Banjir bandang yang menggenangi Jakarta pada Januari yang baru lalu,
mengingatkan kita pada gagasan Bung Karno untuk memindahkan ibu kota
negara. Bung Karno berujar bahwa ibu kota yang paling tepat untuk NKRI
adalah Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Bukan Jakarta.
Di samping luasnya terlalu kecil untuk bangsa yang besar, Jakarta juga
rawan banjir. Sejak tumbuh menjadi metropolitan, 200-an tahun lalu sampai
sekarang, Jakarta secara periodik dilanda banjir.
Dalam dua
dekade terakhir, banjir di Jakarta makin parah. Setiap musim hujan Jakarta
nyaris tenggelam dan menelan korban jiwa serta kerugian ekonomi puluhan
triliun rupiah akibat hancurnya bangunan, infrastruktur, kemacetan lalu
lintas, ledakan wabah penyakit, dan terganggunya aktivitas ekonomi dan pemerintahan.
Selain karena
40% wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut,drainase yang buruk,
minimnya ruang terbuka hijau dan daerah resapan air, masyarakat tinggal di
bantaran sungai, membuang sampah sembarangan, dan masalah teknis-kultural
lain.
Banyak ahli
ekologi dan tata kota meyakini, bahwa akar masalah dari banjir Jakarta
sejatinya adalah karena jumlah penduduk beserta segenap aktivitas
kehidupannya telah melampaui daya dukung lingkungan wilayah Jakarta dan
tiga DAS (Daerah Aliran Sungai) yang mendukungnya, Ciliwung, Cisadane, dan
Citarum.
Dengan ratarata
pendapatan (GNP) per kapita USD15.000,jumlah penduduk maksimal yang bisa
ditopang oleh daya dukung lingkungan wilayah DKI Jakarta sekitar 10 juta
jiwa. Saat ini penduduk Jakarta mencapai 12 juta orang dengan rata-rata GNP
per kapita USD10.500. Dalam suatu wilayah DAS, luas hutan minimal agar
fungsi hidroorologisnya (mencegah banjir, kekeringan, dan erosi) optimal
adalah 30% dari total luas wilayah DAS tersebut.
Padahal, saat
ini luas hutan di ketiga DAS itu kurang dari 15%. Dari perspektif inilah,
gagasan Bung Karno menarik. Menurut Putra Sang Fajar itu, ibu kota yang
tepat untuk menyongsong Indonesia masa depan seharusnya tidak terletak di
Pulau Jawa, tetapi di Kalimantan.
Alasannya,
pertama karena Kalimantan merupakan pulau besar—daratannya empat kali luas
Pulau Jawa, sehingga memungkinkan menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan
ekonomi Indonesia yang besar.
Kedua,
Kalimantan bukan merupakan bagian dari cincin gunung api (ring of fire), sehingga
aman dari ancaman dan bahaya gempa, letusan gunung api, dan tsunami.
Pilihan Bung Karno terhadap Kalimantan bukan Papua, antara lain karena
faktor ring of fire tadi. Papua dan sekitarnya masih masuk dalam
deretanring of fire.
Ketiga,
Kalimantan penduduknya masih jarang,sedangkan wilayahnya luas, sehingga
bisa dikembangkan dengan berbagai strategi pembangunan. Keberadaan ibu kota
negara di Kalimantan diyakini akan menarik sebagian penduduk yang selama
ini terkonsentrasi di Pulau Jawa ke Kalimantan dan kawasan timur Indonesia
(KTI) lainnya.
Keempat, dengan
pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan, maka akan membangkitkan ekonomi
KTI yang mempunyai banyak pulau dan kaya SDA, namun hingga kini ekonominya
kurus. Jika itu terjadi, maka gagasan untuk membangun Indonesia sebagai
negara maritim yang besar, maju, adil-makmur, dan mandiri akan mudah
terwujud.
Negara Maritim
Indonesia
adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 13.487 pulau.Dari jumlah
tersebut, yang berpenduduk hanya 1.667 pulau (12,4%).Sisanya 11.820 pulau
masih kosong dan sebagian besar berada di KTI. Selama ini hampir semua
investasi swasta di pulau-pulau kecil berupa pertambangan,oil storage, dan
pariwisata oleh korporasi asing atau pemodal besar nasional, yang tidak
ramah lingkungan dan melibatkan peran serta penduduk setempat.
Akibatnya,
masyarakat lokal kebanyakan tidak menikmati keuntungan dari geliat ekonomi
tersebut, sehingga mereka tetap miskin. Rakyat setempat hanya menjadi
penonton dan korban kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan
investasi di pulau-pulau kecil.
Sementara itu,
kebijakan politik ekonomi berupa alokasi anggaran (APBN dan APBD), kredit
perbankan, infrastruktur, SDM, dan aset ekonomi produktif lainnya sangat
tidak pro daerah kepulauan, pesisir dan laut. Sehingga pergerakan ekonomi
hanya berputar-putar di Pulau Jawa, khususnya di Jabodetabek. Saat ini 70%
dari total uang Indonesia hanya beredar di P Jawa.
Kondisi ini
jelas sangat membahayakan masa depan Indonesia yang merupakan negara
maritim dan kepulauan. Sebab, dengan distribusi penduduk, pembangunan, dan
ekonomi yang sangat tidak seimbangitu,maka produktivitas dan daya saing
ekonomi Indonesia akan sangat sulit untuk berkembang.
Lebih dari itu,
dengan pola pembangunan yang sangat‘jomplang’ dan berorientasi daratan yang
telah berlangsung sejak masa kolonial hingga sekarang,secara perlahan tapi
pasti akan membuat ekologi P Jawa hancur.Sebagai akibat dari: (1) konversi
hutan dan ekosistem lain menjadi kawasan pemukiman, pertanian, industri, perkotaan,
dan infrastruktur; (2) overeksploitasi SDA; dan (3) pencemaran.
Bayangkan,
hampir semua DAS di P. Jawa, dari Ciliwung, Cimanuk, Bengawan Solo sampai
Brantas, telah dinyatakan kritis sejak awal 1990. Luas hutan Pulau Jawa
kini hanya tersisa sekitar 14%. Sebaliknya, kekayaan alam di luar Jawa,
pesisir, pulau-pulau kecil,dan lautan belum dimanfaatkan secara produktif
dan banyak dicuri oleh pihak asing.
Bila paradigma
dan caracara kita membangun bangsa, yang terlalu Pulau Jawa dan daratan
sentris seperti selama ini, tidak segera dikoreksi, maka kekhawatiran kita
untuk terperangkap dalam negara berpendapatan menengah (middle-income
trap),tidak bisa naik kelas menjadi negara maju dan makmur, adalah sebuah
keniscayaan.
Sebab,
produktivitas dan daya saing ekonomi nasional bakal tetap terpuruk lantaran
tingginya biaya logistik, rendahnya konektivitas maritim,dan sejumlah
praktik ekonomi ilegal. Yang lebih mencemaskan, ketertinggalan dan
kemiskinan yang dialami masyarakat di luar Pulau Jawa, pesisir, dan pulau-pulau
kecil terdepan juga dikhawatirkan dapat merongrong kedaulatan wilayah NKRI.
Lepasnya Pulau
Sipadan dan Ligitan ke Malaysia merupakan konsekuensi logis dari kesalahan
konsep pembangunan selama ini. Oleh sebab itu,pemindahan ibu kota negara
tidak hanya krusial bagi penanggulangan banjir Jakarta, tetapi juga sebagai
bagian integral dari reorientasi paradigma pembangunan nasional, dari
berbasis daratan ke maritim dan kepulauan.
Bila pada
saatnya,ibu kota negara pindah ke Kalimantan, niscaya Jakarta bisa tumbuh
sebagai megapolitan modern dan pusat kegiatan perekonomian yang lebih
produktif, berdaya saing, berkeadilan, dan ramah lingkungan. Rakyatnya
hidup lebih sejahtera, aman, dan damai dalam lingkungan yang lebih
bersih,sehat,dan asri.
Perlu dicatat,bahwa
hampir semua negara maju dan emerging economies, ibu kota negaranya hanya
berfungsi sebagai pusat pemerintahan, sedangkan pusat ekonomi (industri dan
bisnis) nya ditempatkan di kota-kota lain. Contohnya Australia, ibu kota
negaranya di Canberra, sementara pusat ekonominya berada di Sydney,
Melbourne,Adelaide, dan Perth.
Di AS, ibu kota
negara di Washington, DC, pusat ekonominya tersebar di semua negara bagian,
seperti New York City,Boston, Miami, Seattle, dan San Fransisco. Serupa
dengan AS, di China, ibu kota negara di Beijing, sedangkan pusat ekonomi
tersebar hampir di semua provinsi, seperti Shanghai,Guangzhou, Shenzhen,
Dalian, dan Chongqing.
Kiranya kita
bisa mengambil pelajaran,bahwa Inggris Raya berubah menjadi penguasa dunia
ketika ia berhasil menguasai lautan. Amerika juga berubah menjadi negara
adidaya setelah berhasil menjadi bangsa penguasa maritim.
Jika kini China
dan Jepang berebut pulau kecil (Diaoyu/ Senkaku) dengan kesiapan
mengorbankan segalanya, hal itu semata dalam rangka menguasai
lautan.Keempat bangsa itu menyadari betul akan relevansi pepatah Inggris:
who rules the waves,rules the world! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar