SINYALEMEN kebijakan kurikulum baru yang akan mulai
diterapkan pada Maret mendatang, perlu secara kreatif dituangkan dalam
program pelatihan guru berbasis sekolah (school based training program).
Mengapa berbasis sekolah? Dengan titik tekan pada pengembangan sikap,
keterampilan dan pengetahuan siswa dapat dipastikan akan menjadi kegagapan
baru bagi para guru dalam mengimplementasikan kurikulum baru. Karena itu,
proses pembelajaran terhadap kerangka konseptual dan filosofis kurikulum
baru harus didasari atas eksistensi sekolah.
Kerap dan umum diketahui, salah satu bentuk sosialisasi dan
pengenalan kurikulum baru selama ini selalu berlangsung dengan memanggil
hampir semua guru dalam rumpun yang sama secara serentak. Pelatih dan
fasilitator disusun bukan berdasarkan kompetensi, melainkan sering kali
hanya berdasar level jabatan, yang ketika pelatihan berlangsung lebih
banyak bersifat instruktif. Tak jarang setelah guru kembali ke sekolah
masing-masing yang terjadi ialah kebingungan.
Model seperti itu tak bisa dilakukan lagi dalam sosialisasi dan
pelatihan kurikulum baru. Dengan modal UUD 45 dan UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, sudah seharusnya kurikulum pendidikan
kita mampu meletakkan landasan operasional yang jelas bagi sebuah sistem
pelayanan pendidikan yang terpadu dan komprehensif bagi masyarakat dan itu
semua berasal dari sekolah.
Sebagai sektor yang melibatkan begitu banyak kepentingan politik dan
budaya di dalamnya, sudah sewajarnya jika kritik dan konflik yang
menyangkut implementasi kurikulum justru diletakkan ke dalam sebuah
kebijakan pengembangan kurikulum pendidikan yang baik dan benar di jantung
proses pendidikan itu berlangsung, yaitu sekolah (Hill et.al., 2000).
Meletakkan semua kegiatan pelatihan dan sosialisasi rencana
implementasi kurikulum baru di sekolah akan menjadi solusi efektif untuk
melihat efektifi tas kebijakan pengembangan kurikulum. Sebagaimana
diketahui, efektivitas kebijakan implementasi kurikulum pendidikan selama
ini berlangsung tanpa evaluasi dan monitoring yang memadai. Sulitnya
mengontrol kualitas sekolah serta perilaku birokrasi pengelola kebijakan
pendidikan adalah salah satu bukti yang menunjukkan lemahnya kontrol yang
berkualitas (quality assurance).
Penyebabnya antara lain ketiadaan unsur keterlibatan masyarakat
sekitar sekolah ketika sebuah kebijakan diakuisisi ke dalam bentuk program.
Padahal, sejatinya kesempatan masyarakat untuk terlibat dan memberikan
masukan terhadap suatu kebijakan haruslah dibuka peluangnya.
Meskipun pelibatan semua pemangku kepentingan telah dilakukan, jika
dilihat dari sudut pandang arah perubahan kurikulum yang diinginkan,
nampaknya agenda untuk memasukkan secara serius perbaikan manajemen sekolah
belum dimasukkan ke dalam skema perubahan kurikulum. Yin Cheong Cheng dalam
Effectiveness of Curriculum Change in
School: An Organizational Perspective (1994) mengingatkan agar
perubahan kurikulum bisa berlangsung setidaknya di tiga level, yaitu
individu guru, kelompok, dan sekolah.
Organizational model of
curriculum change ini jelas harus memasukkan agenda seperti perbaikan
manajemen sekolah, memberlakukan kurikulum berbasis sekolah (school based curriculum), serta
membiarkan sekolah memiliki strategi implementasi kurikulum berdasarkan
perencanaan pengembangan sekolah yang sesuai dengan visi dan misinya.
Hasil riset di beberapa negara juga menunjukkan bahwa persoalan
kurikulum sering kali dikemas dalam balutan politik secara serampangan
sehingga tumbuh situasi yang tidak seimbang dan tidak konsisten menyangkut
relasi antara sesama guru di sekolah, guru dengan kepala sekolah, sekolah
dan masyarakat.
Perlu Pembaruan
Meskipun dalam lima tahun terakhir ini kita banyak menghasilkan
peraturan dan perundangan mengenai pendidikan, pada praktiknya terjadi
banyak tumpang-tindih dan kesalahan dalam implementasi program-program
pendidikan (Edward G. Rozyki: 2006).
Inefektifitas akan terjadi lagi di Indonesia dalam lima tahun ke depan jika
dari sekarang kita tak membuat rencana implementasi kurikulum berbasis
sekolah sehingga tumbuh inisiatif dan komitmen yang secara kreatif memacu
mutu pendidikan.
Pembaruan kebijakan pengembangan kurikulum pendidikan melalui
konsensus antarbirokrat dengan komunitas/masyarakat sekolah nampaknya harus
dijadikan prioritas Mendikbud saat ini. Dan itu harus dijadikan bingkai
dialog secara terbuka antarbirokrasi di tingkat pusat, terutama dalam
mencermati dan membuat rancangan program pelatihan kurikulum baru.
Konsensus dalam bidang pendidikan sangat diperlukan dalam rangka
mengetahui harapan (expectations)
masyarakat terhadap suatu isu dan menyepakati (consensus) bagaimana melakukannya dengan tidak lupa memberi peran
(tasks) mereka untuk terlibat
secara langsung dalam memecahkan masalah tersebut (Charles Perrow, 1979).
Dengan pelatihan berbasis sekolah kita dapat dengan mudah mengukur
tingkat efektivitas sebuah kebijakan. Kelas dan sekolah harus dijadikan
cermin oleh birokrasi pendidikan mengenai bagaimana sebenarnya sistem
pendidikan kita ditegakkan dan dijalankan. Karena itu, kebebasan akademis
dari para guru, kepala sekolah, siswa, dan masyarakat harus tecermin kuat
dalam program penguatan kapasitas guru sekaligus kapasitas peran serta
masyarakat yang berkesinambungan. The
primacy of teachers harus menjadi prioritas tidak hanya aspek
kesejahteraannya, tetapi juga kapasitasnya.
Karena itu, tanpa
kapasitas yang mumpuni para guru akan semakin terjebak pada rutinitas mengajar
yang formal, yakni guru selalu ingin memaksakan prakonsepsi tertentu kepada
pikiran para siswa ketimbang sebagai fasilitator yang akan membuat para
siswa lebih kreatif dan terbuka (Hatch,
White, & Faigenbaum, 2005). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar