Beberapa hari terakhir, kita
dihebohkan oleh berita yang cukup mengejutkan sekaligus memilukan di media
massa. Betapa tidak, tujuh perempuan dibekuk polisi Jakarta Barat karena
hendak menjual bayi-bayi ke luar negeri. Ironisnya, bayi-bayi tersebut
didapatkan dari keluarga-keluarga yang tidak mampu. Mengapa hal ini
terjadi?
Memang, dewasa ini trafficking anak
merupakan isu yang paling aktual dan fundamental, terjadi bukan hanya di
Indonesia melainkan juga di seluruh dunia. Berbagai kasus perdagangan anak
terjadi secara sistemik.
Dari tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan anak
dari seseorang biasanya dilakukan dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan, hingga penjeratan utang. Melalui cara-cara ilegal macam ini
kemudian diperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang
lain, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan anak tereksploitasi. Yang
jelas, maraknya perdagangan anak berawal dari masalah ekonomi, sosial,
politik dan budaya.
Sebenarnya Deklarasi Umum HAM
PBB 1948 tidak secara tegas berkaitan dengan perdagangan orang, khususnya
anak. Tetapi, deklarasi ini menegaskan bahwa setiap individu mempunyai hak
bebas, yang secara mendasar terbebas dari trafficking. Konvensi
Hak Anak 1989 secara tegas juga mengatur hak anak yang berbeda dengan orang
dewasa. Pada pasal 34 dan 35 konvensi ini berkaitan langsung dengan
penentangan terhadap eksploitasi seksual, perlakuan salah secara seksual,
dan perdagangan anak. KILO 182 tentang Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan
Terpuruk Anak menegaskan bahwa penggunaan anak dalam prostitusi dan
pornografi dianggap sebagai bentuk pekerjaan terpuruk anak. Konvensi ini
sangat berkait erat dengan pekerja anak, meski tidak termasuk perdagangan
anak. Indonesia pun telah meratifikasi konvensi ini dengan UU No 1 Tahun
2000.
Protokol untuk Mencegah,
Memberantas dan Menghukum Perdagangan Manusia terutama Anak sebagai
pelengkap dari Konvensi PBB untuk Melawan Kejahatan Terorganisir
Antar-negara menegaskan definisi perdagangan manusia. Yakni, pengerahan, pengangkutan,
pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang dengan menggunakan berbagai
ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan,
penipuan, muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau
pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan izin
dari orang yang memiliki kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi.
Protokol ini menyebutkan bahwa anak berarti setiap orang yang usianya di
bawah 18 tahun.
Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak pun melarang perdagangan anak. Sementara UU
No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
memberikan sanksi tegas terhadap pelaku tindak pidana perdagangan anak.
Sesuai Pasal 17 UU ini, misalnya, ancaman tindak pidana perdagangan anak,
hukumannya ditambah sepertiga, yaitu dipidana penjara paling singkat 4
tahun dan paling lama 20 tahun dengan denda paling sedikit Rp 160 juta - Rp
800 juta. Tetapi, sampai sekarang penegakan hukum kasus ini kurang tegas.
Banyak sekali pelaku kasus perdagangan anak tidak mendapatkan sanksi
hukuman berat di pengadilan.
Aksi Nasional Penghapusan
Perdagangan Anak melalui Keppres No. 88 Tahun 2002 lahir karena didorong
oleh keprihatinan yang mendalam terhadap berbagai kasus perdagangan anak.
Pasalnya, Indonesia termasuk salah satu negara yang dikategorikan memiliki
banyak korban perdagangan anak. Pemerintahannya sendiri dinilai belum
sepenuhnya menerapkan standar minimum serta belum melakukan usaha-usaha
optimal dalam mencegah dan menanggulangi perdagangan anak.
Kemiskinan
Penelitian ILO-IPEC di
Jakarta, Jateng, DIY, Jatim dan Jabar, baru-baru ini memperkuat bahwa trafficking anak
di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks akibat faktor ekonomi
dan sosial budaya. Kualitas hidup miskin di daerah pedesaan dan desakan
kuat untuk bergaya hidup materialistik membuat anak dan orangtua rentan
dieksplotasi oleh traffickers.
Di samping, sikap
diskriminatif terhadap anak perempuan, seperti kawin muda, nilai
keperawanan, pandangan anak gadis tidak perlu berpendidikan tinggi, menjadi
kunci faktor pendorong. Anak-anak yang ditrafficking bekerja
dengan jam kerja relatif panjang dan rawan kekerasan fisik, mental, dan
seksual. Mereka tidak mempunyai dukungan atau perlindungan minimal dari
pihak luar di tengah ancaman infeksi seksual, perdagangan alkohol dan
obat-obatan terlarang.
Sebagai solusi mencegah
praktik perdagangan anak maka penegakan hukum terhadap pelakunya harus
tegas. Dalam, hal ini, sinergi antara aparat penegak hukum dan masyarakat
perlu diperkuat dengan kampanye secara masif melalui media dan potensi
lokal untuk mencegah masalah perdagangan anak.
Kualitas pendidikan dari
tingkat SD hingga SMA harus ditingkatkan dengan memperluas angka
partisipasi anak laki-laki dan perempuan dengan mendukung keberlanjutan
pendidikan anak perempuan setelah lulus SD. Termasuk dengan menyediakan
pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan penghasilan,
kewirausahaan dan akses kredit keuangan untuk membuka peluang usaha
sendiri. Di lain pihak, sikap dan pola fikir keluarga dan masyarakat
terhadap trafficking anak perlu diubah. Intinya adalah
mencegah anak-anak perempuan dilacurkan dengan mengupayakan peningkatan
partisipasi pendidikan anak-anak, baik formal maupun non formal. Di
samping, memberikan peluang kerja, dan menyadarkan masyarakat mencegah
perdagangan anak untuk pelacuran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar