Tsunami
politik itu akhirnya datang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap
Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dengan
dugaan suap impor daging sapi.
Sulit memahami seorang presiden partai dakwah yang mengusung citra “bersih
dan peduli” terjerembab dalam kasus nista ini.Apalagi KPK masih mengendus
kemungkinan kasus sapi ini menjalar pada tokoh-tokoh PKS lainnya. Publik
bertanya-tanya bagaimanakah dinamika internal partai yang dianggap “kebal
konflik” ini pasca-kasus sapi? Apa dan bagaimana konsekuensinya terhadap
perolehan suara PKS pada pemilu yang akan datang? Tulisan berikut berupaya
berkontribusi menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Implikasi Internal
Meskipun terkenal sebagai partai kader yang solid, adalah utopis
menyimpulkan PKS sebagai partai tanpa konflik. Secara internal sistem “satu komando satu perjuangan” yang
dijustifikasi dengan model pemahaman Islam yang eksklusif berhasil membuat
kader PKS di grassroots percaya bahwa tidak ada ruang untuk konflik di
tubuh partai dakwah karena semua kader memiliki akidah dan fikrah yang
seragam.
Secara eksternal, permasalahan di tubuh PKS diredam sedemikian rupa untuk
menimbulkan kesan kepada publik bahwa tidak ada friksi dan perkubuan dalam
PKS. Publik boleh tidak setuju dengan manajemen konflik ala PKS ini. Paling
tidak sejak 2004 para wartawan dan peneliti mengendus fakta lain. Mereka
melihat PKS sebagai sebuah entitas politik biasa yang tidak luput dari
fakta konflik.
Ketegangan antara kubu ideologis dan pragmatis––sebagian lain mempergunakan
istilah kelompok keadilan vs kesejahteraan–– adalah fakta yang tidak bisa
ditutup-tutupi (Bubalo, Fealy, dan
Mason 2008; Permata 2008; Shihab dan Nugroho 2009; Tomsa 2012).
Implikasi utama pasca-kasus sapi adalah menguatnya ketegangan, kalau bukan
konflik terbuka antarkubu di tubuh PKS.
Dengan tertangkapnya LHI, kelompok keadilan yang masih bertahan di dalam
PKS mendapat darah segar. Kekhawatiran mereka terhadap pragmatisme politik
yang menjauhkan partai dari misi dakwah terbukti sudah. Artinya, Anis Matta
sebagai presiden baru mesti pandai-pandai mengakomodasi kritik dari kubu
keadilan, salah satunya dengan menempatkan personel-personel yang dianggap
mewakili kubu keadilan di posisi strategis di panggung politik, termasuk
dalam penentuan daftar calon sementara anggota legislatif (DCS) yang akan
segera disusun.
Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah keretakan, bahkan perpecahan yang
lebih akut. Untuk jangka pendek sikap akomodatif terhadap kelompok keadilan
akan mencegah arus kader yang akan mengikuti jejak para senior PK/PKS
(seperti Abu Ridho, Yusuf Supendi, Mashadi, Daud Rasyid) yang telah
terlebih dahulu keluar dari partai karena kecewa terhadap haluan partai
yang menurut mereka telah berubah arah.
Bila akomodasi terhadap kubu keadilan ini dilakukan, porsi terbesar kader
inti PKS, tampaknya, akan tetap solid dan istikamah berada di barisan
partai. Argumennya adalah bahwa proses indoktrinasi melalui sistem tarbiah
berjenjang akan menutup mata sebagian besar kader bahwa ada pergeseran
ideologis-praktis di tubuh elite partai mereka.
Ketaatan dan kepercayaan hampir tanpa tanya kepada pucuk pimpinan adalah
bagian esensial dari proses kaderisasi di tubuh PKS. Selain itu, penggunaan
teori konspirasi oleh sebagian elite PKS untuk menjelaskan kasus LHI,
misalkan tuduhan konspirasi Zionis di belakang KPK, bukan pernyataan tanpa
perhitungan.
Meskipun dapat dibaca sebagai kekonyolan politik oleh publik, bagi
grassroots PKS penggunaan teori konspirasi dapat mempertebal keyakinan
dasar mereka bahwa pimpinan dan partai masih berada pada jalur yang benar.
LHI hanya korban dari sebuah “permainan
tingkat tinggi”. Apalagi analisis konspiratif masih menjadi model
berpikir yang jamak ditemukan di jamaah PKS.
Tantangan yang lebih besar justru pada rekrutmen kader baru. Suka tidak
suka kasus LHI telah mendemoralisasi PKS secara serius. Mahasiswa di
kampus-kampus, sebagai ladang penyemaian kader, yang memiliki kecenderungan
untuk terlibat dalam “aktivisme
keislaman” akan lebih memilih gerakan Islam selain PKS yang lebih
jelas, tegas, bahkan keras warna keislamannya.
Situasi ini tentu mempersempit ruang gerak dakwah-politik PKS di
basis-basis kaderisasi. Bila arus besar kader inti PKS cenderung solid dan
istikamah pada partai, lalu bagaimana nasib PKS pada Pemilu 2014 yang akan
datang?
Akhir Politik Citra
Sulit mencari informasi yang pasti mengenai berapa jumlah anggota kader
inti PKS. Suharna Surapranata, salah seorang petinggi di PKS, mengklaim
jumlah kader PKS pada 2009 sebanyak 975.000 orang, sebuah angka sangat
optimistis dibandingkan jumlah yang pernah disebutkan pengurus PKS lainnya.
Menariknya, bila dibandingkan antara data jumlah kader PKS dengan perolehan
suara PKS pada tiga pemilu terakhir terlihat bahwa kader inti PKS hanya
menyumbangkan minoritas suara (maksimum 12%) dari total raihan suara
PKS.Pada Pemilu 1999,Partai Keadilan (PK) meraih 1.436.565 suara ketika
kader mereka berjumlah sekitar 100.000 orang atau 6,96% dari total suara.
Lima tahun kemudian suara PKS meroket menjadi 8.325.025 dengan 400.000
orang kader atau hanya 4,8% dari total suara.
Adapun pada Pemilu 2008 dengan 975.000 kader, PKS memperoleh 8.206.955
suara atau 11,88% dari total suara. (Diolah dari data KPU; Shihab dan
Nugroho 2009; Tomsa 2012). Data di atas menunjukkan bahwa faktor utama yang
menyebabkan naik pesatnya suara PKS pada Pemilu 2004 bukanlah karena jumlah
kader inti yang dimiliki PKS, tapi lebih karena kemampuan PKS menampilkan
citra diri sebagai partai “bersih dan peduli”.
Sekitar 90% pemilih PKS adalah simpatisan (bukan anggota dan kader) yang
tertarik dengan branding dan tagline partai “bersih dan peduli”. Kasus LHI telah menghancurkan bangunan
citra PKS sebagai partai yang “bersih
dan peduli”. Sangat ironis dan tidak bisa masuk akal bagi para
simpatisan PKS bagaimana mungkin seorang ustaz, presiden partai dakwah yang
menjanjikan bersih dari korupsi, menjadi ketua partai pertama di Indonesia
yang diciduk KPK?
Sulit membayangkan sekitar 90% pemilih PKS yang merupakan fans club akan tetap setia dengan
partai ini pasca-kasus sapi ini. Dengan logika berpikir di atas, hampir
dapat dipastikan perolehan suara PKS pada Pemilu 2014 akan menurun. Masih
sulit diprediksi seberapa besar turunnya. Namun, di bawah komando Annis
Matta, PKS masih memiliki peluang menahan laju kemerosotan suara PKS.
Pertama,nasib PKS mungkin bisa tertolong bila soliditas kader inti dapat
dijaga, terutama dengan memberi ruang kepada kubu keadilan untuk berperan
lebih banyak di partai, termasuk di fraksi dan komisi-komisi di DPR serta
calon anggota DPR untuk pemilu yang akan datang. Kedua, PKS mesti
berkejaran dengan waktu untuk memperbaiki citra partai di depan simpatisan
sebagai segmen terbesar penyumbang suara.
Waktu setahun tidak lama dalam politik. Sebagai partai kader, tidak
mustahil PKS mengeluarkan jurus sakti untuk keluar dari kemelut pasca-kasus
sapi ini. Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar