Di saat partai-partai lain
bersiap-siap menghadapi Pemilu 2014, Partai Demokrat masih terus bergulat
dengan prahara internalnya. Konflik internal partai besutan Susilo Bambang
Yudhoyono itu sekarang sudah makin terbuka, khususnya menyangkut posisi
Ketua Umum Anas Urbaningrum.
Sejumlah politisi senior Partai
Demokrat kembali menuntut Anas mundur dari jabatannya. Nama Anas yang
sering dikaitkan dengan kasus megakorupsi Hambalang dianggap membebani
partai. Sebaliknya, para pendukung Anas menolak tuntutan itu karena dalam
kasus Hambalang Anas belum memiliki status hukum apa pun.
Anjlok di survei Prahara
internal PD kembali mencuat karena hasil jeblok partai tersebut dalam pelbagai
survei politik belakangan ini. Sejumlah survei bahkan menyebut
elektabilitas Partai Demokrat saat ini tinggal 8 persen. Padahal, pada Pemilu
2009 lalu, Partai Demokrat tampil sebagai pemenang dengan raihan 20,8
persen suara.
Jebloknya elektabilitas Partai
Demokrat selalu dihubungkan dengan keterlibatan elite partai ini dalam
sejumlah kasus korupsi besar. Paling heboh adalah kasus korupsi Hambalang
yang menyeret sejumlah kader utama partai tersebut, mulai M Nazaruddin,
Angelina Sondakh, hingga Andi Mallarangeng.
Tak kalah heboh, nama Anas Urbaningrum pun dikaitkan dalam kasus ini.
Partai yang gencar menjual isu antikorupsi pada Pemilu 2009 lalu justru terbelit
kasus korupsi akut.
Namun, anjloknya elektabilitas
Partai Demokrat tak semata karena keterlibatan sejumlah elitenya dalam
kasus-kasus korupsi besar. Anjloknya suara Partai Demokrat juga bukan
semata karena nama sang ketua umum hampir selalu disebut-sebut dalam
persidangan kasus Wisma Atlet dan Hambalang. Faktor melorotnya
elektabilitas partai saat ini bersifat sistemis.
Selain terkait kasus-kasus
korupsi besar, seperti kasus Wisma Atlet, Hambalang hingga skandal Bank
Century, menurunnya pamor Partai Demokrat juga terkait langsung dengan
kepemimpinan dan kinerja SBY sendiri sebagai presiden RI. Bagaimanapun,
tingkat popularitas SBY sebagai presiden akan berpengaruh besar pada Partai
Demokrat, karena SBY adalah ikon partai ini.
Kelembagaan yang Rentan
Namun, di balik semua itu,
jebloknya suara PD juga terkait dengan masih rentannya kelembagaan partai
ini merespons berbagai dinamika perkembangan politik. Mapannya kelembagaan
mestinya tecermin dari perilaku yang memola maupun budaya politik. Paling
tidak, ada dua masalah terkait kelembagaan partai, yakni (1) ideologi dan
platform; (2) kohesivitas dan manajemen partai.
(Romli, 2008).
Dalam dunia politik, adanya
politisi terlibat skandal hukum, seperti korupsi, bukanlah hal aneh,
termasuk di negara demokrasi maju. Cuma, di negara maju, kelembagaan partai
sudah terbangun baik. Jika ada skandal korupsi politisi terkuak, tak sampai
mengguncang partainya. Ketika beberapa waktu lalu Presiden Jerman
Christian Wulff mengundurkan diri karena terlibat skandal korupsi, hal itu
tak sampai mengguncang Partai Kristen Demokrat (CDU). Partai mampu
melokalisasi skandal Wulff sebagai kasus personal.
Di Jepang, politisi yang
terlibat skandal juga sering terjadi. Namun, hal itu dianggap sebagai
masalah oknum politisi bersangkutan, bukan masalah partai. Sistem internal
partai sudah berjalan baik. Jika ada politisi bermasalah, mereka mampu
melokalisasi masalahnya sebagai masalah hukum. Alhasil, hingga kini peta
kekuatan partai-partai politik di negara demokrasi maju tak banyak berubah.
Walaupun anggota atau elitenya
terlilit skandal, partai modern tetap punya kans mempertahankan popularitas
dan elektabilitasnya. Dengan ideologi dan platform yang jelas, partai
modern dalam sistem kepartaian sederhana tetap bisa mempertahankan ceruk pemilihnya
sendiri. Kalaupun ada pendukung yang kecewa, tak otomatis mereka akan berpindah
ke partai lain, apalagi ke partai yang berbeda ideologi mau pun platform
politiknya.
Selain itu, partai dengan
kohesivitas organisasi yang baik juga mampu memilah antara masalah kader
dan masalah partainya. Korupsi politisi tak serta-merta menjadi masalah
kolektif yang dapat mengguncang organisasi. Partai modern dan solid secara
organisasi bahkan mampu memulihkan kembali kepercayaan publik yang bisa
saja terjadi akibat skandal oknum anggota atau elitenya.
Bandingkan dengan di Indonesia.
Kasus Wisma Hambalang tak hanya melibatkan satu atau dua kader Partai
Demokrat, tapi bisa lebih banyak lagi.
Begitu pula pelbagai kasus korupsi lainnya, seperti suap impor daging sapi
yang melibatkan petinggi PKS baru-baru ini. Belum lagi, banyak indikasi
korupsi lain yang `berpusat' di Badan Anggaran DPR yang juga terkait banyak
partai.
Jika dibuka secara blak-blakan, korupsi politik sistemis yang melibatkan
banyak partai ini jelas mengharu-birukan politik nasional menjelang 2014
nanti.
Implikasi paling dikhawatirkan
pun sudah membayang. Sejumlah survei juga menunjukkan bahwa menurunnya elektabilitas
Partai Demokrat karena dikaitkan dengan sejumlah kasus korupsi, tak
otomatis menaikkan secara signifikan elektabilitas partai-partai lain. Artinya,
secara umum, publik pun kecewa dengan partai-partai yang ada. Kondisi ini
tentu memunculkan kekhawatiran naiknya angka golput pada pemilu
nanti.
Oleh karena itu, pembenahan tak
hanya ditujukan pada kelembagaan partai-partai politik agar mampu menahan
guncangan yang menerpa organisasi partai, tapi juga sistem kepartaian
secara keseluruhan. Sebab, hal ini menyangkut nasib demokrasi kita. Harus
ada upaya radikal untuk membangun sistem kepartaian yang kokoh dan modern
sekaligus dapat meminimalisasi penyimpangan sistemis yang melibatkan
kepentingan politisi dan partai politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar