Politik tak lagi bermain di ranah riil kekuasaan, tetapi juga di
jagat imajinasi dan persepsi publik. Di situ, sosok sebuah partai politik dibaca. Negatif atau positifnya
hasil bacaan itu sangat menentukan tingkat keterpilihan parpol. Maka, kini
elektabilitas menjadi ”berhala” baru. Sebuah parpol yang sedang berkuasa
mendadak pontang-panting dan panik ketika sebuah lembaga survei menyatakan
tingkat elektabilitas parpol itu terjun bebas. Bahkan, ketua dewan pembina
partai harus turun gunung menyelamatkan partainya yang babak belur di mata
publik. Elektabilitas pun jadi persoalan genting.
Apa boleh buat, parpol kini tak lebih dari sebuah produk industrial.
Agar selalu laku, parpol harus tampil berkilau dalam persepsi dan imajinasi
publik. Dalam konteks ini, publik diperlakukan sebagai konstituen sekaligus
konsumen politik yang hanya diperhitungkan ketika parpol perlu dukungan.
Ini menunjukkan relasi parpol dan publik pendukung tidak ideologis, tetapi
pragmatis.
Pragmatisme politik mendorong para kadernya lebih bekerja sebagai
”tukang jual obat” daripada ideolog ketika harus mendongkrak elektabilitas
parpolnya. Kerja ”tukang jual obat” lebih retoris dibandingkan substansial.
Mutu produk dan khasiat obat tak terlalu penting. Hal yang diutamakan
adalah cara memprovokasi publik agar (kembali) percaya pada ”khasiat” obat.
Maka, muncullah istilah-istilah kunci ”kemujaraban”, seperti komitmen,
integritas, dan kapabilitas. Tak penting, istilah itu justru bertabrakan
dengan perilaku para kader yang punya hobi korupsi atau melumat konstitusi.
Betapa menyedihkan jika ternyata sebagian (besar) politikus tak lebih
dari tukang jual obat. Dan, obat yang mereka jual pun ternyata sama. Ciri
pembedanya hanya merek dan kemasan. Ada yang nasionalis,
nasionalis-religius, dan ada yang bercap agama.
Jangan berharap cap-cap itu membawa konsekuensi pada kekuatan watak
dan identitas khas parpol. Sebab, partai yang mengaku nasionalis ternyata
tak sepenuhnya memiliki kadar nasionalisme tinggi. Begitu juga parpol yang
berdasar agama. Ketika berhadapan dengan kekuasaan dan harta, mereka
berperilaku sama: kemaruk. Yang religius dan nasionalis terbukti sama-sama
doyan korupsi. Sebagai tukang jual obat yang piawai, mereka selalu
gembar-gembor soal ”jaminan mutu” parpolnya; dari soal nasionalisme sampai
akhlak. Semua parpol menentang korupsi, tetapi diam-diam melakukan korupsi.
Ketika para politikus tak lebih dari tukang jual obat yang bermental
korup, sejatinya bangsa ini sulit berharap terjadi konsolidasi demokrasi
yang membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Akrobat Politik
Rakyat dipaksa menyaksikan akrobat politik lewat media massa dan
media sosial. Rakyat yang tak pernah merasakan manfaat parpol dipaksa
berempati terhadap sebuah parpol yang kini sedang terpuruk akibat
tersandera korupsi. Seolah-olah kasus tersebut merupakan bencana nasional
dan rakyat harus bela rasa. Sebaliknya, ketika rakyat dicekik harga-harga
kebutuhan primer, parpol-parpol itu tak pernah risau, apalagi berbela rasa.
Ironis dan sangat menyakitkan.
Inilah akhir dari era parpol bermartabat, yakni kultur politik yang
mengutamakan etika dan etos demi kemanusiaan dan peradaban. Kini, parpol
bukan lagi entitas politik sekaligus wahana kultural yang memperjuangkan
cita-cita sosial dan kultural, melainkan sekadar opelet omprengan untuk
meraih kekuasaan. Parpol jenis ini memang tak banyak gunanya. Karena itu,
begitu muncul kasus korupsi yang menjerat parpol-parpol besar, rakyat hanya
bisa tersenyum sambil mengucap ”biarkan mereka tenggelam”. Rakyat telah
lelah disuguhi teater hipokrisi yang digelar banyak parpol tanpa rasa malu.
Elektabilitas parpol yang terjun bebas hanyalah salah satu indikator
dari perlawanan rakyat yang tentu akan berbuah hukuman pada pemilu
mendatang. Kita berharap rakyat tetap konsisten dan tidak goyah digerilya
politik uang yang sangat mungkin akan tumpah ruah. Sebab, umumnya politikus
di negeri ini bukan pejuang yang mampu merebut kepercayaan dengan komitmen,
integritas, dan kapabilitas, melainkan para pembeli dan makelar kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar