Pembiaran
terhadap pencurian ikan oleh nelayan-nelayan Thailand kembali terjadi di
perairan barat dan selatan Aceh. Kasus ini memperpanjang daftar pencurian
ikan yang tidak diurus secara memuaskan oleh pemerintah.
Tak hanya
itu, ke depan, pencurian ikan berpotensi dilegalkan sejak Menteri Kelautan
dan Perikanan Cicip Sutardjo membolehkan alih muatan ikan ke kapal-kapal
asing melalui Permen KP No 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di
Wilayah Pengelolaan Perikanan RI.
Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) memang tidak pernah tegas menindak para
pencuri ikan yang kebanyakan nelayan-nelayan asal Filipina, Malaysia,
Thailand, Vietnam, Kamboja, Taiwan, dan juga China. Sepanjang 2007-2012,
kapal pengawas KKP telah menangkap 1.029 kapal pencuri ikan. Dari jumlah
itu, 37 persen pelaku domestik, sedangkan 63 persen lainnya nelayan asing.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), pada 2008 lalu pencurian
ikan telah merugikan Indonesia Rp 30 triliun per tahun.
Para
pencuri ini jarang diganjar hukuman yang pantas. Biasanya aparat penegak
hukum hanya menjerat nakhoda dan anak buah kapal, bukan si empunya kapal.
Anehnya lagi, kapal-kapal tersebut justru bebas berkeliaran hanya dengan
membayar denda yang tak seberapa.
Di tengah
maraknya serbuan pencurian ikan, KKP justru mengurangi waktu operasional
pengawasan laut dari 180 hari (2012) menjadi 115 hari (2013) selama
setahun. Penyusutan hari pengawasan ini memberi ruang pelaku kejahatan
perikanan dalam dan luar negeri menjarah ikan kita lebih banyak lagi.
Lebih
celaka lagi, awal tahun ini Cicip Sutardjo justru memberi celah praktik
pencurian ikan dengan memberlakukan Permen KP No 30 Tahun 2012. Peraturan
ini bagaikan petugas ronda yang sengaja mempersilakan sang pencuri masuk
dan menjarah kampungnya.
Ada dua
hal yang perlu dicermati. Pertama, dengan alasan mempercepat
industrialisasi, KKP membolehkan kapal penangkap ikan berukuran di atas 100
GT, serta kapal pengangkut ikan di atas 500 GT dan 1.000 GT asal luar
negeri untuk ikut mengeksploitasi wilayah perikanan Indonesia.
Kedua,
lewat Pasal 69 Ayat 3 aturan yang sama, kapal-kapal penangkap ikan
berukuran di atas 1.000 GT yang menggunakan alat tangkap pukat cicin (purse
seine) tak diwajibkan mendaratkan ikan di pelabuhan domestik. Hal itu
berarti pemerintah sengaja membiarkan kapal-kapal besar itu langsung
melenggang ke luar negeri dengan semua hasil tangkapan ikan pada saat
industri pengolahan ikan nasional krisis bahan baku. Di mana sebenarnya
keberpihakan pemerintah?
Cabut
Kepmen No 30 Tahun 2012
Dampak
dari semua salah urus laut ini menyebabkan usaha perikanan tangkap
Indonesia makin lemah. Jangan lupa, pencurian ikan ini juga mengancam stok
ikan nasional. Data yang tertuang dalam Kepmen KP No 45 Tahun 2011 tentang
Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan menyebutkan, wilayah penangkapan tuna
mengalami eksploitasi berlebih, seperti di Samudra Hindia, Laut Banda,
Teluk Tomini-Laut Seram, Laut Sulawesi, dan Samudra Pasifik.
Karena
itu, Cicip Sutardjo harus segera mencabut aturan yang membolehkan alih
muatan ikan di tengah laut ke kapal-kapal asing (Kepmen No 30 Tahun 2012).
Alasannya, peraturan ini menjadi undangan terbuka bagi siapa pun untuk
mengeruk potensi ikan saat pencurian makin marak.
Jika
Kepmen No 30 Tahun 2012 tidak segera dicabut, hampir bisa dipastikan
nelayan Indonesia hanya akan menjadi penonton kapal besar milik asing yang
menjaring sumber pangan perikanan di perairan kita. Berdasarkan data Indian
Ocean Tuna Commision, ada Perancis, Jepang, dan Spanyol yang memiliki
kapal-kapal berkapasitas di atas 1.000 GT. Tidak seperti nelayan Indonesia
yang kebanyakan hanya punya kapal penangkap ikan berukuran 30-100 GT.
Sejak 11
Februari lalu, KKP menerbitkan 4.142 izin bagi kapal penangkap ikan
berukuran di atas 30 GT. Dari jumlah itu, hanya 21 unit kapal yang
berukuran 500-800 GT. Jadi, tentunya, nelayan-nelayan Indonesia akan keok
bersaing menangkap ikan di lautnya sendiri akibat lahirnya aturan ini.
Kalau
sudah begini, sektor perikanan Indonesia akan semakin redup. Profesi nelayan
pun tentu akan makin dijauhi. Saat ini saja, hanya sedikit pemuda yang mau
menggantungkan nasib pada usaha perikanan Indonesia. Kalau di laut
Indonesia hanya tersisa nelayan-nelayan tua, bagaimana nasib produksi
sektor perikanan tangkap kita?
Sebelum
semuanya makin buruk, pemerintah perlu segera membenahi pelbagai persoalan
hukum pada sektor perikanan nasional. Caranya, tegakkan hukum secara adil,
dan perkuat pengawasan laut dengan sarana pendukung yang komplet. Tak
peduli ada anggaran atau tidak.
Mungkin
juga pemerintah perlu menyadari bahwa banyak nelayan kita yang bersedia
ikut menjaga perairan nasional. Jika saja berdaya, para nelayan tentunya
mau ikutan repot mengawasi laut Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar