Salah satu isu yang paling
sensitif diperbincangkan di ranah publik adalah persoalan gender. Mengingat
kaitannya dengan persamaan dan keadilan distribusi hak dan kewajiban antara
kaum lelaki dan kaum wanita dalam konteks berbagai sisi kehidupan, penulis
sengaja tidak menyebut kaum wanita di atas sebagai kaum perempuan. Sebab,
idiom perempuan cenderung berkonotasi negatif, yakni merendahkan
kedudukannya.
Berhubungan dengan dunia
politik, tentu saja sangat menarik jika disinggungkan dengan persoalan
gender. Karena, di samping masih sangat sedikit wanita yang terjun menjadi
politikus; juga akibat stigmatisasi publik (common sense) yang menempatkan kaum wanita sebagai pihak yang
lemah, tak berdaya dan tidak memiliki kekuatan penuh dalam domain
kekuasaan. Sehebat-hebatnya kaum wanita, sepintar-pintarnya mereka; ketika
mereka sudah berkeluarga, harus tunduk dan hormat pada suami. Memang itulah
idealnya seorang wanita, ia bisa ber-partner dengan baik dalam lingkungan
keluarga maupun ketika berada di area publik. Wilayah domestik dan area
publik, menempatkan wanita harus pandai-pandai dalam menyesuaikan diri
(beradaptasi).
Bersandarkan data yang
dimiliki Sekretriat Jenderal DPR RI (2009), jumlah anggota DPR RI tahun
1999-2004 yang berjenis kelamin wanita hanya berjumlah 46 orang. Padahal,
total anggota DPR RI pada masa itu mencapai 500 orang. Artinya,
representasi kaum wanitanya hanya 9 persen saja.
Jumlah di atas kemudian
mengalami kenaikan pada masa pemerintahan tahun 2004-2009, di mana jumlah
anggota DPR RI yang berjenis kelamin wanita sebanyak 61 orang (dari total
anggota DPR RI adalah 550 orang). Memang ada peningkatan persentase
sebanyak 2,09 persen jika dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya.
Sedangkan jumlah senator
perempuan pada masa pemerintahan SBY-Boediono (2009-2014) sekarang ini
adalah sebanyak 98 orang atau setara 17,66 persen (total 560 orang).
Memang dari tahun ke tahun,
komposisi jumlah senator perempuan yang berkantor di Gedung Senayan Jakarta
bertambah besar. Akan tetapi, hal tersebut belum menunjukkan adanya
kesadaran kolegial untuk menghilangkan stereotip terhadap eksistensi wanita
yang dipandang lemah dan tak layak dengan dunia politik.
Di zaman penjajahan, apalagi
dalam kultur Jawa; posisi wanita memang selalu dinomorduakan. Dalam adat
pernikahan saja, mempelai wanita harus didudukkan pada posisi sebelah kiri
mempelai pria. Hanya putri raja saja yang boleh duduk di sebelah kanan,
ketika ia melangsungkan pernikahannya.
Mitra
Politisasi gender semacam
inilah yang kemudian secara menahun memperlemah kedudukan wanita. Padahal,
secara fitrah, jiwa dan raga antara lelaki dan wanita memiliki proporsi
yang sama. Hanya jenis kelaminnya saja yang membedakan. Artinya, tidaklah
adil, ketika dalam pengimplementasiannya posisi lelaki selalu nomor satu
atas eksistensi wanita. Lelaki tidak boleh menindas wanita. Keduanya harus
ber-partner dan bermitra. Masing-masing memiliki kedudukan yang sama,
egaliter dan sejajar.
Kepemimpinan wanita yang
dahulu berkali-kali dipermasalahkan, di masa sekarang ini sudah tidak relevan
lagi diperbincangkan. Kesadaran kaum wanita untuk menuntut persamaan hak di
negeri ini telah mendapatkan tempatnya seiring dengan lahirnya
organisasi-organisasi wanita.
Seperti Aisyiyah di lingkungan
Muhammadiyah, Dharma Wanita, PKK di area sosial kemasyarakatan dan bahkan
dalam organisasi politik pun, sejak era reformasi ini; kaum wanita sudah
mendapatkan proporsi hak yang sama untuk menjadi pejabat eksekutif,
yudikatif dan legislatif. Kesuksesan Megawati Soekarnoputri menjadi wakil
presiden, yang kemudian menggantikan Gus Dur manjadi presiden; adalah
puncak prestasi wanita modern di Indonesia.
Pemasungan hak-hak politik
wanita untuk tampil di wilayah publik, termasuk dalam dunia politik yang
penuh dengan pergulatan fisik, intelektual dan psikologis; hanya akan
melahirkan budaya patriarkisme yang otoriteristik dan menindas. Apalagi,
dalam sistem kenegaraan Indonesia yang mayoritas jumlah penduduknya lebih
banyak kaum wanita. Pemberdayaan kaum wanita dan mendorong para wanita
aktif dan masuk dalam dunia politik adalah langkah yang pantas dikembangkan
dalam khasanah pembangunan nasional.
Jadi, kaum wanita modern di
Indonesia akan memiliki multitalenta. Pertama, mereka akan lihai dalam
mengelola kehidupan rumah tangga; khususnya dalam mendidik anak-anak dan bermitra
dengan suami. Kedua, mereka akan memiliki aktivitas kerja di luar rumah
yang semakin memaksimalkan perannya dalam meningkatkan kesejahteraan dan
kemajuan bangsa.
Hal itu bukan berarti
mengeksploitasi dan menuntut wanita untuk bekerja selama 24 jam mengurusi
wilayah domestik berkenaan dengan kehidupan rumah tangga dan mengurusi soal
publik (dunia politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain). Tetapi, dengan
pembukaan kran keadilan dalam berpolitik tersebut, memberikan kesempatan
(kans) yang sama kepada kaum wanita dan pria untuk saling memahami hak dan
kewajiban mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar