Uji coba senjata nuklir Korea Utara yang ketiga pada 12 Februari lalu
telah mendapat reaksi internasional yang sangat keras. Dewan Keamanan PBB
melaksanakan pertemuannya segera setelah uji coba ledakan itu dilakukan.
Diperkirakan, DK PBB akan segera mengeluarkan resolusi keempat yang
bunyinya akan jauh lebih keras daripada resolusi sebelumnya. Namun, apakah
resolusi ini akan efektif memaksa Korea Utara menghentikan upayanya untuk
menjadi negara nuklir masih menjadi tanda tanya besar.
Kecaman dan Dialog
Walau secara geografis bukan bagian dari lingkaran utama konsentris
strategis Asia Tenggara, dinamika keamanan di jazirah Korea telah mendapat
perhatian besar Indonesia. Segera setelah uji coba senjata nuklir itu,
Kementerian Luar Negeri Indonesia mengeluarkan kecaman. Menteri Luar Negeri
Indonesia Marty Natalegawa menyarankan perlunya mengaktifkan kembali
Pertemuan Enam Pihak (PEP) —beranggotakan Korea Selatan, Korea Utara, AS,
Jepang, China, dan Rusia—sebagai mekanisme dialog untuk menghindarkan
kemungkinan uji coba nuklir itu mengarah pada instabilitas kawasan. Dialog
lain yang ditawarkan Indonesia adalah mendayagunakan mekanisme ASEAN
Regional Forum (ARF).
Tanggapan diplomatik berupa pernyataan kecaman dan saran akan mekanisme
dialog ini bukanlah sesuatu yang baru. Ia mengikuti pola diplomasi
tradisional yang telah diperlihatkan Indonesia dan ASEAN terhadap situasi
di Korea pada masa lalu. Berulang kali Indonesia dan ASEAN menyatakan
keprihatinannya terhadap krisis nuklir Korea Utara. Namun, seluruh
pernyataan itu tetap tak mengu- bah niat kebijakan Korea Utara
mengembangkan dirinya sebagai negara yang memiliki kemampu- an senjata
nuklir. Karena itu, hampir bisa dipastikan pula tanggapan diplomatik
Indonesia yang baru saja dikeluarkan memiliki keterbatasan untuk menjadi
instrumen efektif yang memengaruhi kebijakan nuklir Korea Utara.
Namun, mengecam respons diplomatik Indonesia dan ASEAN sebagai suatu
instrumen diplomatik yang sama sekali tak efektif atau sia-sia adalah berlebihan.
Ada beberapa alasan untuk menyatakan bahwa penekanan pada mekanisme dialog
melalui PEP atau ARF merupakan pilihan strategis paling rasional bagi
Indonesia.
Pertama, mekanisme dialog merupakan bagian dari prinsip normatif yang
tengah dikembangkan Indonesia bersama dengan ASEAN, terutama melalui Treaty
of Amity and Cooperation (TAC). Salah satu pesan normatif yang disampaikan
TAC adalah tidak menggunakan instrumen kekerasan ataupun ancaman penggunaan
kekerasan dalam penyelesaian konflik antarnegara.
Karena itu, sikap Indonesia dan ASEAN dapat dipahami. Tanggapan
Indonesia dan ASEAN merupakan bagian dari upaya pembangunan norma dari TAC
ini untuk tidak hanya berlaku bagi kawasan Asia Tenggara, tetapi juga untuk
diperluas hingga ke luar kawasan Timur Jauh.
Kedua, isu nuklir Korea Utara merupakan isu high politics yang
melibatkan aktor negara besar. Keanggotaan AS, China, Jepang, dan Rusia
dalam mekanisme PEP itu sendiri telah menggambarkan esensi dari high
politics tersebut. Karena itu, usulan untuk mengaktifkan PEP merefleksikan
adanya kesadaran tentang kapasitas daya tawar Indonesia dan ASEAN yang
terbatas.
Sikap seperti itu bisa juga dimaknai sebagai suatu pilihan yang
realistis mengingat PEP, dibentuk sejak 2003 dan telah melaksanakan
rangkaian pertemuan, hingga kini belum berhasil mengubah kebijakan nuklir
Korea Utara. Itu juga yang menyebabkan gagasan melibatkan ASEAN dalam PEP
dan mengubahnya menjadi ”Pertemuan Tujuh Pihak” tidak pernah dipandang oleh
ASEAN sebagai gagasan kebijakan alternatif yang serius.
Ketiga, Indonesia memiliki hubungan yang sangat baik dengan Korea
Utara, pun dengan Korea Selatan. Baik melalui perdagangan, investasi, dan
kerja sama teknologi, Korea Selatan telah menjadi salah satu mitra ekonomi
utama Indonesia.
Di sisi lain, walau secara ekonomi bukan merupakan mitra penting bagi
Indonesia, hubungan baik Jakarta dan Pyongyang adalah salah satu tonggak
dalam perjalanan sejarah politik luar negeri Indonesia hingga sekarang.
Walau dalam skala kecil, patut kiranya dicatat bahwa Indonesia
mendapatkan pasokan senjata dari Korea Utara pada awal 2000-an ketika
negara maju masih melakukan embargo persenjataan terhadap Indonesia. Karena
itu, pilihan menekankan pada mekanisme dialog adalah logis, yaitu dalam
upaya untuk menjaga hubungan bilateral yang baik antara Jakarta dengan
Seoul dan Jakarta dengan Pyongyang.
Keempat, menjaga hubungan baik dengan kedua negara ini juga
merefleksikan ketidakinginan Indonesia mencampuradukkan isu nuklir Korea
Utara dengan isu lainnya, terutama HAM dan bantuan kemanusiaan. Bagi
Indonesia, dua isu ini harus diperlakukan secara berbeda. Dalam isu HAM,
misalnya, terdapat keengganan Indonesia mengecam pernyataan Dewan HAM PBB
tentang pelanggaran HAM di Korea Utara.
Perlu pula dicatat bahwa Indonesia terus-menerus menunjukkan
komitmennya mengirimkan bantuan pangan untuk alasan kemanusiaan ke Korea
Utara. Sementara itu, untuk isu nuklir, Indonesia memang mengecam Korea
Utara karena Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat
mempromosikan Asia Tenggara sebagai kawasan bebas nuklir (SEANWFZ).
Indonesia tampaknya berpandangan bahwa proliferasi horizontal senjata
nuklir akan terjadi di kawasan Timur jauh dan Asia Tenggara sebagai akibat
dari kebijakan pengembangan senjata nuklir yang dilakukan Korea Utara.
Belum Maksimal
Walau rasional, tanggapan diplomatik Indonesia tidak bisa lalu
dikatakan telah maksimal. Persoalannya: pendekatan seperti ini, yang
terlalu menekankan pada mekanisme dialog, dapat mendorong Indonesia dan
ASEAN tidak memiliki cetak biru untuk kebijakan strategis seandainya krisis
nuklir Korea Utara itu tidak dapat dikendalikan.
Tidak tampak beragam skenario seperti rencana A, rencana B, atau
rencana C yang kemungkinan muncul jika krisis nuklir Korea berubah menjadi
tidak terkendalikan. Karena itu, selain mengambil inisiatif
diplomatik—yaitu dengan cara memperbesar gaung pernyataan keprihatinan,
kecaman, pun mengusulkan mekanisme dialog ke tataran regional dan
internasional—Indonesia tampaknya perlu meluncurkan suatu kebijakan
diplomatik khusus dalam situasi krisis.
Inti kebijakan diplomatik dalam situasi krisis ini teletak pada
pembangunan beragam skenario seandainya krisis nuklir Korea tidak lagi
dapat dikendalikan. Alasannya sangat sederhana. Implikasi dari krisis yang
tidak terkendalikan di jazirah Korea akan sangat memengaruhi ekonomi
Indonesia.
Tidak hanya karena perairan di wilayah Korea itu menjadi bagian
integral dari sea lanes of
communications yang penting ke Asia Tenggara, tetapi juga karena
Jepang, Korea Selatan, dan China kini merupakan mitra utama ekonomi
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar