SECARA mengejutkan hasil rapat majelis
tinggi yang diperluas Partai Demokrat telah menetapkan delapan poin
penting. Beberapa poin yang sangat mendasar, pertama; menetapkan Susilo
Bambang Yudhoyono, yang juga ketua majelis tinggi, untuk mengambil alih
langkah-langkah penyelamatan partai.
Kedua; memerintah ketua umum Anas
Urbaningrum berkonsentrasi pada penyelesaian dugaan kasus korupsi di Komisi
Pemberantasan korupsi (KPK). Ketiga; akan dilakukan penataan dan reposisi
pengurus partai yang dipimpin oleh SBY, dan keempat; seluruh jenjang
kepengurusan diminta menandatangani pakta integritas.
Langkah-langkah itu untuk mengembalikan
integritas Partai Demokrat sehingga kembali memperoleh kepercayaan publik
di tengah hantaman berbagai isu miring terkait banyak kader terjerat kasus
korupsi. Dengan pengambilalihan secara langsung, secara de facto kendati
posisi Anas sebagai ketua umum tidak dipersoalkan, SBY secara penuh
mengendalikan partai dengan dalih demi penyelamatan.
Memang tak mungkin melengserkan Anas karena
ia dipilih melalui kongres, forum tertinggi pengambilan keputusan,
kecuali ia telah ditetapkan sebagai tersangka. Karena itu, terminologi
pengambilalihan kekuasaan partai dengan dalih demi penyelamatan, sejatinya
kudeta kekuasaan politik oleh SBY terhadap Anas.
Sebenarnya Anas bukan figur yang
dikehendaki Cikeas untuk memimpin partai. Sedari awal Andi Alifian
Mallarangeng lebih dipercaya dan mendapat porsi terbesar restu untuk
memimpin partai ini melalui kongres di Bandung beberapa tahun silam. Dalam
konteks kekuasaan, secara alami tiap penguasa berkeinginan melanggengkan
kekuasaan.
Secara tersirat ketidaksukaan terhadap Anas mulai terlihat
dengan pembagian kekuasaan antara majelis tinggi dan kewenangan ketua umum.
Dalam konteks hal-hal strategis seperti penentuan caleg dan kepala daerah,
kewenangan itu ada pada majelis tinggi (SBY), tidak pada DPP di bawah
komando ketua umum.
Inilah yang dalam perjalanannya terjadi
tarik-menarik antara kubu majelis tinggi dan ketua umum. Tarik-menarik ini
mulai terasa akan dimenangi kubu majelis tinggi setelah muncul dua momentum
yang fatal bagi Demokrat. Pertama; kemunculan isu skandal korupsi yang
dinyanyikan Nazaruddin dengan melibatkan kubu ketua umum.
Dalam kasus ini Anas mendapatkan pengadilan
opini yang meruntuhkan citranya sebagai politikus. Semula, Anas dicitrakan
sebagai anak muda yang santun, kalem tapi cerdas dan memiliki kemampuan
politik andal.
Kedua; makin menurunnya elektabilitas
Demokrat dalam berbagai survei, makin tidak bisa dipertahankan. Puncaknya,
sebagaimana survei Saiful Mudjani, angka keterpilihan hanya menyisakan
sekitar 8%. Padahal, pada Pemilu 2009 partai ini menjadi pemenang dengan
20% suara lebih. Kondisi itu menimbulkan keresahan dan inilah yang kemudian
menjadi alasan kudeta melalui bahasa penyelamatan.
Yang menarik, ”kudeta” ini dilalui dengan
tiga isu besar yang berjalan simultan. Pertama; dilakukan produksi isu yang
begitu dahsyat terkait elektabilitas partai yang berada di titik nadir, 8%.
Angka itu menimbulkan kecemasan psikologis hingga kalangan internal memaksa
SBY mengambil langkah penyelamatan.
Kedua; SBY mereproduksi isu penyelamatan pada
saat ia berumrah sehingga seolah-olah langkah yang diambil berdasarkan
petunjuk-Nya, jauh dari kesan ambisi, dengki, dan langkah yang diambil itu
bersifat transendental.
Tangan
Besi
Ketiga, memunculkan pentingnya pakta
integritas untuk memberi kesan bahwa langkah penyelamatan itu didasari niat
mengembalikan citra bersih dari korupsi sehingga bisa selaras dengan nalar
sehat masyarakat. Dengan ini semua maka kudeta dapat berjalan mulus tanpa
perlawanan berarti dari kubu Anas.
Untuk memaksimalkan power dalam genggaman,
SBY memberikan ultimatum politik agar semua kekuatan internal mengikuti
iramanya. Siapa pun yang tak setuju dengan irama itu, dikenai sanksi atau
dipersilakan meninggalkan arena Demokrat. Inilah tangan besi kekuasaan yang
dapat membentengi supremasi dan otoritas SBY dengan label penyelamatan.
Sekilas, langkah SBY itu sangat tepat,
setidak-tidaknya didasari kepentingan demi penyelamatan. Padahal,
sesungguhnya operasi politik yang berujung pada kudeta kekuasaan. Operasi
semacam ini merupakan puncak intrik politik yang dapat mengaburkan
substansi persoalan. Di dalamnya terkandung struktur fakta antara realitas
dan semua berpadu sehingga sulit mengurai kebenarannya.
Begitu juga pemunculan inspirasi saat
menunaikan umrah, dan opini yang ingin dibangun seakan-akan SBY mendapatkan
inspirasi suci. Karena embel-embel kesucian ini maka siapa pun harus
menerima sebagai bagian dari petunjuk suci pula. Dengan demikian keputusan
yang diambil bersifat transendental.
Termasuk soal pakta integritas. Bukankah tiap
pejabat dan pengurus partai telah mengikuti sumpah jabatan dan memiliki
aturan perundangan yang jelas sehingga keberadaan pakta integritas hanya
sesuatu yang dimunculkan untuk memberi kesan bahwa partai tersebut memiliki
komitmen untuk menjaga citra bersih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar