Gejolak politik yang terjadi di internal Partai
Demokrat (PD) kembali menyita perhatian khalayak setelah Ketua Dewan
Pembina dan sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) turun tangan mengambil alih kepemimpinan PD.
Adapun Anas
Urbaningrum, sang ketua umum PD, posisinya seperti “diambangkan”. Ia tetap
menjabat sebagai wakil ketua Majelis Tinggi, tetapi diminta untuk fokus
pada kasus dugaan korupsi yang menimpanya. Ini artinya secara politik Anas
“diasingkan” dan pengaruh politik Anas “dikebiri”. Cara SBY mengatasi
konflik internal tetap akan menjadi bahan publik untuk menilai
menarik-tidaknya PD.Ia bukan semata-mata urusan internal, melainkan berkat
media massa menjadi perhatian khalayak.
Kebijakan SBY
menegaskan kuatnya personalisasi politik ketimbang institusionalisasi
partai. Di PD hal itu dimungkinkan karena desain kepolitikannya sudah demikian
paradoks, terutama ketika entitas Dewan Pembina dan Majelis Tinggi
dimunculkan. Apa kemanfaatan nomenklatur-nomenklatur itu bagi kualitas
demokrasi internal partai? Bukankah ia dapat ditafsirkan sekadar memberi
peluang sentralitas pengaruh SBY di internal PD, termasuk membayang-bayangi
siapa pun ketua umumnya?
Karena itu,
pengambilalihan kepemimpinan PD oleh SBY tidak sepenuhnya mengherankan
walaupun segera tampak rancu. Kerancuan itu terutama terletak pada tidak
ada aturan baku yang tertuang dalam AD/ART PD bahwa ketua Majelis Tinggi
bisa mengambil alih kekuasaan partai. Majelis Tinggi berwenang mengambil
keputusan strategis terkait calon presiden dan wakil presiden, calon
pemimpin DPR dan MPR, calon partai-partai koalisi, dan calon anggota
legislatif (Pasal 13 AD/ART).
Terlepas dari
kritik bahwa SBY yang juga seorang presiden telah menyita waktu dan
konsentrasinya mengurus partai, eksperimen “solusi dan opsi” yang
dilakukannya jauh dari konteks penguatan kualitas demokrasi internal
partai. Sepertinya SBY dan didukung politisi senior PD lebih suka
menerapkan paradigma “political
bosism” yang mempertegas sentralitas personal dalam suatu sistem yang
tidak sepenuhnya demokratis.
Walaupun tetap
dengan mempertimbangkan aspek keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
SBY tampak kurang sabar dan memberi kesan buruk kepada Anas ketika ia
diminta fokus dalam menghadapi “dugaan korupsi”. Meskipun terjadi
kesimpangsiuran pemberitaan media massa,KPK menyangkal telah menetapkan
Anas sebagai tersangka. Karena itu, justru yang menonjol adalah kuatnya
kepentingan politik untuk menyudutkan Anas.
Gaya demikian
meninggalkan empati dan dapat ditafsirkan bahwa memang Anas secara
sistematis sudah diemohi SBY. Namun, betapapun Anas “mengambang”, ia belum
“titik” atau selesai karier politiknya. Ia masih punya legitimasi sebagai
ketua umum hasil kongres yang sah.
Kebijakan SBY
memang sangat berdampak penyempitan ruang manuver Anas. Justru ketika itu
terjadi, Anas harus bijak menyikapi keadaan. Resistensi yang frontal,
selain dinilai tidak cukup bijak, itu juga bisa menjadi bumerang bagi
dirinya. Bagaimanapun pesan-pesan bahwa Anas “terzalimi” sudah demikian
ditangkap publik. Resistensinya harus elegan.
Dari Hegemoni ke Dominasi
Penandatanganan
pakta integritas para ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) se-Indonesia atas
permintaan SBY di Cikeas merupakan manifestasi dominasi pengaruh politik
SBY. Ia telah mereduksi pengaruh politiknya dari hegemonik ke dominatif.
Peran hegemonik sesungguhnya lebih elegan karena selain menunjukkan
kelasnya sebagai politisi, juga terkait posisi politik lainnya sebagai
presiden.
Meskipun ia mengurus
partai di hari libur, ia tetaplah tidak meredakan kritik bahwa Presiden
tidak memberi contoh yang baik karena politiknya partisan dan tidak 100%
berpikir dan bekerja untuk rakyat. Dengan kata lain, ketika SBY mengambil
alih kepemimpinan PD, pola dominasi yang mengemuka itu justru menyisakan
masalah pada sisi etis rangkap jabatan dan berkonsekuensi “turun kelas”
ketokohan politiknya.
Personalisasi
politik SBY yang dipertegas dengan pola penyelesaian masalah dengan
pendekatan dominatif itu membuat beban politik SBY bertambah berat.Tidak
saja ia akan dihadapkan pada ihwal teknis internal kepartaian, tetapi juga
menumbuhkan citra PD sebagai “partai robotik” yang “berdisiplin militer” di
mana politisinya terbatasi kebebasan politiknya. Pemusatan pengaruh pada
sosok SBY saat ini tidak akan memunculkan efek yang sama dibandingkan
ketika PD hadir dan menggebrak dunia politik Indonesia.
SBY telah
berada di ujung kekuasaannya sebagai presiden. Konstitusi membatasi
periodisasi kepresidenannya. Meskipun telah menjabat presiden dua kali,
secara umum prestasi pemerintahannya tidak ada yang dipersepsi publik
sebagai “luar biasa”. Inilah yang membuat kesuksesan yang sama susah
diraih. Anjloknya elektabilitas PD memang disebabkan banyaknya kasus
korupsi politisi PD yang ditangani KPK.SBY,Anas, dan politisi PD banyak
yang merasa digantung nasibnya oleh KPK.
Dalam situasi
seperti itu, justru yang menonjol kepermukaan konflik antarfaksi, yang
bahkan mengerucut pada faksi Anas versus anti-Anas atau Cikeas.Ini tentu
merugikan PD mengingat partai apa pun membutuhkan soliditas dan stabilitas.
Solusi dan opsi yang diambil SBY yang dimaksudkan menata soliditas dan
stabilitas itu justru bisa berisiko sebaliknya.
Hikmah
Di
tengah-tengah risiko seperti itu,Anas bisa tampil elegan dalam proses
pengelolaan konflik internal partainya sehingga arah konflik tidak “zero sum game”. Bagaimanapun di
balik kepemimpinannya yang tenang, ia punya basis massa tersendiri.
Muaranya, upaya penyelamatan partai bisa dilakukan bersama-sama, tidak
saling menyalahkan dan tersulut kepanikan. Solusi “PD tanpa Anas” belum
tentu memecahkan permasalahan mendasar partai ini.
Kompetisi
politik demikian ketat saat ini. Pilihan politik publik beragam. PD telah
diberi kesempatan sedemikian rupa pada berbagai pemilu. Kalau salah kelola,
prospek partai ini justru tambah suram. Model SBY memecahkan persoalan
internal PD menyisakan pertaruhan bagi masa depannya. Masa depan PD perlu
diselamatkan, tetapi tetap dengan cara-cara yang elegan dan demokratis.
Tetapi, problem
mendasar PD sesungguhnya bagaimana ia mampu menumbuhkan budaya demokrasi
yang baik dan memantapkan diri sebagai partai modern yang
terinstitusionalisasi dan tidak bergantung satu kekuatan besar.Dalam hal
ini PD harus melakukan reformasi dan demokratisasi internal dengan
mendesain ulang konstitusi partainya. Demokrasi politik selalu tercipta
dari prinsip “checks and balances”.
Realitas
faksional merupakan hal yang tidak harus dipaksa homogen dan memusat karena
dua hal ini wajah lain dari otoritarianisme politik. Institusionalisasi
politik jauh lebih penting ketimbang orientasi kekuasaan. Sayang sekali,
manakala partai berkuasa rapuh institusinya. Wallahua’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar