Susilo
Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, menggelar pidato
dan mengumumkan hasil pertemuan dengan beberapa petinggi partainya di
Cikeas, Bogor, Jumat (8/2). Pidato itu setidaknya memuat dua substansi.
Pertama,
meminta Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Anas Urbaningrum fokus menghadapi
dugaan keterlibatan dirinya atas kasus korupsi yang sedang ditangani KPK.
Kedua, SBY akan memimpin sendiri gerakan pembersihan partai dari korupsi.
Akhirnya,
Ketua Dewan Pembina PD bersuara setelah kisruh internal partai bergejolak.
Dua kubu di dalam PD yang sebelumnya saling serang, mungkin pasca-pidato
SBY, sudah menemukan sikap jelas. Siapa pun yang sedang bermasalah dengan
korupsi harus menyelesaikan dulu masalahnya agar kapal partai tak karam.
Setelah
pengumuman Yudhoyono, apakah kasus korupsi yang santer diberitakan menjerat
Anas akan cepat ditangani KPK? Ataukah KPK punya jalan sendiri dalam
menangani kasusnya?
Independensi
KPK
Sebagai
institusi negara yang memiliki fungsi utama pemberantasan korupsi, KPK
dibekali seperangkat kekuatan. Satu contoh, UU Nomor 30 Tahun 2002 yang
menjadi baju hukum KPK menentukan, lembaga antikorupsi ini tak berwenang
menerbitkan surat penghentian pemeriksaan dan penuntutan (SP3) kasus
korupsi yang ditangani (Pasal 40 UU KPK).
Perangkat
non-SP3 itu mengharuskan KPK serius dan benar-benar tidak boleh salah langkah
dalam menentukan tahap pemeriksaan kasus korupsi. Sederhananya, jika dalam
tahap penyelidikan KPK tak bisa atau tak mampu menemukan suatu peristiwa
yang mengarah ke tindak pidana korupsi, ia tidak akan meningkatkannya ke
penyidikan.
Sebab,
jika ternyata pada tahap penyidikan tidak ditemukan bukti keterlibatan
seseorang dalam kasus korupsi, padahal di sisi yang lain ia tak boleh
menerbitkan SP3, habislah riwayatnya. Cemooh bakal diterima. Lebih parah
lagi, kepercayaan publik terhadap KPK terancam kikis.
Di
sekeliling perangkat non-SP3 berdiri tegak tembok independensi. Tembok
independensi dijamin hukum sebagai dasar bagi KPK mengatur sendiri strategi
dan taktik pemberantasan korupsi. Pasal 3 UU 30 Tahun 2002 berkata, ”KPK
adalah lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.” KPK harus steril
dari penyakit intervensi kekuasaan.
Artinya,
pidato SBY seharusnya juga tak mampu menembus benteng independensi. KPK
bukan institusi yang didesain untuk menuruti syahwat penguasa. Bukan karena
pentolan PD bicara, terus KPK berubah jadi ”kerbau dicocok hidungnya”,
mengiyakan kemauan elite politik untuk utak-atik teka-teki kasus korupsi.
Jika kasus yang sedang ditangani belum cukup alat bukti, KPK tidak perlu
gegabah meningkatkan status pemeriksaan ke tingkat penyidikan. Sebab, ranah
KPK bukan di area politik, tetapi di wilayah hukum.
Menentukan
Sikap
Meskipun
demikian, tidak berarti KPK dapat santai di dalam benteng independensinya.
KPK harus menentukan sikap dalam pemberantasan korupsi. KPK perlu dan wajib
memiliki pilihan politik yang dapat dibaca secara terang-benderang agar
tidak memunculkan multitafsir.
Kasus
penahanan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq atas dugaan keterlibatan
korupsi impor daging sapi oleh sebagian politisi dibanding-bandingkan
dengan tidak ditahannya Andi Mallarangeng, tersangka kasus korupsi
Hambalang. Dua fakta ini tidak ayal menyeret KPK dalam pusaran politik para
elite. Lembaga pimpinan Abraham Samad itu dinilai menjadi pisau partai
biru. Ditambah lagi, penetapan tersangka Gubernur Riau Rusli Zainal atas
dugaan keterlibatan kasus korupsi PON Riau makin menguatkan pandangan
miring terhadap KPK. Badan antikorupsi ini seakan terbaca sebagai ”anjing
penjaga” penguasa.
Walau
tuduhan bahwa KPK yang ngeblok ke penguasa itu pupus dengan bukti
diprosesnya semua politisi korup dari berbagai partai, tetap saja tuduhan
itu menyudutkan posisi KPK. Pada bagian ini, penting bagi KPK untuk
mengambil pilihan politiknya sendiri. Suatu sikap politik yang keluar dari
fatsun oknum elite dan politisi busuk. Pilihan kebijakan untuk menahan
semua tersangka korupsi tanpa terkecuali, misalnya, akan mengamankan KPK
dari serbuan elite politik.
Pilihan
politik KPK adalah pilihan politik rakyat, yakni politik pemberantasan
korupsi, politik yang bertujuan membersihkan negeri ini dari korupsi.
Minimal ada tiga sikap politik yang harus diusung KPK. Pertama, menyatakan
diri bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun sebagaimana dimaktubkan dalam baju
hukumnya. Belakangan langkah ini sudah dinyatakan sebagaimana disampaikan
juru bicaranya. KPK sudah mulai masuk ke jalur yang benar, tidak
terjerembap dalam lika-liku kemauan elite.
Kedua,
KPK tidak perlu menggubris eskalasi politik yang hadir di arena luar. KPK
harus fokus pada ranah hukum. Dalam ketentuan acara pidana, bila didapat
dua alat bukti atas dugaan kasus korupsi, peningkatan status pemeriksaan
janganlah ditunda-tunda. Hal ini berlaku untuk semua dugaan kasus korupsi.
Hambatan langkah ini mungkin terletak pada sifat bekerjanya pimpinan KPK
dan mekanisme pengambilan keputusan yang kolektif. Kalau satu saja pimpinan
KPK tidak sepakat dengan status sebuah kasus, pemeriksaan tidak dapat
dilanjutkan.
Maka,
pilihan politik KPK yang ketiga adalah khusus ditujukan kepada orang per
orang pimpinan KPK. Para komisioner tak perlu merasa berutang budi kepada
politisi atau partai di Senayan yang dulu memilih mereka. Pun tidak perlu
sungkan dengan Istana. Bukankah dalam pola demokrasi perwakilan, sebenarnya
yang memilih para pimpinan KPK adalah rakyat melalui suara yang dititipkan
ke anggota dewan dan presiden dalam pemilihan umum?
Pilihan
politik KPK yang ketiga itu menegaskan, utang pimpinan KPK adalah kepada
rakyat, bukan kepada para politisi, partai, atau presiden. Andai ada
perasaan utang budi kepada selain rakyat, bahkan sebiji zarah perasaan itu,
niscaya akan mengganggu stabilitas politik KPK, membunuh politik
pemberantasan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar