Makna Kerja
Plus SBY-Ibas
Bandung Mawardi ;
Pengelola
Jagat Abjad Solo
|
|
JAWA
POS, 14 Februari 2013
BERITA politik di Indonesia sering tentang aib. Kita cuma
mengajukan sesalan dan doa. Situasi pelik ini boleh kita jawab dengan
hujatan atau anjuran, ke rasionalitas atau emosionalitas. Berita paling
mutakhir berkaitan dengan kisruh politik di Partai Demokrat (PD). Susilo
Bambang Yudhoyono pun turun tangan mengatasi seribu persoalan. Peran
sebagai presiden ditambahi dengan kesibukan mengurus partai. Anas
Urbaningrum dipersilakan mengurangi jatah kerja di PD.
Keputusan itu membuat saya termangu. Mereka beranggapan
SBY bakal sibuk, kelelahan, dan rancu memikirkan partai politik atau
negara. Beban sebagai presiden itu berat! Kehendak menambahi beban kerja
justru menimbulkan curiga, menguak keberpihakan politik. SBY lebih tampil
sebagai orang partai politik ketimbang negarawan. Partai politik seolah ada
di atas negara.
Tuduhan-tuduhan atas beban kerja dan kerancuan peran SBY
dijawab oleh Julian Aldrin Pasha selaku juru bicara kepresidenan. SBY
sebagai presiden memiliki jam kerja dan hari kerja. SBY adalah politikus
yang sadar peran dan jam kerja. Julian Aldrin Pasha menerangkan bahwa
kesibukan SBY mengurusi PD dilakukan di luar jam dan hari kerja.
Kita dipersilakan menerima keterangan itu dengan sangsi.
SBY sebagai presiden tentu memiliki hak istirahat, libur, cuti. Kita
berharap agar hak itu digunakan untuk memulihkan kondisi tubuh dan pikiran,
menghibur diri di jeda kerumitan mengurusi negara. SBY justru menggunakan
hak demi kerja berat: keselamatan dan popularitas PD. Kita berdoa (dengan
tulus) agar SBY tetap sehat, tenang, rasional dalam menyelesaikan seribu
persoalan. Amin.
SBY adalah tokoh menentukan untuk nasib PD, sekarang dan
Pemilu 2014. Sekian kader telah menjadi koruptor, sekian tokoh masih
terbelit kasus korupsi. Kita juga masih bimbang dalam menilai Anas
Urbaningrum, tersangka atau terbebas dari skandal korupsi Hambalang. Para
elite PD saling menuduh, mengadu otoritas ''demi keselamatan partai''. Anas dipaksa tak gegabah mengurusi
partai.
Sebagai sosok kunci, SBY diperkenankan bekerja keras demi
PD. SBY memang harus bekerja keras melebihi Anas. Saya ingat, Anas sering
menggunakan idiom ''bekerja keras''
saat mengisahkan gerak PD, dari dulu sampai sekarang. Ungkapan itu bakal
diambil alih oleh SBY.
Bekerja keras dan kesibukan mengurusi PD juga harus
dijalankan Edhi Baskoro Yudhoyono alias Ibas. Sekretaris jenderal PD itu
nekat membolos dari tugas parlemen. Sidang berlangsung tanpa kehadiran Ibas
meski dalam daftar hadir ada tanda tangan Ibas. Tandan tangan sudah
dianggap representatif ketimbang kehadiran tubuh di ruang sidang bagi kaum
terhormat.
Kamera jurnalis merekam bahwa Ibas datang tergesa ke
ruang sidang paripurna. Ibas tak masuk ke ruang sidang, berlanjut terus ke
belakang. Si ajudan membawakan daftar presensi untuk ditandatangani Ibas.
Adegan membolos terjadi dalam waktu sekejap. Ibas meninggalkan ruang sidang
paripurna menggunakan tangga darurat. Adegan tersebut mungkin bermaksud
menghindari tatapan mata jurnalis dan anggota parlemen. Membolos memang
memerlukan siasat, gerak lincah, dan cepat.
Ibas seolah tidak mengingat laporan jumlah para
legislator pembolos. Setidaknya, 137 anggota DPR tercatat membolos dalam
rapat dan pidato kenegaraan SBY, 16 Agustus 2012. Sekian hari sebelum
rapat, pimpinan DPR telah memberikan pesan agar kaum politisi terhormat
tidak membolos. Pesan sekadar kata, lekas terlupakan. Peringatan itu tak
manjur. Ratusan orang tetap membolos dengan alasan tindakan membolos tidak
termasuk ''haram'' dalam tata tertib di DPR. Mereka memang abai kerja dan
etik politik meski fasih mengumbar seribu alasan.
Kisah kaum pembolos itu tak membuat Ibas, yang baru
meneken ''pakta integritas'' yang dirumuskan ayahnya, mawas diri. Adegan
memberikan tanda tangan tanpa kehadiran tubuh di ruang sidang adalah ironi
bagi politisi terhormat. Tanda tangan menjadi representasi kedustaan dan
kebohongan. Ibas mengira tanda tangan adalah bukti politik-kehadiran. Kita
pantas bercuriga: tanda tangan adalah ilusi dalam ritus politik di
Indonesia.
Berita dari gedung parlemen mungkin membatalkan
penghormatan kita atas otoritas kaum politisi terhormat. Tanda tangan bisa
ada di lembaran resensi, tapi mereka tak ada di ruang rapat. Tanda tangan
sudah tidak manjur lagi untuk memaknai kehadiran dan tanggung jawab. Para
pembolos itu lihai mengibuli kita dan canggih meloloskan diri dari kontrol.
Tanda tangan menjadi representasi manipulasi politik.
Ibas mungkin membolos untuk ''bekerja keras'' mengurusi PD. Ibas juga sibuk seperti SBY.
Dua tokoh tersebut penentu nasib PD. Mereka ada di jajaran elite, memiliki
otoritas dalam pengambilan keputusan-keputusan partai. Mereka adalah bapak
dan anak. SBY sibuk dan bekerja keras selaku presiden dan ''penggembala''
PD. Ibas juga ikut sibuk, bekerja keras demi nama baik dan harga diri PD di
mata publik. SBY tak mungkin membolos dari hari kerja sebagai presiden.
Ibas malahan membolos saat memiliki tanggung jawab sebagai manusia
parlemen.
Bekerja keras dalam politik itu keharusan agar ada efek
berdalih ke kekuasaan. Adegan-adegan bekerja keras bisa menjelaskan pamrih
partai politik merebut kekuasaan. Kita mulai mengerti, bekerja keras adalah
ungkapan ambigu dalam politik. Anas sering menggunakan ungkapan itu demi
kebesaran PD meski terjerat di kasus pelik: Hambalang.
Ungkapan ''bekerja
keras'' justru bakal diwujudkan oleh SBY dan Ibas dengan pertaruhan
politik. Kita mempersilakan SBY mengurusi PD tanpa harus kehilangan tenaga
sebagai presiden. Kita menghormati kehendak Ibas untuk bekerja keras demi
PD, tapi masak membolos dari parlemen dengan teken hadir? ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar