Pengadilan
Dihina, Mana KY?
Achmad Fauzi ; Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalsel;
Penulis buku Pergulatan Hukum di Negeri Wani
Piro
|
|
JAWA
POS, 20 Februari 2013
KERJA menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim oleh Komisi Yudisial (KY) masih berjalan
parsial, reaktif, serta terpaku pada kasus-kasus yang menjadi atensi
publik. Ketika pada 29 Januari lalu Ramlan Zas, mantan bupati Rokan Hulu,
Riau, mengamuk dan mengancam membunuh jaksa dan hakim di ruang sidang PN
Pekanbaru, seusai divonis 4 tahun penjara atas dakwaan korupsi dana APBD,
KY hanya menyesalkan kejadian tersebut.
Padahal, ancaman itu sangat serius bagi kemerdekaan hakim
dan independensi peradilan. Sekadar memberikan perlindungan kepada
pihak-pihak yang diancam itu selemah-lemahnya iman. Harus ada langkah lain
yang menjerakan kepada pengancam dan calon pengancam.
Selain KY wajib proaktif, hakim perlu melaporkan kasus
penghinaan pengadilan oleh siapa pun kepada KY. Lembaga tinggi negara itu
berwenang mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan
dan keluhuran martabat hakim (pasal 20 ayat (1) huruf e UU Nomor 18/2011
tentang KY).
Kadang ada penghinaan berat yang dilakukan kuasa hukum
terdakwa, seperti menggebrak meja ketika sidang atau mencaci-maki hakim.
Selama ini majelis sebatas mengusirnya ke luar persidangan. Padahal, demi
tegaknya kewibawaan hukum, hakim bisa melapor ke organisasi advokat untuk
dikaji kembali izin beracaranya: dilarang praktik dalam kurun waktu
tertentu atau dicabut izin beracaranya.
Sikap KY tentu jauh berbeda ketika menghadapi gelombang
kekecewaan publik atas pernyataan hakim Muhammad Daming Sunusi yang
dianggap tak sensitif gender. KY dengan reaktif merekomendasikan Daming
diberhentikan karena dinilai melukai perasaan perempuan korban perkosaan.
Dua
peristiwa tersebut sama-sama dalam kerangka penegakan martabat hakim dan
lembaga peradilan, namun penyikapannya tidak seimbang. Padahal, merosotnya
wibawa hukum, salah satunya, terkait dengan pelecehan terhadap lembaga
peradilan. Sedih, kalau pembelaan terhadap martabat pengadilan menunggu
dulu frekuensi pemberitaan.
Ada kecenderungan pelampiasan ketidakpuasan pihak yang dikalahkan
dalam suatu perkara disalurkan secara melawan hukum. Protes terhadap sistem
peradilan dilakukan dengan cara-cara primitif atau bahkan membunuh karakter
hakim.
Silakan disimak laporan pengaduan terkait pelanggaran kode etik hakim
yang masuk ke KY sepanjang 2012.
Dari 1.500 aduan hanya lima yang direkomendasikan ke majelis kehormatan
hakim. Secara nyata sebagian besar persentase pengaduan masyarakat
mengandung kebohongan. Celakanya, ribuan pengaduan yang tak terbukti itu
kerap dijadikan parameter untuk menggambarkan integritas hakim secara
keseluruhan. Proses rehabilitasi citra baik hakim terlapor juga tidak
maksimal.
UU Penghinaan Pengadilan
Hingga kini langkah preventif KY dalam desain besar menjaga martabat dan
keluhuran hakim belum utuh. Justru MA bersama Dewan Pers yang beberapa
waktu lalu sepakat mendesak pemerintah supaya membuat UU yang mengatur
perilaku masyarakat di dalam dan di luar persidangan.
Kini kian mendesak adanya UU yang mengatur tindak pidana terhadap proses
peradilan (contempt of court) berikut sanksi yang menjerakan.
Penjelasan umum butir 4 UU Nomor 14/1985 tentang Mahkamah Agung
telah menyebutkan bahwa untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang
sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, perlu dibuat suatu undang-undang yang
mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan
yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan
badan peradilan. Pasal-pasal soal itu masih menyebar di beberapa bab dalam
KUHP.
Hakim, Beranilah Laporkan
Mengatur sanksi contempt
of court penting untuk
menjaga martabat peradilan dari tindak pidana terhadap proses peradilan. Kini
gejala perongrongan wibawa pengadilan itu menjadi-jadi. Jika diamati dengan
saksama, sepanjang 2012 ada lima kecenderungan delik contempt of court.
Pertama, penghinaan
maupun ancaman terhadap hakim serta pemukulan yang dilakukan terdakwa
terhadap saksi. Kedua, kecenderungan tidak menaati
perintah-perintah pengadilan. Jamaknya
eksekusi paksa dalam perkara perdata menunjukkan ketidakpatuhan terhadap perintah
pengadilan.
Ketiga, perbuatan yang ditujukan untuk memutarbalikkan kebenaran dan
mengacaukan fungsi yang seharusnya dijalankan dalam proses peradilan.
Misalnya, penyuapan terhadap saksi atau mengancam saksi agar bungkam
ataupun memalsukan keterangannya. Terhadap sumpah dan keterangan palsu kini
menjadi kegelisahan publik karena menyangkut proses penemuan kebenaran
formil dan materiil. Karena itu, hakim wajib tidak mempertimbangkan sumpah
dan keterangan palsu dan pihak yang dirugikan aktif melaporkan agar dapat
diproses secara pidana dan memberian efek jera.
Keempat, mencampuri peradilan yang bebas dan tidak memihak untuk
suatu kasus yang sedang atau akan diperiksa di pengadilan. Kelima, tuduhan negatif
kepada hakim atau pejabat pengadilan dan kritik-kritik terhadap putusan
pengadilan yang belum maupun yang telah berkekuatan hukum tetap.
Ketersediaan UU contempt
of court sejatinya
menjadi instrumen hukum yang bersifat memaksa masyarakat menghormati
lembaga dan proses peradilan. KY mestinya ikut mendorong adanya UU ini. Di
sisi lain, reformasi integritas, kualitas, dan profesionalisme aparatur
peradilan mutlak terus dilakukan hingga langit runtuh. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar