Ciri umum pembangunan Indonesia saat ini, baik oleh pemerintah pusat
maupun daerah, adalah elitis, lamban, dan belum merefleksikan kepentingan
umum.
Penyerapan anggaran negara (APBN/APBD) sering tak optimal. Ketika
akhir tahun anggaran hanya tinggal hitungan bulan, dana negara cenderung
diserap oleh program pemerintahan yang manipulatif, yaitu asal ada laporan
formal di atas kertas.
Dampak nyata pembangunan yang konstruktif tak benar-benar dirasakan.
Sebaliknya, soal kemiskinan belum tertanggulangi, pelayanan publik tak
menggembirakan, dan kondisi infrastruktur tetap atau makin buruk. Kondisi
pembangunan nasional ini merupakan konsekuensi dari pemerintahan yang gagal
mengelola konflik pembangunan berdasar ideal demokrasi.
Dominasi Kepentingan
Pembangunan sosial ekonomi selalu dipenuhi konflik di antara
kelompok-kelompok kepentingan. Terutama konflik kepentingan dalam
memengaruhi perumusan dan pelaksanaan pembangunan. Fenomena sosiologis yang
sering muncul adalah kelompok kepentingan yang memiliki modal ekonomi
politik lebih besar cenderung mendominasi konflik.
Selama periode demokrasi Indonesia, konflik atas pembangunan
didominasi oleh kelompok pemodal besar dengan dukungan sebagian elite
pemerintahan. Elite-elite pemerintahan, baik di legislatif maupun
eksekutif, terindikasi mendukung kelompok-kelompok modal besar. Dukungan
itu memperkuat dominasi untuk bisa melakukan praktik utilisasi pembangunan.
Dukungan elite pemerintahan salah satunya muncul dalam bentuk
penutupan ruang deliberasi demokratis, yaitu mekanisme musyawarah yang
transparan dengan masyarakat luas. Mereka membangun tembok penghalang
deliberasi demokratis dengan mengurangi praktik diskursif di ruang-ruang
publik. Maka, kelompok masyarakat akar rumput terpinggirkan selama konflik
dalam pembangunan berlangsung sehingga kepentingan mereka tak terakomodasi.
Dukungan yang diberikan sebagian elite dalam pemerintahan tersebutlah
yang jadi salah satu sebab fundamental perilaku birokrasi menjadi
misterius, rumit, enggan memberikan informasi terbuka, dan lamban.
Sesungguhnya birokrasi telah dijadikan sebagai mesin yang bekerja untuk
menyukseskan misi sebagian elite pemerintahan, yaitu menutup ruang
deliberasi demokratis.
Proyek pembangunan gedung olahraga di Hambalang, wisma atlet di
Palembang, dan pengadaan alat kesehatan adalah contoh kasus yang terbukti
sebagai bentuk dari utilisasi pembangunan oleh elite pemerintahan dan
kelompok pemodal.
Rencana proyek pembangunan enam ruas tol baru di DKI Jakarta, dengan
estimasi pembiayaan Rp 40 triliun, bukan tak mungkin adalah proses
utilisasi pembangunan oleh sebagian elite pemerintahan dan kelompok modal
besar. Proses formulasi proyek sejak 2005 tersebut tidak dihasilkan dari
deliberasi demokratis. Namun, dicurigai kesepakatan terbatas elite
pemerintahan waktu itu dengan kelompok-kelompok modal besar.
Setelah Joko Widodo terpilih sebagai gubernur baru DKI Jakarta, akhir
2012, inisiatif melakukan dengar pendapat dengan masyarakat Jakarta baru
muncul. Akan tetapi, proses dengar pendapat ini pun tampaknya tidak akan
banyak mengubah rumusan dan implementasi proyek pembangunan enam ruas tol.
Keberpihakan Politik
Dominasi kepentingan kelompok modal besar dan sebagian elite
pemerintahan dalam konflik pembangunan merupakan virus yang merusak kinerja
ideal demokrasi. Pada kondisi tersebut, keberpihakan politik untuk
menghapus dominasi kepentingan merupakan kebutuhan tidak bisa ditawar lagi.
Oleh karena itu, Indonesia butuh kepemimpinan politik yang berani dan
tekun mempraktikkan dekonstruksi dominasi kepentingan atas pembangunan oleh
kepentingan-kepentingan seksional. Praktik dekonstruksi dominasi itu harus
muncul dalam bentuk pemosisian politik di tengah-tengah masyarakat akar
rumput. Dekonstruksi dominasi juga membangun keterbukaan dalam setiap
perumusan dan pelaksanaan pembangunan.
Proses dekonstruksi dominasi memungkinkan konflik pembangunan
berlangsung dalam situasi kesetaraan politik dan terbuka. Semua kelompok
kepentingan menjadi lebih bisa dijinakkan dari hasrat mengutamakan
kepentingan seksional. Jika kepemimpinan politik mampu mendekonstruksi
dominasi kepentingan, pembangunan akan berlangsung lebih cepat, efektif,
dan tidak lamban. Lebih jauh lagi, pembangunan benar-benar memuat
kepentingan umum, baik kepentingan kelompok modal, pemerintah, maupun
rakyat semesta.
Melalui sejumlah pilkada yang digelar tahun ini, diharapkan muncul
para pemimpin yang mampu mengelola konflik pembangunan dengan menghapus
dominasi kepentingan-kepentingan seksional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar