KINERJA pegawai negeri sipil (PNS) menjadi sorotan khusus dalam Jati Diri Jawa Pos, Imbal Kerja Remunerasi (30/1). Di antara sekian aspek,
ada satu yang menggelitik penulis yang kebetulan sebagai PNS, yakni soal
pemecatan PNS en-ge-en-ge alias ngah-ngoh alias tidak mampu. Istilah itu
dipinjam dari Prof Mardiasmo, ketua BPKP sekaligus ketua Tim Quality Assurance (TQA).
Secara
administratif, memang tidak mudah memecat seseorang dari kedudukannya
sebagai PNS, apalagi parameternya hanya pada kinerja. Aturan hukumnya
rumit. Mulai UU Nomor 8/1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, PP Nomor
4/1966 tentang Pemberhentian atau Pemberhentian Sementara PNS, PP Nomor
32/1979 tentang Pemberhentian PNS, hingga PP Nomor 53/2010 tentang
Disiplin PNS.
Salah satu poin
krusial dalam aturan-aturan tersebut adalah bahwa pemecatan atau
pemberhentian tidak dengan hormat terhadap seorang PNS hanya bisa dilakukan
apabila melakukan pelanggaran berat. Sedangkan, pelanggaran lain, meskipun
dari kacamata umum termasuk fatal, hanya dikenai sanksi-sanksi
administratif, seperti penundaan kenaikan pangkat dan sejenisnya.
Dengan posisi
yang begitu kukuh, para PNS cenderung sangat percaya diri. Bagi mereka,
begitu mendapat SK pengangkatan, seolah-olah profesi itu akan terus disandangnya
sampai pensiun.
Hal itu sangat
berbeda dengan pencopotan seorang PNS dari jabatan struktural. Terhadap
jabatan struktural tersebut, kepala daerah bisa sewaktu-waktu mencopot
seorang pejabat. Baik karena dianggap tidak mampu, tidak kompeten, maupun
tidak loyal, atau bahkan apabila tidak ada alasan pencopotan sekalipun.
Seorang kepala dinas yang sebenarnya sangat cakap bisa saja dicopot oleh
bupati hanya karena dianggap berbeda haluan politik dengan sang bupati.
Dalam kaitannya
dengan PNS ngah-ngoh, memang tidak
dimungkiri adanya sebagian PNS yang tidak memiliki kemampuan memadai untuk
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Setidaknya ada empat hal yang
melatarbelakangi PNS yang masuk kategori tidak mampu itu.
Pertama, alasan
kesehatan. Alasan itu sangat manusiawi dan acap lebih bisa diterima karena
tidak ada seorang pun yang menginginkan dirinya sakit. Meski demikian,
tetap ada aturan mengenai mekanisme bagi PNS yang sakit. Mulai izin dokter,
cuti sakit, hingga mengundurkan diri atau pensiun dini apabila menderita
penyakit permanen. Maka, sebaiknya bersikap tahu diri dan tidak memaksakan
diri untuk tetap menjadi PNS.
Kedua,
ketidaksesuaian disiplin ilmu yang dimiliki dengan instansinya. Misalnya,
seorang PNS berlatar belakang pendidikan hukum, namun ditempatkan di
instansi teknis, seperti dinas pekerjaan umum. Namun, alasan itu tidak
sepenuhnya bisa diterima karena pada instansi-instansi teknis sekalipun,
tetap ada pekerjaan-pekerjaan administrasi dan sejenisnya yang bisa
dikerjakan oleh yang bukan ahlinya. Sepanjang mau belajar dan kreatif,
pasti ada pekerjaan yang bisa dilakukan.
Ketiga, tidak
memiliki motivasi bekerja. PNS seperti itu biasanya lahir dari orang-orang
yang memiliki aji mumpung. Sebenarnya, dia sama sekali tidak berminat
menjadi PNS, namun karena tidak ada pekerjaan lain, profesi PNS pun
dijalaninya. Atau sebaliknya, dia memiliki pekerjaan lain yang jauh lebih
menjanjikan sehingga profesi PNS itu hanya digunakan sebagai penambah
status atau sekadar "ban serep".
Keempat, seratus
persen ngah-ngoh. Adakah PNS yang seperti itu?
Ternyata, banyak jumlahnya. Proses rekrutmen yang hanya dilakukan dengan
tes tertulis memungkinkan masuknya PNS seperti itu. Ketika mengerjakan soal
ujian, PNS jenis ini sebenarnya hanya mengerjakan secara untung-untungan.
Karena soal-soal biasanya berbentuk multiple choice (pilihan
ganda), dengan cara menghitung kancing baju, dia sudah bisa menulis
jawaban. Namun, karena banyak jawaban untung-untungan tersebut yang
ternyata benar, loloslah dia sebagai PNS.
Keberadaan
empat PNS jenis itu jelas merugikan keuangan negara. Sebab, gaji yang
dibayarkan tidak sesuai dengan output yang semestinya dihasilkan. Namun,
ternyata ada dampak yang lebih dari itu, yakni pengaruhnya terhadap
lingkungan kerja. Rekan-rekan di tempat kerjanya sedikit banyak tentu
terpengaruh.
Oleh karena
itu, rasanya tidak berlebihan wacana untuk mengubah mekanisme pemberhentian
PNS menjadi lebih mudah. Dengan mempermudah mekanisme pemberhentian itu,
PNS akan berpikir dua kali untuk bersikap seenaknya sendiri. Di sisi lain,
kinerja birokrasi secara keseluruhan akan meningkat karena aparatur yang
tidak kompeten semakin berkurang.
Hal itu mungkin
tidak populis bagi sebagian PNS, terlebih yang sudah memiliki persepsi
bahwa PNS adalah pegawai abadi. Mereka tentu akan terusik apabila aturan
pemecatan atau pemberhentian PNS dipermudah. Namun, aparatur yang bermental
seperti itu memang sudah saatnya dieliminasi agar kinerja birokrasi bisa
berjalan secara optimal. Upaya Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi
mempermudah pemberhentian PNS yang tak kompeten, termasuk lewat pensiun
dini, layak diapresiasi.
Para PNS,
terutama yang memiliki kinerja dan komitmen yang tinggi dalam bekerja,
tentu tidak akan keberatan. Apalagi sesungguhnya PNS jenis itu sering
merasa jengah menghadapi berbagai tudingan miring terkait dengan kinerja
PNS akibat sorotan kepada mereka yang tak kompeten. Sebab, mereka merasa
sudah bekerja secara optimal, namun masih saja terkena imbas dari
tudingan-tudingan negatif yang dialamatkan kepada PNS.
Jadi, mau
memecat PNS ngah-ngoh? Siapa takut!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar