan fit and proper test yang ketat. Awan
kelabu yang telah dan tengah menerjang Demokrat membuktikan banyaknya elite
partai yang bermasalah dan mengacaukan kemenangan pesta demokrasi yang
sempat berpihak kepada Demokrat. Apa yang terjadi sekarang adalah
orang-orang tertentu yang membawa sekarung uang untuk partai yang berpikir
bahwa mereka secara langsung memiliki hak sejarah untuk menduduki posisi
puncak dalam menjalankan partai. Efek dari perekrutan yang gagal tersebut
bakal menjadi bom waktu yang siap meledak menghancurkan armada Demokrat
ini.
Tak kalah pentingnya, SBY perlu
terus-menerus mengkonsolidasikan semua sumber daya partai-sumber daya
manusia, keuangan, ataupun teknik. Tindakan SBY mengambil tampuk
kepemimpinan Partai Demokrat untuk memulihkan citra partai yang dinodai
oleh skandal korupsi tentu mendatangkan pro dan kontra. Karena itu, SBY
harus memiliki alasan yang kuat untuk meyakinkan kedua belah pihak bahwa keputusannya
semata-mata untuk soliditas partai, mengangkat moral kader yang tengah
terseok-seok, serta mencegah arus utama politikus kutu loncat dari kalangan
Demokrat sendiri. Di atas semua itu, Presiden SBY dan segenap menteri
Demokrat di kabinet harus menjauhkan diri dari masalah internal partai
seraya tetap terfokus pada tugas-tugas pemerintahan. Betapapun, kepentingan
rakyat jauh lebih penting daripada agenda Demokrat sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar