Hukum progresif merupakan pemikiran hukum Indonesia modern yang
digagas oleh Satjipto Rahardjo. Pemikiran hukum progresif tetap berkembang,
baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum.
Pemikiran
Satjipto Rahardjo menjadi ruang studi hukum yang menarik karena mendekati
hukum dari perspektif yang berbeda dibandingkan dengan perspektif positivis
yang mendominasi hukum di Indonesia.
Hukum Progresif
Sesuai dengan
falsafah bangsa Indonesia, Pancasila, Satjipto (2003) menyatakan bahwa
negara hukum yang dianut harus didasarkan pada Pancasila yang lebih
menekankan pada substansi, bukan prosedur dalam peraturan perundang-undangan
semata. Di dalam negara hukum Pancasila yang diunggulkan adalah “olah hati
nurani” untuk mencapai keadilan. Oleh karena itu negara hukum Pancasila
bercirikan rule of moral atau rule of justice. Negara hukum
Indonesia juga harus didasarkan pada posisi dasar manusia di dalam hukum
dalam konteks sosiologis Indonesia. Semua instrumen hukum harus menempatkan
manusia sebagai pusat orientasi.
Oleh karena
itu, dalam kedudukan manusia yang sentral, pemahaman sifat-sifat manusia
harus menjadi perhatian utama dalam hukum. Perubahan orientasi hukum sangat
diperlukan untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri, yaitu keadilan dan
ketertiban. Tujuan itu dihadapkan pada dinamika masyarakat yang sangat
cepat sehingga hukum selalu tertinggal. Perkembangan hukum modern yang
semakin berwatak teknologi tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan
berbagai soal dalam masyarakat karena lebih menekankan pada struktur
rasional, prosedur, dan format formal.
Hukum tidak
dapat ditegakkan hanya dengan menerapkan peraturan begitu saja, tetapi juga
harus menimbang nilai dan cita-cita yang ingin diwujudkan oleh hukum, yang
tidak mudah dibaca dalam peraturan. Di sinilah hukum dimaknai tidak
semata-mata sebagai teknologi, melainkan juga sarana mengekspresikan nilai
dan moral. Hukum tidak dapat didekati secara utuh hanya dari ilmu hukum
positif. Objek studi hukum sangat luas termasuk menggunakan berbagai bidang
ilmu lain.
Hal ini juga
terjadi pada ilmu pengetahuan lain yang tidak ada untuk dirinya sendiri
serta membuka diri terhadap bidang ilmu lain agar dapat menyajikan gambar
yang lebih utuh. Oleh karena itu,ilmu hukum harus dikaitkan dengan
kehidupan nyata serta disandingkan dengan ilmu lain agar utuh dan dapat menyelesaikan
berbagai soal di masyarakat.
Unsur-Unsur Hukum Progresif
Sidharta (2011)
menyatakan bahwa didalam hukum progresif terdapat unsur-unsur: aliran hukum
alam, mazhab sejarah, sociological
jurisprudence, realisme hukum, critical
legal studies, dan hukum responsif. Aliran hukum alam terdapat dalam
hukum progresif dalam bentuk penekanan logika kepatutan dan logika keadilan
yang harus selalu ada di dalam hukum. Keduanya harus selalu diikutsertakan
dalam membaca kaidah hukum sehingga berhukum tidak lepas dari keadilan
sebagai roh, asas, dan tujuan hukum.
Namun ada
perbedaan antara hukum alam dan hukum progresif. Keadilan dalam perspektif
hukum alam bersifat universal. Hal ini berbeda dengan semangat hukum
progresif yang meletakkan pencarian keadilan substantif dalam konteks
keindonesiaan. Hukum dalam perspektif hukum alam bersifat tetap melewati
waktu, sedangkan dalam perspektif hukum progresif hukum harus dibiarkan
mengalir dan berubah. Hukum progresif mengandung unsur mazhab sejarah
karena meletakkan hukum dalam kerangka konteks kemasyarakatannya, yaitu
masyarakat di mana hukum itu ada dan dijalankan.
Hukum adalah
pencerminan dari masyarakatnya sehingga hampir tidak mungkin dilakukan
transplantasi hukum asing ke suatu masyarakat. Namun, hukum progresif tidak
sampai pada dalil mazhab sejarah bahwa hukum tidak perlu dibuat, melainkan
dibiarkan tumbuh berkembang bersamaan dengan perkembangan masyarakat.
Satjipto tetap berpendapat bahwa hukum tertulis tetap perlu dibuat sebagai
dokumen yang menuntun proses dan perilaku masyarakat walaupun tidak boleh
diletakkan sebagai satu-satunya sumber hukum.
Hukum progresif
memiliki kesamaan dengan sociological
jurisprudence dalam hal titik berat studi hukum yang tidak hanya
melihat hukum sebagai aturan tertulis, tetapi juga melihat bekerjanya hukum
dan akibat dari penegakan hukum. Namun, bekerjanya hukum dalam hokum progresif
tidak hanya dimaknai secara empiris, yaitu yang terjadi di masyarakat,
tetapi juga bekerjanya hukum dalam pengertian penemuan hukum yang harus
keluar dari logika hukum semata serta menggunakan pendekatan yang menembus
norma dan situasi yang ada sehingga diperlukan pendekatan transenden dan
spiritual dalam penemuan hukum.
Antara hukum
progresif dengan realisme hukum memiliki kesamaan dalam melihat hukum yang
tidak hanya menggunakan kacamata hukum itu sendiri, melainkan dari tujuan
sosial yang ingin dicapai. Konsekuensinya, hakim diberi kebebasan yang
tinggi untuk membuat putusan. Hal inilah yang membedakan keduanya karena
dalam pemikiran hukum progresif ruang diskresional hakim masih dibatasi
dengan nilai ideologis.Kebebasan sepenuhnya pengadilan menurut Satjipto
adalah wujud dari paham liberal.
Hukum progresif
mengkritik hukum liberal sama halnya dengan critical legal studies.
Pandangan yang menyatakan bahwa hukum tidak bersifat netral digunakan oleh
hukum progresif untuk membongkar kepentingan di balik aturan hukum.Keduanya
berpendapat bahwa di dalam masyarakat sesungguhnya tidak terdapat kesamaan,
karena itu diperlukan adanya diskriminasi positif (affirmative action).
Antara Moral dan Kenyataan
Stanley L
Paulson (1992) mengklasifikasikan berbagai aliran hukum berdasarkan pada
dua kategori, yaitu hubungan antara hukum dengan moral dan hubungan antara
hukum dengan kenyataan. Berdasar kedua kategori tersebut dapat dibedakan
tiga kelompok besar aliran hukum. Pertama, pemikiran hukum yang menyatakan
hukum dan moral tidak dapat dipisahkan, tetapi memisahkan antara hukum dan
kenyataan.
Kedua, aliran
hukum yang menyatakan hukum dan realitas sosial tidak dapat dipisahkan,
tetapi terpisah dari ajaran moral. Hukum tidak bergantung pada ajaran
moral, tetapi bergantung pada yang terjadi atau yang hidup dalam
masyarakat. Ketiga, aliran hukum yang menolak penyatuan antara hukum dan
moral, juga menolak penyatuan antara hukum dan moral. Hukum dilihat sebagai
norma hukum apa adanya sebagai perintah penguasa dalam bentuk preskripsi
yang ada dalam norma hukum.
Hukum progresif
tidak memisahkan atau menolak, baik hubungan antara hukum dengan moral
maupun hubungan antara hukum dengan kenyataan. Karena itu, hukum progresif
merupakan hal baru dalam klasifikasi Stanley L Paulson. Jika pada awalnya
hanya ada pemikiran hukum yang dilihat secara terpisah dengan ajaran moral
atau terpisah dengan kenyataan atau terpisah dengan keduanya, maka hukum
progresif mengenalkan pemikiran hukum yang justru tidak terpisah dengan
keduanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar