"Pemerintah harus segera
menyelesaikan kemelut impor daging untuk mewujudkan swasembada daging
2014"
BELUM hilang memori kolektif rakyat Indonesia
tentang impor beras di tengah surplus komoditas pangan itu. Kejadian
''aneh'' itu disusul kelangkaan kedelai karena kemenurunan pasokan impor,
dan berdampak pada harga melambung tinggi. Kini meledak skandal daging
impor. Kasus yang terakhir ini diperparah oleh ulah petinggi partai politik
yang diduga ikut mengatur kuota dan penentuan pengimpor, tentu dengan
imbalan menggiurkan.
Dari
berbagai kasus tersebut, kita bisa melihat banyak pihak, termasuk
penyelenggara negara dan petinggi partai, masih senang menerabas jalan asal
mencapai tujuan.
Mereka
menebalkan budaya menghalalkan segala cara, hedonisme, dan materialisme,
bahkan menjadikannya sebagai pedoman. Keadaan ini selaras dengan hasil
penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beberapa waktu lalu yang
menyimpulkan bahwa di Indonesia ibadah vertikal tidak berkorelasi dengan
ibadah horizontal.
Mafia impor
daging begitu mudah dilakukan karena dalam kondisi surplus beras saja,
dapat dilakukan impor. Apalagi rencana swasembada daging baru dilaksanakan
tahun 2014. Karena baru rencana, berarti masih boleh menerabas dan itu
kesempatan. Anggapan seperti ini menggambarkan kekacauan penanganan masalah
pangan dan pertanian di negeri ini. Karena itu, beberapa pihak memprediksi
target swasembada daging tahun 2014 sulit tercapai.
Melihat
dari ranah ekonomi politik, berbagai kasus impor itu tak lepas dari teori
perburuan rente yang dilakukan oleh segelintir orang demi kepentingan diri
sendiri atau kelompoknya. Tahun 2013 merupakan tahun persiapan Pileg dan
Pilpres 2014 sehingga butuh dana besar untuk pemenangan.
Celah-celah
perolehan rente dapat dilakukan lewat berbagai cara, dan salah satunya
mengimpor, semisal impor daging sapi. Penunjukan perusahaan pengimpor
tidak terlepas dari teori perburuan rente tersebut.
Konsumen
yang akhirnya menjadi korban mengingat kartel sudah memainkan harga
komoditas itu. Tak mengherankan bila harga daging sapi di Indonesia paling
mahal di dunia. Sekarang harga komoditas itu sudah hampir Rp 100
ribu/kg, padahal di Malaysia hanya sekitar Rp 50 ribu, Singapura dan
Thailand antara Rp 40 ribu dan Rp 50 ribu, sama seperti harga di Australia,
pusat daging sapi.
Petani
dan peternak sapi di negara kita juga dirugikan pula karena komoditas impor
itu lebih baik dalam banyak hal, termasuk harga yang kompetitif. Perilaku
pemburu rente itu berdampak buruk pada upaya pemberdayaan petani dalam
negeri. Mereka akan melihat keuntungan sangat besar dari mengimpor,
ketimbang repot memproduksi sendiri.
Praktik
mafia daging impor ataupun berbagai bentuk pelanggaran hukum lain tidak
dapat dibiarkan karena mmbahayakan kelangsungan hidup berbangsa dan
bernegara. Karena itu karut-marut impor daging harus cepat diselesaikan.
Penegakan hukum sangatlah penting, dan kita bisa belajar dari banyak negara
yang dulu penuh onak korupsi kini bisa bangkit, hidup bersih dan maju,
lewat penegakan hukum yang berkeadilan.
Komitmen
Pemerintah
Dalam
bidang pertanian (dalam arti luas termasuk peternakan) kita juga bisa
belajar dari negara lain. Amerika Serikat, Jepang, dan China, yang kini
industri manufakturnya menguasai dunia, mengawali dari kemajuan sektor
pertanian.
Vietnam
yang baru saja terlepas dari krisis politik, dapat mengejar ketertinggalan
dalam pembangunan, dengan menggenjot pembangunan sektor pertanian.
Thailand,
yang juga dulu belajar pertanian dari Indonesia, sekarang lebih maju karena
pemerintah benar-benar komit memajukan berbagai subsektor pertanian. Petani
di Negeri Gajah Putih itu hanya diminta berkonsentrasi dalam proses
produksi, sementara negara dan instansi terkait, memfasilitasi, mendukung,
dan mengawal kegiatan petani. Sinergitas antara petani dan pemerintah
membuat hasil pertanian mereka menjadi luar biasa, baik dari segi kuantitas
maupun kualitas.
Pemerintah,
wakil rakyat, dan pengusaha, termasuk penegak hukum, harus segera
menyelesaikan kemelut impor daging untuk bisa mewujudkan program swasembada
daging 2014. Kata kuncinya adalah cinta kepada Tuhan yang dimanifestasikan
dalam wujud cinta kepada Tanah Air. Komitmen dan integritas tinggi
harus tetap tertuju kepada rakyat kecil, salah satunya tertuju pada
kesejahteraan petani, termasuk peternak.
Pertumbuhan
populasi sapi pada sentra penghasil daging sapi, seperti di Jawa Tengah,
Jawa Barat, Lampung, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, dan Papua saat ini
cukup baik. Bila pemerintah bisa dengan cepat membasmi praktik mafia
impor daging sapi, diikuti dengan pemberdayaan peternak, termasuk di
Jateng, serta perbaikan sarana dan prasarana transportasi maka masih ada
waktu untuk mewujudkan swasembada daging.
Dengan
berswasembada, konsumsi daging akan meningkat dan rakyat negeri ini menjadi
makin sehat dan lebih produktif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar