PRECIPITATING factor itu bernama SMRC (Saiful
Mujani Research and Consulting). Hasil riset SMRC menjadi faktor pemicu
karena sangat dipercaya para petinggi Partai Demokrat (PD). PD dalam setiap
pemilu dan pilkada selalu menggunakan data dasar riset, terutama Saiful
Mujani dan, dulu, Fox (milik Choel Mallarangeng).
PD juga menggunakan slogan dasar ''Bersih, Cerdas, dan
Santun (BCS)''. Salah satu makna partai cerdas dari PD adalah selalu
mengedepankan rasionalitas dan kejernihan dalam membuat keputusan politik
seperti dengan hasil riset yang kredibel serta akurat. Karena itu, para
petinggi PD langsung belingsatan ketika Saiful Mujani mengumumkan tingkat
elektabilitas PD sebesar 8,3 persen (jika hari ini dilangsungkan pemilu).
Ada beberapa hal yang menarik dari riset itu. Pertama,
mulai terjadi split affiliation atau pemisahan afiliasi antara
dukungan terhadap PD dan SBY dari masyarakat. Penilaian masyarakat terhadap
kinerja SBY per Desember 2012 cukup bagus. Yaitu, 55,8 persen menyatakan
sangat puas dan 39,9 persen kurang puas. Di sisi lain, elektabilitas
masyarakat terhadap PD justru merosot menjadi 8,3 persen.
Riset Saiful Mujani sebelumnya selalu memunculkan gejala
yang selaras antara dukungan terhadap kinerja SBY dan PD. Jika dukungan
terhadap SBY turun, dukungan terhadap PD juga turun. Sebaliknya, jika
dukungan terhadap kinerja pemerintahan SBY naik, dukungan terhadap PD pun
naik.
Kedua, angka 8,3 persen merupakan angka paling rendah dan
drastis bagi parpol pemenang Pemilu 2009, apalagi parpol yang dibentuk SBY.
Lebih dari itu, besar dan merosotnya parpol tersebut berkaitan dengan
karisma SBY. Angka 8,3 persen lebih tinggi sedikit jika dibanding hasil
pemilu legislatif 2004. Yaitu, PD mendapat 7,5 persen. Perbedaan mencolok
dari angka 8,3 persen dan 7,5 persen adalah PD dalam setiap riset dua tahun
terakhir cenderung turun.
Tren menurunnya PD sangat kuat dari waktu ke waktu. Jika
tidak melakukan langkah yang brilian, sangat mungkin suara PD dalam pemilu
legislatif 2014 akan berada di bawah sekali. Gejala tren menurun itu jauh
lebih susah dihentikan daripada gejala stagnan. Sementara itu, hasil Pemilu
2004 dengan angka 7,5 persen menunjukkan tren naik. Apalagi, pada 2004, SBY
terpilih menjadi presiden periode 2004-2009. Dampak tren positif dan naik
itu tampak dari hasil pemilu legislatif 2009. Yaitu, PD memperoleh 20,85
persen suara.
Ketiga, sebagian besar memilih PD karena gejala swing voters dan karisma SBY. Para swing voters umumnya adalah pemilih yang
rasional. Mereka memilih karena program partai, isu publik yang diangkat,
kapabilitas kandidat yang diajukan, serta arah tren psikologi politik saat
mereka memilih. Mereka memilih bukan karena ideologi politik. Umumnya
mereka tidak terikat oleh ideologi politik. Jika suatu partai politik
menawarkan program bagus dan setelah menduduki kekuasaan tetap konsisten,
akuntabel, serta reliable, parpol itu akan tetap didukung seterusnya. Tapi,
jika mereka tidak konsisten, swing voters tersebut akan meninggalkannya.
Karena itu, moral dari hasil riset SMRC adalah yang
tertinggal hanya faktor SBY. Konsistensi PD selama dua tahun terakhir
dinilai para swing voters mulai berubah. Minimal hasil
gempuran media massa cetak dan elektronik terhadap PD akhirnya memengaruhi
elektabilitas PD. Celakanya, PD tidak kurang pandai memanfaatkan berbagai
media massa dan media lainnya untuk menjawab gempuran tersebut.
Performance PD yang kurang meyakinkan itu diperparah munculnya kasus korupsi M.
Nazaruddin. Kasus Nazaruddin ini menjadi isu seksi. Berbulan-bulan citra PD
menjadi bulan-bulanan media massa cetak, elektronik, internet, jejaring
sosial, rumor, gosip, dan hantaman politik dari parpol oposisi. Anehnya, DPP PD tampak tiarap, pasif, dan melakukan reaksi sporadis yang tidak brilian.
Malahan, ketua umum dan pimpinan DPP PD terkesan pasif dijadikan
bulan-bulanan media massa dan oposisi politiknya. Bahkan, anggota koalisi
parpol pendukung kabinet pun menghantam PD.
Di sisi lain, menghadapi kasus Nazaruddin, faksi-faksi
dalam PD tiba-tiba berubah menjadi gladiator dan Ketua Umum DPP PD Anas
Urbaningrum berada di pusat pusaran. Bahkan, ada indikasi kuat mereka
berkonspirasi dengan kekuatan di luar PD untuk menghabisi faksi lain
tersebut. Di media massa, mereka bermain akrobat: saling mengolok, saling
menyudutkan, saling melaporkan, saling tikam, dan saling ''membunuh''.
Politik santun, cerdas, dan bersih yang diimpikan SBY
telah pudar sebagaimana digambarkan media. Mereka santun kalau menghadapi
politisi di luar PD, tapi beringas ketika menghadapi faksi lain dalam PD.
Tak ada lagi barisan, tapi gerombolan.
Tampak sekali komunikasi, koordinasi, dan kontrol di
internal PD tumpul. Mereka kedodoran menghadapi kasus Nazaruddin. Mereka
kedodoran menghadapi perilaku parpol lain di koalisi yang selalu menghantam
PD. Mereka kedodoran menghadapi media massa yang bebas dan kritis. Mereka
kedodoran mengontrol dirinya sendiri yang tiba-tiba berubah menjadi para
gladiator.
Kira-kira, itulah makna SBY selaku ketua Dewan Pembina
dan ketua Majelis Tinggi PD mengambil alih kekuasaan Ketua Umum DPP PD Anas
Urbaningrum. Bagi PD, hanya faktor SBY yang tersisa. Begitu pesan riset
SMRC. Karena itu, kalau ketua umum DPP PD membangkang dari pengambilalihan
kekuasaannya tersebut, akrobat para gladiator dalam PD masih akan
berlanjut. Itu adalah tontonan yang menyedihkan di depan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar