MASYARAKAT pers Indonesia kembali merayakan Hari
Pers Nasional. Sebagaimana biasa, puncak acaranya, tahun ini di Manado,
akan dihadiri Presiden SBY dan para tokoh pers nasional. Dalam kesempatan
itu, akan diberikan pula kartu anggota pers (PWI) nomor 1 kepada sejumlah
wartawan atau mantan wartawan, termasuk saya kabarnya.
Secara umum, kondisi pers nasional,
khususnya dalam hal ini media cetak, belum menunjukkan tanda-tanda yang
menggembirakan. Malah, kalau melihat perkembangan secara global, kondisinya
memprihatinkan. Beberapa media terkemuka sudah tutup atau menghentikan
edisi cetaknya. Terakhir, majalah terkemuka Newsweek menghentikan edisi cetaknya.
Sebelumnya, majalah US
News and World Report lebih
dulu bangkrut.
Di Eropa, sejumlah media, kalau tidak
bangkrut, mungkin juga terpaksa mengurangi karyawannya. Mingguan Le Figaro dan Le Monde Diplomatique yang terbit di Prancis goyah.
Koran Frankfurter
Runsdschau di Jerman juga
bangkrut. Dalam sejumlah kunjungan ke kantor beberapa koran di Swiss
seperti Basel Zeitung, Nieu Zuricher Zeitung, Berner Zeitung, saya
selalu mendapat keluhan bahwa oplah mereka merosot drastis dari tahun ke
tahun.
Saya lantas mendapatkan pertanyaan umum:
Bagaimana nasib media cetak di Indonesia? Harus diakui, nasib media di
Indonesia masih sedikit lebih baik daripada umumnya media di Eropa atau AS.
Salah satu faktor kuncinya ialah penetrasi media online, meski cukup tinggi,
masih terkonsentrasi di kota-kota besar. Dengan kata lain, pembaca di kota
kecil atau di kampung-kampung masih setia menunggu kehadiran korannya pada
pagi hari.
Keunggulan lainnya, media di Indonesia
dengan segmentasi yang sampai menjangkau berita lokal, misalnya Jawa Pos Group dengan koran Radar-nya, masih sanggup
melawan media online yang tak sedetail koran versi
lokal. Keuntungan lainnya, media cetak di Indonesia secara relatif masih
dianggap independen dari kekuatan politik dibandingkan media online yang umumnya dimiliki oleh tokoh
yang memiliki ambisi atau terkait partai politk.
Kendati demikian, tidak bisa dimungkiri,
media cetak di Indonesia dapat dikatakan jalan di tempat atau menurun.
Jumlah oplah dari tahun ke tahun hanya berkisar sekitar sepuluh juta secara
nasional. Jumlah itu hampir sama dengan oplah harian masing-masing koran Asahi Shimbun dan Yomiuri Shimbun di Jepang.
Kenaikan jumlah penduduk dan pertumbuhan
ekonomi nasional ternyata tidak membawa berkah kepada media cetak. Bahkan,
beberapa media terpaksa ditutup. Di kalangan umat Islam, hilang dari
peredaran majalah Panji
Masyarakat, majalah Ummat, majalah Wahyu, sebagai misal. Oplah
majalah Sabili pun kabarnya sangat merosot dari
puncaknya lima tahun lalu yang lebih dari seratus ribu eksemplar.
Sebagaimana di Eropa dan AS, media cetak
Indonesia akan terus menurun, baik pelanggan maupun pendapatan iklan yang
signifikan. Dengan berkembangnya internet, Facebook, mobile communication,
dan media social lain, media cetak harus mencari format baru.
Memang, yang pasti media cetak tidak akan
kiamat seperti ketika lahirnya TV dan radio tidak mematikannya. Hanya,
format akan harus berubah. Hadirnya TV mengakibatkan tutupnya koran sore
hampir di seluruh dunia. Sebab, orang sudah berada di rumah ketika
menyaksikan tayangan berita petang (evening news). Di sisi lain,
radio menjadi survive dengan maraknya budaya komuter
dengan mobil yang terjebak kemacetan di jalan.
Bagaimana media cetak? Saat ini sisipan
berita lokal masih membantu memperkuat posisi koran untuk melawan media online. Tetapi, media online juga akan makin tersegmentasi.
Misalnya, Detikcom sudah memiliki Detik Surabaya, Detik Bandung, Detik Semarang, dan
sebagainya. Kemudian, ada Lensa
Indonesia.com yang fokus
ke berita Jatim dan Jatim Raya serta inilah.com yang lebih fokus ke entertainment. Karena itu,
tantangan wartawan media cetak akan semakin berat.
Jadi, mengandalkan berita lokal saja tidak
cukup, harus didukung berita laporan khusus yang ditulis secara
komprehensif. Akan lebih kuat lagi jika koran tersebut memiliki penulis
mumpuni dan andalan serta membuat kecanduan. Misalnya, Dahlan Iskan untuk Jawa Pos.
Saya pernah mengadakan survei kecil-kecilan
kepada beberapa orang warga saya di Swiss. Pertanyaan saya sederhana, yakni
koran dan media cetak apa yang masih dibaca dan mengapa? Mayoritas
menjawab, majalah TEMPO, Koran Kompas, dan Jawa Pos. Ketika ditanya
alasannya, jawabannya adalah berita Kompas komprehensif, berimbang, dan
lengkap. Untuk Jawa Pos, jawabannya nomor satu karena ada
kolom Dahlan Iskan tiap Senin. Kepada saya, banyak yang mengaku setiap
Minggu malam memundurkan tidurnya agar bisa cepat-cepat menikmati kolom
Dahlan Iskan yang juga disiarkan di JPNN.
Dengan demikian, kekuatan tulisan Dahlan
Iskan masih sanggup menjaga loyalitas pembaca Jawa Pos. Seharusnya, Jawa Pos memberikan kesempatan atau meminta
kepada para penulis andalannya untuk menulis secara teratur seperti Dahlan
Iskan. Ini pula yang dilakukan New
York Times dan Washington Post serta koran-koran di Eropa
lainnya. Pembaca New York
Times pasti hafal dengan
nama-nama kolumnis seperti Thomas Friedman, Paul Krugmann, dan Roger Cohen.
Di Washington Post,
pembaca pasti akan menunggu tulisan Howard Kurtz, Bob Woodward, atau David
Broder.
Tentunya, selain tulisan Dahlan Iskan, masih
banyak wartawan senior lain yang cukup mumpuni. Misalnya, Nany Wijaya,
Zainal Muttaqin yang spesialis olahraga, Hermawan Kartajaya yang ahli
majemen, Azrul Ananda yang ahli F1, dan seterusnya. Kekuatan tulisan para
kolumnis telah membentuk konstituen yang loyal kepada koran bersangkutan.
Bagi saya yang menyukai ulasan ekonomi yang
tajam dan kritis di dunia internasional atau AS, saya harus membaca artikel
Paul Krugmann. Jika ingin mengikuti analisis domestik AS, saya membaca
ulasan Woodward. Untuk Jawa
Pos, saya selalu membaca tulisan Dahlan Iskan. Sayang, hanya dia
satu-satunya kolumnis pilihan saya dan sebagian warga Indonesia, setidaknya
sebagian besar warga Indonesia di Swiss yang sering bertemu dengan saya.
Mungkin, dengan semangat baru setelah Hari
Pers Nasional tahun ini, akan ada perubahan yang lebih baik
di media cetak kita, termasuk Jawa
Pos Group. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar