Seorang konsumen yang membeli sebuah pakaian seringkali
memperhatikan nama mereknya. Penampilan luar sebuah pakaian mencerminkan
kualitas dan performa mereknya.
Semakin bagus mereknya, semakin bagus pula kualitas pakaian itu sendiri. Jika
ada merek bagus dan ternama ditempel di dalam pakaian kurang bagus, bisa
jadi dalam hal ini mereknya palsu. Suatu merek jenis pakaian ternama akan
dicerminkan dengan tingginya kualitas desain dan kualitas bahan pakaian
luar itu.Antara nama merek yang sudah branded
di pasar dengan kualitas desain dan bahan pakaian itu harus selaras.
Jika tidak, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Untuk kasus-kasus tertentu,
ada juga konsumen membeli sesuatu bukan karena ingin memakai atau
mengonsumsi “isi” produk tersebut. Bisa jadi mereka membeli suatu produk
ternyata semata-mata mereka membeli produk tersebut hanya karena tertarik
dengan desain luar dan karena alasan mereknya. Pembicaraan antara merek,
desain produk, kualitas bahan sebuah produk, dan hubungannya dengan
konsumen kalau kita analogikan produknya adalah institusi partai politik
tidak akan jauh berbeda.
Antara merek, desain, kualitas, dan hubungan yang terbangun atas jasa
pelayanan partai politik terhadap konsumen tentu harus selaras dengan apa
yang menjadi dasar ideologi, visi, misi, dan program-program yang selama
ini dikampanyekan. Sebuah tagline iklan pencitraan partai politik adalah
nafas penting yang mereprsentasikan apa yang menjadi keinginan, harapan,
dan cita-cita sebuah partai politik. Yang kemudian sering menjadi masalah
adalah hubungan dan kualitas hubungan antara konsumen dan institusi partai
politik acapkali bermasalah.
Hubungan komunikasi acapkali bersifat searah dan cenderung semata-mata
berfokus pada pencitraan media lewat iklan bombastis. Fungsi iklan acapkali
tidak merupakan bagian dari agenda pencerdasan dan pendidikan politik
konsumen atau konstituen yang bersifat menjalin komunikasi dua arah.
Hubungan komunikasi dan hubungan timbal balik yang seyogianya dibangun
terus menerus baik yang terbangun secara formal maupun informal sering
muncul hanya saat menjelang momen pemilu yang akan dilaksanakan.
Hubungan antara yang mewakili dan diwakili hadir fluktuatif seiring dengan
perubahan citra, komitmen, dan perubahan harapan yang terjadi pada
lingkungan masyarakat. Termasuk perubahan komunikasi itu dipengaruhi ketika
terjadi perubahan peta politik baik yang bersifat nasional maupun yang
terjadi di daerah. Hubungan komunikasi yang baik antara yang mewakili dan
siapa yang diwakili adalah diibaratkan hubungan dan eksistensi produk sebuah
barang yang selalu hadir dan selalu disuplai terus-menerus oleh produsen.
Produsen sebuah produk adalah ibarat institusi partai politik dan jajaran
seluruh kader-kadernya baik yang menjadi pengurus maupun yang menjadi
pejabat di lembaga pemerintahan (eksekutif) dan di lembaga perwakilan
parlemen yang selalu terusmenerus memproduksi berbagai ide dan program yang
bersifat prorakyat yang senantiasa menjadi kebutuhan masyarakat. Hanya, masalahnya,
bagaimana memetakan peta aspirasi tersebut.
Dalam konsep perwakilan, menurut Sansen Situmorang (2008), terdapat dua
tipe yang dapat menjelaskan antara keterkaitan hubungan antara yang
diwakili dan yang mewakili adalah sebagai berikut: Pertama, perwakilan tipe
delegasi (mandat) memiliki konsep wakil rakyat terikat dengan keinginan
rakyat yang di wakili. Bila wakil rakyat tidak sepaham dengan keinginan
para pemilih,ia hanya memiliki dua pilihan yakni mengikuti keinginan para
pemilih atau mengundurkan diri.
Sedangkan tipe yang kedua adalah tipe trustee
(independen) berpendirian, wakil rakyat dipilih berdasarkan pertimbangan
yang bersangkutan dan memiliki kemampuan mempertimbangkan secara baik (good judgement). Untuk itu, untuk
dapat melakukannya, wakil rakyat memerlukan kebebasan dalam berpikir dan
bertindak. Tipe perwakilan ini memiliki pemikiran bahwa para wakil rakyat
memiliki tugas untuk memperjuangkan kepentingan nasional.
Dalam konteks mengakomodasi kepentingan konstituen, saat ini posisi dan
bargaining position konstituen semakin kuat.Lebih-lebih sistem pemilu
proporsional terbuka membuat peta persaingan antarpartai politik dan
antarcalon legislatif semakin kompetitif.
Dengan sistem ini, seorang calon legislatif dituntut mampu mendapatkan
dukungan suara terbanyak. Untuk mendapatkan dukungan suara terbanyak,
seorang calon legislatif dipastikan harus sering datang berkunjung dan
bersilaturahmi baik untuk memperkenalkan diri sebagai calon legislative maupun
memperkenalkan partai politik yang mengusungnya. Hubungan antara siapa yang
diwakili dan siapa yang mewakili pada akhirnya akan ditentukan oleh
konstituen dan calon legislatif.
Ketidakjelasan siapa yang mewakili dan siapa yang diwakili adalah potret
gelap hubungan buruk di antara dua pihak tersebut. Apalagi jika modus untuk
memenangkan pertarungan dan merebut suara dilakukan dengan cara-cara yang
tidak fairness dan merugikan
konstituen itu sendiri.
Modus tersebut misalnya dengan melakukan money politic seperti melakukan “serangan fajar” yang dilakukan
oleh tim suksesnya tanpa melakukan sosialisasi dan atau tanpa
memperkenalkan calon legislatifnya. Pola hubungan komunikasi hanya dipahami
dalam bentuk “serangan fajar” saat injury
time dan setelah itu seorang calon legislatif tersebut saat menjadi
anggota Dewan tidak pernah datang lagi.
Jika pola komunikasi yang terjadi demikian, tidak salah pula jika ada
pandangan bahwa anggota legislatif yang terpilih merasa tidak perlu
memperjuangkan aspirasi konstituen di daerah pemilihannya manakala dia
telah “membeli putus” harga per satu suara dengan money politic. Seyogianya hubungan yang mewakili dengan yang
diwakili adalah hubungan kerja sama politik selama satu periode menjabat
sebagai wakil rakyat dan selama partai politik yang menjadi kendaraannya
dipercayai dan mendapat dukungan.
Hubungan kerja sama politik yang baik dan komunikasi yang lancar antara dua
pihak tersebut akan semakin memperjelas peta dukungan dan siapa pendukung
loyal terhadap figur calon legislatif dan terhadap partai politik. Langkah
itu akan semakin memperjelas siapa pendukung, partai politik semakin jelas
siapa dan bagaimana “jenis kelamin” dan basis konstituen yang mendukung
partainya.
Semakin tahu siapa dan di mana basis pemilihnya,seorang wakil rakyat akan
fokus dan bekerja keras untuk memperjuangkan aspirasi basis pemilihnya. Di
samping itu, proses ideologisasi partai politik, pendidikan politik, dan
pencerdasan wawasan konstituen akan semakin fokus dan terarah. Karena itu, kembali
ke tema awal bahwa sebuah produk dengan merek dan kualitas bahannya yang
terjaga baik, menurut hukum alam, akan mendapatkan tempat di hati
konsumennya.
Hal ini pun berlaku pula terhadap eksistensi partai politik yakni merek
atau nama brandpartai politik akan mendapatkan perlakukan dan dukungan yang
kuat manakala merek atau nama partai tersebut terbukti senafas dengan
kenyataan dan harapan masyarakat. Untuk itu, tidak ada jalan lain,kecuali
bagaimana caranya partai politik bisa bulat dan kompak memperkuat barisan
dan melakukan komunikasi yang lancer didalam melakukan pendekatan dan
penyerapan aspirasi masyarakat.
Memperkuat barisan, menyamakan tujuan, dan menyelamatkan brand partai politik di masyarakat
jauh lebih penting ketimbang memperbanyak perbedaan. Jauh lebih penting
kita bersatu padu menggalang kekuatan, meningkatkan brand partai politik, dan
membuat berbagai terobosan program agar rakyat menaruh kepercayaan terhadap
partai politik. Dengan demikian, merek dan brand partai politik akan
semakin tertanam kuat di benak konsumen saat setiap agen-agennya atau
kader-kadernya mempraktikkan apa yang seharusnya dilakukan dalam memperkuat
brand partai politik.
Antara merek, brand, dan tagline iklan partai politik yang cerdas, santun, dan
demokratis harus selaras diucapkan dan dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari. Tanpa menyelaraskan semua itu, konsumen atau konstituen yang
cerdas dan terdidik bisa jadi akan semakin banyak yang meninggalkan kita.
Semoga tidak terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar