Tak dapat dimungkuri, reformasi di Indonesia telah
mencapai beberapa kemajuan dan bahkan menunjukkan keberhasilan. Indikasi
positif adalah kemajuan dalam kehidupan demokrasi yang dapat ditemui di
berbagai aspek kehidupan. Antara lain, keseimbangan politik secara
struktural setelah amandemen UUD 1945, kebebasan pers, rakyat bebas
mengikuti dan mendirikan partai politik sesuai kriteria yang disepakati
sendiri oleh rakyat, adanya Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengawal hak
konstitusional warga negara, dan tidak ada lagi pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) oleh negara kepada rakyatnya.
Meski demikian, harus diakui, ada problem serius yang
menyertainya. Saat memberikan kuliah umum bertajuk Political Environment and Reform in Indonesia Beyond 2014 di S Rajaratnam School of International
Studies (RSIS), Singapura,
baru-baru ini, saya tegaskan masih banyak kritikan atau catatan bahwa dalam
banyak hal, Indonesia masih mengalami kemunduran.
Dalam kancah politik, relasi kekuasaan dikotori
faktor-faktor nepotisme dan politik transaksional. Di sektor pemerintahan,
banyak pejabat terindikasi, bahkan sebagian terbukti berperilaku koruptif.
Di sektor hukum, penegakan hukum tidak optimal, ketidaktaatan terhadap
hukum meluas, anarki masih kerap kali muncul. Hukum menjadi tumpul karena
ditengarai kuat masih dikuasai oleh mafia hukum.
Meski masyarakat sipil terus tumbuh, tetapi tidak
dibarengi tumbuhnya ketertiban sosial. Kebebasan sebagai simbol khas
demokrasi justru melahirkan perilaku-perilaku anarkistis dan hedonistik
yang bertentangan dengan demokrasi. Kebebasan sipil mendapat jaminan dalam
konstitusi, tetapi kurang mampu meningkatkan toleransi yang tidak
diskriminatif terhadap kaum minoritas. Kebebasan politik juga telah
mendapat ruang dan jaminan, tetapi tidak diimbangi dengan kebebasan sipil
yang berkualitas.
Demokrasi di negeri ini dalam kondisi krisis. Sebab,
rakyat hanya diperalat oleh elite untuk menikmati kekuasaan yang lahir dari
demokrasi transaksional. Demokrasi tidak lagi berkhidmat pada kedaulatan
atau kekuasaan rakyat karena telah diborong oleh banyak elite korup.
Bergesernya demokrasi menjadi oligarki melahirkan segelintir elite partai
yang memegang kekuasaan relatif mutlak dengan modal uang dan posisi penentu
yang dibangun secara nepotisme.
Krisis demokrasi sekarang ini terjadi pada tataran
implementasi, sehingga persoalannya bertalian dengan bagaimana sistem
dijalankan dan bukan lagi pada bagaimana sistem dirancang. Kalau sudah
menyangkut implementasi, tentu masalahnya terletak pada integritas moral
para penyelenggaranya. Sebagus apa pun konsepnya, kalau penanggung jawabnya
tidak mempunyai integritas moral, maka konsep-konsep itu tidak akan ada
gunanya.
Oleh karena itu, sisi leadership dan keteladanan perlu
ditekankan pada pemimpin di negeri ini. Untuk mewujudkan demokrasi yang
sehat, diperlukan strong leadership,
kepemimpinan yang kuat, berani, berintegritas serta bersih, bukan pemimpin
yang otoriter dan sewenang-wenang. Kepemimpinan yang tegas adalah
kepemimpinan yang efektif dan desesif menggunakan otoritas sesuai denyut
aspirasi dan kebutuhan rakyat.
Masalah-masalah besar di Indonesia hanya dapat
diselesaikan melalui penegakan hukum, dalam arti menjadikan hukum sebagai
panglima. Untuk itu, maka harus didahului dengan penataan dalam perekrutan
politik agar bersih dari politik transaksional dan saling sandera.
Keberanian yang tidak didukung kebersihan akan sangat membahayakan. Begitu
juga kebersihan yang tidak didukung oleh keberanian, akan tumpul dan tidak
efektif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar